Bait 9 – Nur-uzh-Zhalam – Syarah ‘Aqidat-ul-‘Awam (1/2)

نُوْرُ الظَّلَامِ
Nūr-uzh-Zhalām
Penerang kegelapan
Oleh: Syaikh Nawawī al-Bantānī

 
Syarah sya‘ir ‘Aqīdat-ul-‘Awām
Karya: Syaikh as-Sayyid Aḥmad Marzūqī al-Mālikī.
 
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Oleh: Team terjemah Pustaka Mampir

Rangkaian Pos: Bait 9 - Nur-uzh-Zhalam - Syarah 'Aqidat-ul-'Awam

ثُمَّ شَرَحَ النَّاظِمُ فِيْ بَيَانِ صِفَاتِ الْمَعَانِيْ فَقَالَ:

(فَقُدْرَةٌ إِرَادَةٌ سَمْعٌ بَصَرْ حَيَاةْ الْعِلْمُ كَلَامُ اسَتَمَرْ)

Bait #9:

(Kuasa, Kehendak, Dengar, Lihat ,

Hidup, ‘Ilmu dan bicara yang selalu.)

 

أَيْ إِذَا أَرَدْتَ تَفْصِيْلَ صِفَاتِ الْمَعَانِي السَّبْعَةِ فَأَقُوْلُ لَكَ هِيَ قُدْرَةٌ إِلَى آخِرِهَا.

Ya‘ni jika engkau berkehendak menguraikan sifat-sifat ma‘āniy yang tujuh, maka aku berkata padamu: “Kuasa ..… dan seterusnya.”

وَ هذِهِ الصِّفَاتُ السَّبْعَةُ كُلُّ وَاحِدَةٍ لَهَا سَبْعَةُ مَطَالِبَ إِلَّا الْحَيَاةَ وَحْدَهَا فَلَهَا سِتَّةُ مَطَالِبَ.

Ke tujuh sifat-sifat ini yang setiap satu sifat memiliki tujuh tuntutan kecuali Ḥayāt (hidup) yang mempunyai enam tuntutan.

فَالْقُدْرَةُ لَهَا سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ قُدْرَةَ اللهِ مَوْجُوْدَةٌ وَ قَدِيْمَةٌ وَ بَاقِيَةٌ وَ مُخَالَفَةٌ لِقُدْرَتِنَا الْحَادِثَةِ وَ غَنِيَّةٌ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدَةٌ عَامَّةُ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْمُمْكنَات.

Sifat qudrah (Maha Kuasa) mempunyai tujuh tuntutan yaitu kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya qudrah Allah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal, tetap),
(4). Berbeda dari qudrah kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal,
(7). Yang merata berhubungan dengan segala yang mungkin.

وَ الْإِرَادَةُ لَهَا سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ إِرَادَةَ اللهِ مَوْجُوْدَةٌ وَ قَدِيْمَةٌ وَ بَاقِيَةٌ وَ مُخَالَفَةٌ لِإِرَادَتِنَا الْحَادِثَةِ وَ غَنِيَّةٌ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدَةٌ عَامَّةُ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْمُمْكنَات.

Dan sifat irādah (kehendak) memiliki tujuh tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya irādah (kehendak) Allah adalah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari irādah (kehendak) kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan
(7). Yang menyeluruh berhubungan dengan segala yang mungkin.

وَ السَّمْعُ لَهُ سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ سَمْعَ اللهِ مَوْجُوْدٌ وَ قَدِيْمٌ وَ بَاقٍ وَ مُخَالَفٌ لِسَمْعِنَا الْحَادِثِ وَ غَنِيٌّ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدٌ وَ عَامُّ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْمَوْجُوْدَاتِ سَوَاءٌ كَانَتْ ذَوَاتًا أَوْ أَصْوَاتًا فَذَاتُكَ مَثَلًا مُنْكَشَفَةٌ بِسَمْعِهِ تَعَالَى.

Dan sifat sama‘ (Maha Mendengar) memiliki tujuh tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya sama‘ (Mendengar)-Nya Allah adalah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari sama‘ (mendengar) kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan
(7). Yang menyeluruh berhubungan dengan segala yang wujud (makhluk), baik itu berupa dzāt (bentuk) atau suara, dzātmu misalnya terbuka dengan sifat sama‘-nya Allah ta‘ālā.

وَ الْبَصَرُ لَهُ سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ بَصَرَ اللهِ مَوْجُوْدٌ وَ قَدِيْمٌ وَ بَاقٍ وَ مُخَالَفٌ لِبَصَرِنَا الْحَادِثِ وَ غَنِيٌّ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدٌ وَ عَامُّ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْمَوْجُوْدَاتِ.

Dan sifat bashar (Maha Melihat) memiliki tujuh tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya bashar (Melihat-Nya) Allah adalah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari bashar (melihat) kita sebagai yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan
(7). Yang menyeluruh berhubungan dengan segala apa yang wujud (makhluk).

وَ الْحَيَاةُ لَهَا سِتَّةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ حَيَاةَ اللهِ مَوْجُوْدَةٌ وَ قَدِيْمَةٌ وَ بَاقِيَةٌ وَ مُخَالَفٌ لِحَيَاتِنَا الْحَادِثَةِ وَ غَنِيَّةٌ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدَةٌ وَ لَا تَعَلُّقَ لَهَا بِشَيْءٍ.

Dan sifat ḥayāt (Hidup) memiliki enam tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya ḥayāt Allah itu:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari ḥayāt (hidup) kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan tidak ada satu hubunganpun dengan sesuatu.

وَ الْعِلْمُ لَهُ سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ عِلْمَ اللهِ مَوْجُوْدٌ وَ قَدِيْمٌ وَ بَاقٍ وَ مُخَالَفٌ لِعِلْمِنَا الْحَادِثِ وَ غَنِيٌّ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدٌ وَ عَامُّ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْوَاجِبَاتِ وَ الْجَائِزَاتِ وَ الْمُسْتَحِيْلَاتِ.

Dan sifat ‘ilmu (Mengetahui) memiliki tujuh tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya ‘ilmu Allah adalah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari ‘ilmu kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan
(7). Yang menyeluruh berhubungan dengan segala sesuatu yang wājib, yang jā’iz, dan yang mustaḥīl.

وَ الْكَلَامُ لَهُ سَبْعَةُ مَطَالِبَ نَشْهَدُ وَ نَعْتَقِدُ أَنَّ كَلَامَ اللهِ مَوْجُوْدٌ وَ قَدِيْمٌ وَ بَاقٍ وَ مُخَالَفٌ لِكَلَامِنَا الْحَادِثِ وَ غَنِيٌّ عَنِ الْمُخَصِّصِ وَ وَاحِدٌ وَ عَامُّ التَّعَلُّقِ بِجَمِيْعِ الْوَاجِبَاتِ وَ الْجَائِزَاتِ وَ الْمُسْتَحِيْلَاتِ.

Dan sifat kalām (Bicara) memiliki tujuh tuntutan ya‘ni kita bersaksi dan meyakini bahwa sesungguhnya kalām Allah adalah:

(1). Maujūd (Wujūd),
(2). Qadīm (Dahulu),
(3). Bāqin (Kekal),
(4). Berbeda dari kalām kita yang baru (makhluk),
(5). Tidak butuh penentu,
(6). Yang tunggal, dan
(7). Yang merata berhubungan dengan segala sesuatu yang wājib, jā’iz, dan mustaḥīl.

فَالْوَاجِبُ ذَاتُ اللهِ وَ صِفَاتُهُ وَ أَسْمَاؤُهُ وَ الْمُسْتَحِيْلُ كَالشَّرِيْكِ وَ الْوَلَدِ وَ النَّقَائِص.

Yang wājib (ada) adalah dzāt Allah, sifat-sifatNya dan nama-namaNya. Yang mustaḥīl adalah seperti bersekutu (Allah mempunyai teman), anak dan segala sifat-sifat yang kurang.

وَ الْجَائِزُ كَذَوَاتِنَا وَ صِفَاتِنَا وَ أَسْمَائِنَا.

Dan jā’iz (boleh ada boleh tidak) seperti dzāt kita, sifat kita dan nama-nama kita.

فَيَدُلُّ كَلَامُ اللهِ عَلَى الْوَاجِبِ كَـــ: أَنَا اللهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا.

Maka kalām Allah yang menunjukkan atas yang wājib, seperti: “…. Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku…..” (QS. 20 Thāhā: 14).

وَ عَلَى الْمُسْتِحِيْلِ كَــــ: إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ.

dan menunjukkan atas yang mustaḥīl (tidak mungkin) seperti (firman-Nya): “…..Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga,…..” (QS. 5 al-Mā’idah: 73).

وَ عَلَى الْجَائِزِ كَــــ: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.

dan menunjukkan atas yang jā’iz (boleh ada boleh tidak) seperti (firman-Nya): “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. 37 ash-Shāffāt: 96).

وَ قَوْلُهُ اسْتَمَرْ أَيْ دَامَ كَلَامُهُ تَعَالَى وَ لَا يَنْقَطِعُ.

Perkataan Nāzhim (Syaikh Aḥmad Marzūqī) Istamar (terus-menerus) yakni kalām Allah langgeng dan tidak pernah berhenti.

وَ لَيْسَ مَعْنَى وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا أَنَّهُ ابْتَدَأَ الْكَلَامَ لَهُ بَعْدَ أَنْ كَانَ سَاكِتًا فَبَعْدَ مَا كَلَّمَهُ انْقَطَعَ كَلَامُهُ وَ سَكَتَ تَنَزَّهَ اللهُ عَنْ ذلِكَ تَنَزُّهًا عَظِيْمًا.

Makna….. “Dan Allah telah berbicara kepada Mūsā dengan langsung.” (QS. 4 an-Nisā’: 164), bukanlah bahwa sesungguhnya Allah memulai pembicaraan (kalām) kepada Mūsā, setelah Allah diam, maka setelah apa yang Dia firmankan selesai maka kalām Allah berhenti dan diam. Maha Suci Allah dari itu semua dengan kesucian yang agung.

وَ إِنَّمَا الْمَعْنَى أَنَّهُ تَعَالَى بِفَضْلِهِ أَزَالَ الْمَانِعَ عَنْ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ وَ خَلَقَ لَهُ سَمْعًا وَ قُوَّةً حَتَّى أَدْرَكَ بِهِ كَلَامَهُ الْقَدِيْمَ.

Dan sesungguhnya ma‘nanya adalah sesungguhnya Allah ta‘ālā dengan anugrah-Nya menghilangkan penghalang dari Nabi Mūsā a.s. dan menjadikan baginya pendengaran dan kekuatan, sehingga ia dapat menemukan (menerima) Kalām Allah. Dan ini adalah ma‘na Kalām Allah ta‘ālā yang qadīm (dahulu).

ثُمَّ مَنَعَهُ بَعْدَ وَ وُرْدِهِ إِلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ سِمَاعِ كَلَامِهِ وَ هذَا مَعْنَى كَلَامِهِ تَعَالَى لِأَهْلِ الْجَنَّةِ.

Kemudian Allah menahan Nabi Mūsā setelah pendengaran itu sampai, kepada keadaan semula sebelum mendengar kalām Allah. Dan ini adalah ma‘na Kalām Allah ta‘ālā kepada penghuni surga.

(أَخْرَجَ) الطَّبْرَانِيُّ عَنِ ابْنِ جُبَيْرٍ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ أَوْحَى اللهُ إِلَى مُوْسَى (ع) إِنِّيْ جَعَلْتُ فِيْكَ عَشَرَةَ آلَافِ سَمْعٍ حَتَّى سَمِعْتَ كَلَامِيْ وَ عَشَرَةَ آلَافِ لِسَانٍ حَتَّى أَجَبْتَنِيْ.

(Telah mengeluarkan) ath-Thabrānī dari Ibnu Zubair dari Nabi s.a.w. bahwa sesungguhnya beliau telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan wahyu pada Nabi Mūsā a.s.: “Sesungguhnya Aku telah menjadikan dalam dirimu 10.000 pendengaran sehingga engkau dapat mendengar kalām-Ku, dan 10.000 lidah sehingga engkau dapat menjawab-Ku.”

وَ أَخْرَجَ الْقُضَاعيُّ أَنَّ اللهَ كَلَّمَ مُوْسَى بِمِائَةِ أَلْفٍ وَ أَرْبَعِيْنَ أَلْفَ كَلِمَةٍ.

Syeikh Qudhā’iy telah mengeluarkan (hadits): “Sesungguhnya Allah telah berbicara pada Mūsā dengan 140.000 kalimat.

وَ مَعنَى ذلِكَ أَنَّهُ فَهِمَ مَعْنًى يُعَبَّرُ عَنْهُ بِهذِهِ الْعِدَّةِ بِحَسَبِ كَشْفِ الْحِجَابِ لَا التَّبْعِيْضِ فِي الصِّفَةِ.

Dan ma‘na itu adalah sesungguhnya Nabi Mūsā dapat memahami ma‘na yang diungkapkan dari Kalām Allah tersebut dengan menggunakan hitungan (jumlah) ini dengan perhitungan terbukannya hijab bukan dengan bagian dalam sifat itu.

وَ رُوِيَ أَنَّ مُوْسَى (ع) عِنْدَ قُدُوْمِهِ مِنَ الْمُنَاجَاةِ كَانَ يَسُدُّ أُذُنَيْهِ لِئَلَّا يَسْمَعَ كَلَامَ الْخَلْقِ إِذْ صَارَ عِنْدَهُ كَأَقْبَحِ مَا يَكُوْنُ مِنْ أَصْوَاتِ الْبَهَائِمِ الْمُنْكِرَةِ.

Dan diriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi Mūsā a.s. ketika beliau datang dari munājat (dengan Allah), beliau menyumbat kedua telinganya, agar beliau tidak mendengar kalām (pembicaraan) makhluk, sebab bagi beliau (percakapan makhluk) itu menjadi seperti lebih buruk dari suara hewan yang meradang,

فَلَمْ يَسْتَطِعْ سَمَاعَهُ بِسَبَبِ مَا ذَاقَ مِنَ اللَّذَّاتِ الَّتِيْ لَا يُحَاطُ بِهَا عِنْدَ سَمَاعِ كَلَامِ مَنْ الَّتِيْ لَا يُحَاطُ بِهَا عِنْدَ سَمَاعِ كَلَامِ مَنْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ.

maka beliau tidak tahan mendengarnya, sebab ia telah merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mendengar kalām Allah, yang tiada satupun menyamai-Nya.

وَ صَارَ يَسْمَعُ دَبِيْبَ النَّمْلَةِ السَّوْدَاءِ فِي اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ مِنْ مَسِيْرَةِ عَشَرَةِ فَرَاسِخَ.

Beliau menjadi mendengar langkah-langkah semut hitam di malam yang gelap dari jarak 10 farsakh (± 80km).

وَ قَدْ أَشْرَقَ وَجْهُهُ بِالنُّوْرِ فَمَا رَآهُ أَحَدٌ إِلَّا عَمَى فَكَانَ يَمْسَحُ الرَّائِيْ وَجْهَهُ مِمَّا عَلَيْهِ فَيَرُدَّ اللهُ عَلَيْهِ بَصَرَهُ.

Dan wajahnya benar-benar memancarkan cahaya, maka tiada satupun orang yang melihat wajah beliau, melainkan pasti buta, lalu Nabi Mūsā mengusap wajah orang yang memandangnya itu dari kebutaan yang ia alami, lalu Allah mengembalikan penglihatannya.

فَتَبَرْقَعَ لِئَلَّا تَذْهَبَ أَبْصَارُ النَّاسِ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ وَ بَقِيَ الْبَرْقَعُ عَلَى وَجْهِهِ إِلَى أَنْ مَاتَ.

Maka Nabi Mūsā (selalu) memakai cadar (tutup muka) agar orang-orang tidak hilang penglihatan matanya (menjadi buta) saat melihat beliau, dan cadar itu tetap terus dipakainya sampai beliau wafat.

وَ لَوْ لَا أَنَّهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى يُنْسِيْهِ مَا ذَاقَ عِنْدَ مُنَاجَاتِهِ مِمَّا لَا يَقْدِرُ عَلَى وَصْفِهِ لِمَا أَمْكَنَ أَنْ يَأْنَسَ إلَى شَيْءٍ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ أَبَدًا وَ لَمَّا انْتَفَعَ بِهِ أَحَدٌ فَسُبْحَانَهُ مِنْ لَطِيْفِ مَا أَوْسَعَ كَرَمُهُ وَ أَعْظَمَ جَلَالُهُ.

Jika seandainya Allah s.w.t. tidak membuat Nabi Mūsā lupa (dari) apa yang ia rasakan saat munājat (pertemuan, pembicaraan dengan Allah) yang (kelezatannya) tak dapat digambarkan oleh kata-kata, maka pastilah ia tidak akan mungkin mau melihat satupun makhluk selamanya dan tidak seorangpun dapat mengambil manfaat dengannya, maka Maha Suci Allah dari lembutnya perkara yang betapa luas kemuliaan-Nya dan betapa agung keluhuran-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *