وَ هُوَ أَنْ تَجْتَمِعَ كُلُّهَا فِيْ مَادَةٍ وَ يَنْفَرِدُ أَحَدُهَا فِيْ مَادَةٍ أُخْرَى كَمَا فِيْ شَجِرِ أَرَاكٍ وَ لَا عَكْسَ.
Ketiganya itu dapat berkumpul (menjadi satu) dalam satu unsur dan salah satu dari tiga itu dapat memiliki ma‘nā yang mandiri dalam bentuk (mādah) yang lain seperti dalam contoh, kayu arāk (kayu siwak), dan tidak sebaliknya.
فَتَجْتَمِعُ كُلُّهَا فِي الشُّكْرِ الْاِصْطِلَاحِيِّ لِأَنَّهُ أَخَصُّ مِنَ الْجَمِيْعَ كَمَا قَدْ عَرَفْتَ تَصْوِيْرَهُ.
Maka semua itu akan berkumpul dalam pengertian syukur secara istilah, karena syukur istilah lebih khusus dari kesemuanya seperti contoh yang telah engkau ketahui gambarannya.
فَلَا يَكُوْنُ مَصْدَرُ غَيْرِهِ كَمَصْدَرِهِ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ فِيْهِ مِنْ صَرْفِ جَمِيْعِ النِّعْمَةِ فِيْ زَمَنٍ وَاحِدٍ.
Maka tempat keluarnya selain syukur istilah (dengan lidah) tidak seperti tempat keluarnya, karena sesungguhnya wajib dalam syukur istilah menjalankan semua ni‘mat pada satu waktu (bersamaan).
وَ يَنْفَرِدُ الْحَمْدُ اللُّغَوِيُّ فِي الثَّنَاءِ بِاللِّسَانِ مِنْ غَيْرِ مُقَابَلَةِ الْإِحْسَانِ
Dan pujian secara bahasa memiliki ma‘nā mandiri dalam sanjungan dengan (lewat) lidah ketika tidak dalam kondisi menghadapi kebaikan (ni‘mat).
وَ يَنْفَرِدُ الْحَمْدُ الْاِصْطِلَاحِيُّ وَ مِثْلُهُ الشُّكْرُ اللُّغَوِيُّ فِيْ الْمَحَبَّةِ بِالْجَنَانِ فِيْ مُقَابَلَةِ الْإِحْسَانِ.
dan pujian secara istilah memiliki ma‘nā mandiri seperti halnya syukur secara bahasa dalam (rasa) cinta di hati ketika menimpali kebaikan.
وَ لَا يَنْفَرِدُ أَحَدُ هذَيْنِ عَنِ الْآخَرِ لِأَنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ كَمَا عَلِمْتَ.
dan salah satu dari keduanya tidak memiliki ma‘nā mandiri (tidak dapat dipisahkan) dari yang lain karena keduanya memiliki kesamaan ma‘nā (mutarādif), seperti yang engkau ketahui.
مِنْ غَرِيْبِ الْاِتِّفَاقِ أَنَّ أَحْرُفَ الْحَمْدِ خَمْسَةٌ.
Di antara kesepakatan ‘Ulamā’ yang langka (gharīb) adalah sesungguhnya huruf-huruf yang ada pada lafazh al-Ḥamdu itu berjumlah lima.
وَ قَدِ ابْتَدِىءَ بِهِ فِي الْقُرْآنِ خَمْسُ سُوَرِ الْأُوْلَى سُوْرَةُ الْفَاتِحَةِ.
Kata al-Ḥamdu benar-benar telah dijadikan awal surah pada lima surah di dalam al-Qur’ān. Pertama surah al-Fātiḥah.
وَ الثَّانِيَةُ سُوْرَةُ الْأَنْعَامِ وَ هِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ جَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَ النُّوْرَ.
Kedua, surah al-An‘ām (QS. 6: 1), yaitu firman Allah ta‘ālā: “Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang…..”
وَ الثَّالِثَةُ سُوْرَةُ الْكَهْفِ وَ هِيَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ.
Ketiga, surah al-Kahfi (QS. 18: 1) yaitu: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitāb (al-Qur’ān)..…”
وَ الرَّابِعَةُ سُوْرَةُ سَبَأٍ وَ هِيَ: الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ لَهُ مَا فِي السَّموَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ.
Keempat, surah Saba’ (QS. 34: 1) yaitu: “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi…..”
وَ الْخَامِسَةُ سُوْرَةُ الْمَلَائِكَةِ (الْفَاطِرِ) وَ هِيَ: الْحَمْدُ للهِ فَاطِرِ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا.
Dan kelima, surah al-Malā’ikat (QS 35 Fāthir: 1) yaitu: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan…..”
وَ اخْتُتِمَ بِهِ خَمْسُ سُوَرٍ أَيْضًا: الْأُوْلَى سُوْرَةُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ وَ هِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَ قُلِ الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا الآية.
Dan lafazh al-Ḥamdu itu dijadikan penghujung surah, pada lima surah juga.
Pertama, surah Bani Isrā’īl (QS. 17 al-Isrā’: 111) yaitu firman Allah ta‘ālā: “Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak…… al-Ayat.
وَ الثَّانِيَةُ سُوْرَةُ النَّمْلِ وَ هِيَ: وُ قُلِ الْحَمْدُ للهِ سَيُرِيْكُمْ آيَاتِهِ فَتَعْرِفُوْنَهَا.
Kedua, surah an-Naml (QS 27: 93) yaitu: “Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya….”
وَ الثَّالِثَةُ سُوْرَةُ الصَّافَّاتِ وَ هِيَ: وَ سَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Ketiga, surah ash-Shāffāt (QS. 37: 181-182) yaitu: “Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.”
وَ الرَّابِعَةُ سُوْرَةُ الزُّمَرِ وَ هِيَ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَ قِيْلَ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Keempat, surah az-Zumar (QS. 39: 75) yaitu firman Allah ta‘ālā: “….. dan diucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.”
وَ الْخَامِسَةُ سُوْرَةُ الْجَاثِيَةِ وَ هُوَ: فَلِلَّهِ الْحَمْدُ رَبِّ السَّموَاتِ وَ رَبِّ الْأَرْضِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Dan kelima, surah al-Jātsiyah (QS. 45: 36) yaitu: “Maka bagi Allah-lah segala puji, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Tuhan semesta alam.”
قَالَ أَحْمَدُ الْمَلَوِيُّ: وَ الْحَمْدُ للهِ ثَممَانِيَةُ أَحْرُفٍ وَ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ثَمَانِيَةٌ فَمَنْ قَالَهَا عَنْ صَفَاءِ قَلْبٍ اسْتَحَقَّ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ أَيْ يُخَيِّرُ بَيْنَهَا إِكْرَامًا لَهُ وَ إِنَّمَا يَدْخُلُ مِنَ الْبَابِ الَّذِيْ عَلِمَ اللهُ أَنَّهُ يَدْخُلُ مِنْهُ. اهــــ
Syaikh Aḥmad Malawī berkata: “Kalimat Al-Ḥamdu lillāhi mempunyai delapan huruf dan pintu-pintu surga ada delapan, maka barang siapa yang mengucapkannya dengan hati yang bersih, maka ia berhak memperoleh delapan pintu surga yakni ia bisa memilih pintu-pintu itu sebagai penghormatan untuknya. Dan pasti ia akan masuk dari pintu yang Allah sajalah yang tahu ia masuk dari pintu mana.” Selesai Aḥmad Malawī.
وَ قَوْلُ النَّاظِمِ الْقَدِيْمِ الْأَوَّلِ إِلَى آخِرِهِ قَالَ الْحَلِيْمِيْ: مَعْنَى الْقَدِيْمِ أَنَّهُ الْمَوْجُوْدُ الَّذِيْ لَيْسَ لِوُجُوْدِهِ ابْتِدَاءٌ وَ الْمَوْجُوْدُ الَّذِيْ لَمْ يَزَلْ. اهـــ
Perkataan Nāzhim (Syaikh Aḥmad Marzūqī) al-Qadīm-il-Awwali sampai akhir bait, berkata Syaikh al-Ḥalīmī: “Makna (al-Qadīm) Yang Maha Dahulu adalah sesungguhnya wujudnya Allah tidak ada permulaannya. Dan maujūd Allah tidak akan pernah sirna.” Selesai Syaikh al-Ḥalīmī.
وَ الْأَوَّلُ هُوَ الَّذِيْ لَا افْتِتَاحَ لِوُجُوْدِهِ وَ الْآخِرُ هُوَ الَّذِيْ لَا اخْتِتَامَ لِوُجُوْدِهِ وَ الْبَاقِي الدَّائمُ الَّذِيْ لَا يَزُوْلُ.
Al-Awwal (pertama) adalah tidak ada permulaan bagi wujūd-Nya, al-Ākhir (akhir) adalah tidak akan penghujung bagi wujūd-Nya, dan al-Bāqī (kekal) adalah langgeng yang tidak pernah sirna.
وَ مَعْنَى بِلَا تَحَوُّلٍ أَيْ بِلَا تَغَيُّرِ وَ هُوَ تَفْسِيْرٌ لِلْبَاقِيْ لِأَنَّ مَعْنَى التَّحَوُّلِ الْاِنْتِقَالُ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ.
Ma‘nā bilā taḥawwuli yakni tanpa ada perubahan. Kata ini menjelaskan ma‘nā kata al-Bāqī, karena sesungguhnya ma‘nā taḥawwul adalah pindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain (berubah-ubah).
(فَائِدَةٌ) اِعْلَمْ أَنَّ الْأَشْيَاءَ عَلَى أَرْبَعَةِ
(Fā’idah) ketahuilah sesungguhnya segala sesuatu (dzāt) itu ada empat macam:
أَقْسَامٍ شَيْءٌ لَا أَوَّلَ لَهُ وَ لَا آخِرَ لَهُ وَ هُوَ ذَاتُ اللهِ تَعَالَى وَ صِفَاتُهُ.
(1) Sesuatu (dzāt) yang tidak mempunyai permulaan dan akhir, yaitu dzāt Allah dan shifat-shifatNya.
وَ شَيْءٍ لَهُ أَوَّلٌ وَ آخِرٌ وَ هُوَ ذَاتُ الْمَخْلُوْقِيْنَ وَ صِفَاتُهُمْ.
(2) Sesuatu yang mempunyai permulaan dan akhir yaitu dzāt makhluk dan shifat-shifatnya.
وَ شَيْءٍ لَيْسَ لَهُ أَوَّلٌ وَ لَهُ آخِرٌ وَ هُوَ عَدَمُنَا الْأَزَلِيُّ فَيَنْتَهِيْ بِوُجُوْدِنَا.
(3) Sesuatu yang tidak mempunyai permulaan tapi mempunyai akhir yaitu ketiadaan kita di zaman azali, berakhir sampai keberadaan kita (terwujud di dunia).
وَ شَيْءٍ لَهُ أَوَّلُ وَ لَيْسَ لَهُ آخِرٌ وَ هُوَ الدَّارُ الْآخِرَةِ.
(4) Sesuatu yang mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir yaitu desa akhirat.