(وَ جَائِزٌ بِفَضْلِهِ وَ عَدْلِهِ | تَرْكٌ لِكُلِّ مُمْكِنٍ كَفِعْلِهِ) |
Bait #10:
(Dan jā’iz (boleh) dengan anugrah dan keadilan-Nya,
Meninggalkan yang mungkin sama seperti halnya yang Dia kerjakan.)
أَيْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَجُوْزُ أَنْ يَخْلُقَ الْخَيْرَ وَ الشَّرَّ
Ya‘ni wajib bagi setiap mukallaf meng-i‘tiqād-kan bahwa sesungguhnya Allah boleh (berwenang) menciptakan yang baik dan jelek.
وَ يَجُوْزُ أَنْ يَخْلُقَ الْإِسْلَامَ فِيْ زَيْدٍ وَ الْكُفْرَ فِيْ عُمْرٍو وَ الْعِلْمَ فِيْ أَحَدِهِمَا وَ الْجَهْلَ فِي الْآخَرِ.
Allah boleh (jā’iz) menciptakan Islam pada Zaid dan kufur pada ‘Amr, ‘ilmu (‘ālim) pada salah seorangnya dan bodoh bagi yang lainnya.
وَ إِثَابَتُهُ تَعَالَى لِلْمُطِيْعِ فَضْلٌ مِنْهُ وَ عِقَابُهُ لِلْعَاصِيْ عَدْلٌ مِنْهُ لِأَنَّهُ النَّافِعُ الضَّارُّ.
Pemberian pahala Allah ta‘ālā bagi orang yang ta‘at adalah merupakan anugerah dari-Nya, sedangkan siksa Allah bagi pembuat maksiat adalah keadilan dari-Nya, karena sesungguhnya Dia adalah (pemberi) manfa‘at dan madharat (bahaya).
وَ إِنَّمَا هذِهِ الطَّاعَةُ وَ الْمَعَاصِيْ عَلَامَةٌ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُثِيْبُ وَ يُعَاقِبُ مَنِ اتَّصَفَ بِهِمَا.
Dan sesungguhnya keta‘atan dan maksiat ini adalah tanda bahwa sesungguhnya Allah mengganjar dan menyiksa orang yang mempunyai kedua sifat itu.
فَمَنْ أَرَادَ سَعَادَتَهُ وَفَّقَهُ لِطَاعَتِهِ وَ مَنْ أَرَادَ شَقَاوَتَهُ خَلَقَ فِيْهِ الْمَعْصِيَةَ.
Maka siapa saja yang Allah kehendaki kebahagiaan, maka Allah akan memberi taufīq (mengarahkan) orang itu untuk ta‘at kepada-Nya, dan siapa saja yang Allah kehendaki kesengsaraan, maka dijadikan (baginya untuk selalu) berbuat maksiat.
فَجِمِيْعُ الْأُمُوْرِ مِنْ أَفْعَالِ الْخَيْرِ وَ الشَّرِّ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى لِأَنَّ اللهُ تَعَالَى خَلَقَ الْعَبْدَ وَ مَا عَمِلَهُ.
Jadi semua perkara baik atau buruk adalah ciptaan Allah, karena sesungguhnya Allah yang menciptakan hamba dan perbuatannya.
قَالَ تَعَالَى: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.
Allah ta‘ālā berfirman: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. 37 ash-Shāffāt: 96).
فَهُوَ الَّذِيْ يَصْدُرُ عَنْهُ النَّفْعُ وَ الضَّرُّ فَلَا خَيْرَ وَ لَا شَرَّ وَ لَا نَفْعَ وَ لَا ضَرَّ إِلَّا وَ هُوَ مَنْسُوْبٌ إِلَيْهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Maka Dia adalah dzāt yang bersumber dari-Nya manfa‘at dan bahaya, sehingga tiada kebaikan, kejelekan, manfa‘at dan madharat kecuali dihubungkan (dinisbatkan) kepada Allah s.w.t.
فَحِيْنَئِذٍ بَنْبَغِيْ لِلْعَبْدِ أَنْ يَكُوْنَ اعْتِمَادُهُ عَلَيْهِ تَعَالَى وَحْدَهُ فَلَا يَرْجُوْ وَ لَا يَخْشَى أَحَدًا غَيْرَهُ تَعَالَى.
Maka ketika itu (Allah sumber segala) sepatutnya bagi seorang hamba agar ada pegangannya adalah hanya kepada-Nya, tidak perlu berharap dan takut kepada seorangpun selain-Nya.
وَ حُكِيَ عَنْ سَيِّدِنَا مُوْسَى عَلَيْهِ وَ عَلَى نَبِيِّنَا أَفْضَلُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ أَنَّهُ شَكَا أَلَمَ سِنِّهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى.
Diceritakan (NZ-131) tentang Sayyidinā Mūsā, semoga atasnya dan atas Nabi kita seutama-utamanya shalawat dan salam, bahwa: sesungguhnya Nabi Mūsā a.s. mengeluhkan giginya yang sangat sakit kepada Allah ta‘ālā.
فَقَالَ خُذِ الْحَشِيْشَةَ الْفُلَانِيَّةَ وَ ضَعْهَا عَلَى سِنِّكَ فَسَكَنَ الْوَجَعُ فِي الْحَالِ.
lalu Allah berfirman: “Ambillah daun rumput dan tempelkan atau letakan pada gigimu yang sakit, maka rasa sakit hilang seketika.”
ثُمَّ بَعْدَ مُدَّةٍ عَادَ ذِلِكَ الْوَجْعُ فَأَخَذَ تِلْكَ الْحَشِيْشَةَ وَ وَضَعَهَا عَلَى سِنِّهِ فَزَادَ الْوَجَعَ أَضْعَافَ مَا كَانَ.
Kemudian setelah beberapa saat penyakit itu kembali lagi, kemudian Nabi Mūsā mengambil daun rumput itu dan meletakkan pada giginya (yang sakit), maka (namun) rasa sakit melebihi yang lalu (sebelum diobati).
فَاشْتَغَاثَ إِلَى اللهِ تَعَالَى فَقَالَ: إِلهِيْ أَلَسْتَ أَمَرْتَنِيْ بِهذَا وَ دَلَلْتَنِيْ عَلَيْهِ.
Lalu beliau minta pertolongan pada Allah dan ia berkata: “Wahai Tuhanku, tidakkah engkau memerintahkan aku dengan ini (daun) dan menunjukkan padaku atasnya (menempelkannya pada gigi).”
فَقَالَ تَعَالَى يَا مُوْسَى أَنَا الشَّافِيْ وَ أَنَا الْمُعَافِيْ وَ أَنَا الضَّارُّ وَ أَنَا النَّافِعُ قَصَدْتَنِيْ فِي الْمَرَّةِ الْأُوْلَى فَأَزَلْتُ مَرَضَكَ وَ الْآنَ قَصَدْتَ الْحَشِيْشَةَ وَ مَا قَصَدْتَنِيْ. اهـــ.
lalu Allah ta‘ālā berfirman: “Wahai Mūsā, Akulah yang menyembuhkan, Akulah yang (memberi) ‘afiat (sehat), Akulah yang (memberi) madharat, dan Akulah yang (memberi) manfa‘at, engkau tujukan (niat)-mu pada-Ku pada yang pertama sehingga Akupun menghilangkan penyakitmu, sedangkan sekarang engkau tujukan kepada daun rumput ini bukan engkau tujukan kepada Aku.” Selesai hikayat dari Sayyidinā Mūsā.
وَ لَمَّا فَرَغَ النَّاظِمُ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِمَوْلَانَا شَرَعَ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِرُسُلِهِ.
Dan tatkala Nāzhim (Syaikh Aḥmad Marzūqī) telah selesai (membahas) masalah-masalah yang berhubungan dengan Tuhan kita, maka beliau melanjutkan (pembahasan) tentang perkara-perkara yang berhubungan dengan rasūl-rasūlNya.