Bait 1 – Nur-uzh-Zhalam – Syarah ‘Aqidat-ul-‘Awam

نُوْرُ الظَّلَامِ
Nūr-uzh-Zhalām
Penerang kegelapan
Oleh: Syaikh Nawawī al-Bantānī

 
Syarah sya‘ir ‘Aqīdat-ul-‘Awām
Karya: Syaikh as-Sayyid Aḥmad Marzūqī al-Mālikī.
 
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Oleh: Team terjemah Pustaka Mampir

(اَبْدَأُ بِاسْمِ اللهِ وَ الرَّحْمنِ وَ بِالرَّحِيْمِ دَائِمِ الْإِحْسَانِ.)

(Aku mulai dengan menyebut nama Allah
dan Yang Maha Kasih, Maha Penyayang, Yang selalu berbuat baik).

 

أَيْ اَبْدَأُ فِيْ تَأْلِيْفِ هذِهِ الْمَنْظُوْمَةِ مُسْتَعِيْنًا بِمُسَمَّى اسْمَ اللهِ كَمَا فَسَّرَ بِذلِكَ الْبَيْجُوْرِيُّ.

Yakni aku memulai dalam menyusun kitab nazham ini dengan memohon pertolongan kepada Dzāt Yang Dia dinamai dengan nama Allah, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Syaikh Baijūrī.

وَ الْإِتْيَانِ بِالْبَسْمَلَةِ مَنْظُوْمَةً هُوَ خِلَافُ الْأَوْلَى نَبَّهَ عَلَى ذلِكَ الْبَيْجُوْرِيُّ.

Mendatangkan (membaca) basmalah dalam bentuk nazham bertentangan dengan arus yang lebih utama (khilāf-ul-aulā), Syaikh Baijūrī telah mengingatkan hal itu.

(وَ اعْلَمْ) أَنَّ الْاِسْمَ عَيْنُ الْمُسَمَّى كَمَا عَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَشَاعِرَةِ.

(Ketahuilah) sesungguhnya nama itu adalah ‘ain (dzāt) dari sesuatu yang dinamakan seperti pendapat kebanyakan kaum al-Asy‘arī (ahl-us-sunnah wal-jamā‘ah).

قَالَ تَعَالَى: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ.

Allah ta‘ālā berfirman: “Sucikanlah nama Tuhanmu…..” (QS 87 al-A‘lā: 1).

وَ قَالَ أَيْضًا: مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَّا أَسْمَاءً.

Dan firman-Nya juga: “Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama……” (QS 12 Yūsuf: 40).

وَ ظَاهِرٌ أَنَّ التَّسْبِيْحَ وَ الْعِبَادَةَ لِلذَّوَاتِ

Yang zhāhir bahwa tasbīḥ dan ibadah adalah ditujukan kepada dzāt.

وَ قِيْلَ الْاِسْمُ غَيْرُ الْمُسَمَّى.

Menurut satu pendapat (lemah/qīl): “Nama bukan sesuatu yang dinamakan.”

لِقَوْلِهِ تَعَالَى: لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.

Berdasarkan firman Allah ta‘ālā: “…..Dia mempunyai al-Asmā’-ul-Ḥusnā (nama-nama yang baik),” (QS 20 Thāhā: 8/QS 59 al-Ḥasyr: 24).

وَ لَا بُدَّ مِنَ الْمُغَايَرَةِ بَيْنَ الشَّيْءِ وَ مَا هُوَ لَهُ وَ لِتَعَدُّدِ الْأَسْمَاءِ مَعَ اتِّحَادِ الْمُسَمَّى.

Harus ada perbedaan antara sesuatu (dzāt) dan sesuatu yang ia sandang (sesuatu yang dinamakan). Dan karena berbilang nama (namanya banyak) serta tunggalnya sesuatu yang dinamakan (Allah itu satu tapi nama-Nya ada 99).

وَ لَوْ كَانَ عَيْنَهُ لَاحْتَرَقَ فَمُّ مَنْ قَالَ نَارًا إِلَى غَيْرِ ذلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ.

Jika nama adalah ‘ain (dzāt) sesuatu yang dinamakan, maka pastilah terbakar mulut orang yang berkata: “Api”, sampai hal-hal yang merusak lainnya.

وَ التَّحْقِيْقُ أَنَّهُ إِنْ أُرِيْدَ مِنَ الْاِسْمِ اللَّفْظُ فَهُوَ غَيْرُ مُسَمَّاهُ قَطْعًا أَيْ بِلَا خِلَافٍ وَ إِنْ أُرِيْدَ بِهِ مَا يُفْهَمُ مِنْهُ فَهُوَ عَيْنُ الْمُسَمَى قَالَهُ الشَّنْوَانِيُّ.

Dan yang benar adalah bahwa sesungguhnya jika nama dimaksudkan (dikehendaki) sebagai lafazh, maka pasti ia bukan sesuatu yang dinamakan, yakni tanpa ada perbedaan pendapat. Jika nama dimaksudkan sebagai apa yang difahami darinya (mafhūm-nya bukan manthūq-nya), maka ia (nama) adalah ‘ain (dzāt) dari sesuatu yang dinamakan, seperti telah dikatakan oleh Imām asy-Syanwānī.

قَالَ السُّيُوْطِيُّ فَمَعْنَى اللهِ مَنْ تَقَادَمَ وُجُوْدُهُ وَ تَعَاظَمَ ذَاتُهُ وَ صِفَاتُهُ وَ عَمَّ جُوْدُهُ.

Imām as-Suyūthī berkata: “Maka Allah adalah yang Maha Dahulu wujud-Nya, Maha Agung Dzāt-Nya dan Shifat-Nya dan merata (di mana-mana) wujūd-Nya.”

وَ مَعْنَى الرَّحْمنِ مَنْ عَظُمَ إِحْسَانُهُ وَ دَامَ امْتِنَانُهُ وَ مَعْنَى الرَّحِيْمِ مَنْ سَدَّ كُلَّ فَاقَةٍ وَ لَمْ يَحْمِلْ دُوْنَ طَاقَةٍ.

Ma‘nā ar-Raḥmān adalah Dzāt yang agung kebaikan-Nya dan terus-menerus anugrah-Nya (nikmat-Nya). Dan makna ar-Raḥīm adalah Dzāt yang menahan setiap kemiskinan dan yang tidak membebani sesuatu tanpa kemampuan melaksanakannya.

وَ قَالَ أَحْمَدُ الصَّاوِيُّ: وَ اللهُ هُوَ الْاِسْمُ الْجَامِعُ لِأَنَّ جَمِيْعَ الْأَسْمَاءِ مُنْدَرِجَةٌ فِيْهِ وَ الرَّحْمنُ الْمُنْعِمُ بِجَمِيْعِ النِّعَمِ كَمًّا وَ كَيْفًا دُنْيَوِيَّةً وَ أُخْرَوِيَّةً الظَّاهِرِيَّةً وَ بَاطِنِيَّةً.

Syaikh Aḥmad Shāwī berkata: “Allah adalah nama yang mengandung arti banyak (isim jama‘) karena semua nama (asmā’-ul-ḥusnā) masuk ke dalamnya. Ar-Raḥmān adalah Dzāt yang memberikan berbagai ni‘mat, baik jumlah maupun caranya (yang bershifat) duniawiyyah, ukhrawiyyah, zhāhiriyyah (sesuatu yang tampak), dan bāthiniyyah (sesuatu yang tidak tampak).

وَ الرَّحِيْمُ هُوَ الْمُنْعِمُ بِدَقَائِقِ النِّعَمِ كَمًّا وَ كَيْفًا دُنْيَوِيَّةً وَ أُخْرَوِيَّةً الظَّاهِرِيَّةً وَ بَاطِنِيَّةً.

Dan ar-Raḥīm adalah Dzāt Pemberi ni‘mat-ni‘mat yang lembut (halus), baik jumlah maupun caranya (yang bersifat) duniawiyyah, ukhrawiyyah, zhāhiriyyah, dan bāthiniyyah.

وَ الدَّقَائِقُ مَا تَفَرَّعَتْ عَنِ الْأُصُوْلِ الَّتِيْ هِيَ الْجَلَائِلُ كَالزِّيَادَةِ فِي الْإِيْمَانِ وَ الْعِلْمِ وَ الْمَعْرِفَةِ وَ التَّوْفِيْقِ وَ الْعَافِيَةِ وَ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ. اهــــ

Ni‘mat-ni‘mat yang lembut (halus) adalah merupakan percabangan dari ni‘mat yang pokok, yaitu ni‘mat-ni‘mat yang Agung seperti bertambahnya Iman, Ilmu, ma‘rifat (mengetahui Allah), taufiq, ni‘mat sehat, ni‘mat mendengar dan melihat”. Selesai Aḥmad Shāwī.

قَالَ أَحْمَدُ الْمَلَوِيُّ: وَ الرَّحْمنُ أَبْلَغُ مِنَ الرَحِيْمِ لِأَنَّ زِيَادَةَ أَحَدِ الْمُتَّفِقَيْنِ اشْتِقَاقًا وَ نَوْعِيَّةً تَدُلُّ عَلَى زِيَادَةِ الْمَعْنَى.

Syaikh Aḥmad Malawī berkata: “Lafazh ar-Raḥmān itu lebih luas maknanya daripada lafazh ar-Raḥīm, karena kelebihan salah satu dari dua hal yang bersesuaian dalam bentuk dan macamnya menunjukkan pada berlebihnya ma‘nā,

لِأَنَّ مَعْنَاهُ الْمُنْعِمُ الْحَقِيْقِيُّ الْبَالِغُ فِي الرَّحْمَةِ غَايَتَهَا.

Karena makna kata ar-Raḥmān adalah Dzāt yang memberi ni‘mat yang hakiki yang lebih luas dalam memberikan rahmat sampai batas akhirnya.

وَ ذلِكَ لَا يَصْدُقُ عَلَى غَيْرِهِ تَعَالَى بَلْ رَجَّحَ بَعْضُهُمْ عَلَمِيَّتَهُ.

Dan hal demikian tidak benar (tidak cocok) untuk selain Allah ta‘ālā, bahkan sebagian ‘Ulamā’ mengunggulkan penamaannya pada Allah.

وَ لَمَّا دَلَّ عَلَى حَلَائِلِ النِّعَمِ وَ أُصُوْلِهَا ذَكَرَ الرَّحِيْمَ لِيَتَنَاوَلَ مَا دَقَّ وَ لَطَفَ لِيَكُوْنَ كَالتَّتِمَّةِ.

Ketika untuk menunjukkan (menjelaskan) atas ni‘mat-ni‘mat yang agung dan ni‘mat-ni‘mat pokok, maka disebutkan dengan kata ar-Raḥīm agar dapat memperoleh ni‘mat yang lembut dan halus agar menjadi seperti penyempurnaan.

وَ الْأَبْلَغِيَّةُ إِنَّمَا تُوْخَذُ بِاعْتِبَارِ الْكَمِّيَّةِ أَيِ الْعَدَدِ وَ لِذَا قِيْلَ يَا رَحْمنَ الدُّنْيَا لِأَنَّهُ يَعُمُّ الْمُؤْمِنَ وَ الْكَافِرَ وَ رَحِيْمَ الْآخِرَةِ لِأَنَّهُ لَا يَخُصُّ الْكَافِرَ.

Dan keluasan ma‘nā (ablaghiyyah) itu diambil dari perhitungan jumlah ya‘ni bilangan. Karena itu dikatakan: “Wahai Dzāt yang Maha Pengasih di dunia”, karena raḥmān itu merata untuk orang mu‘min dan orang kafir, dan (dikatakan): “Wahai Dzāt yang Maha Penyayang di akhirat” karena raḥīm itu tidak diperuntukkan untuk orang kafir.

وَ تَارَةً بِاعْتِبَارِ الْكَيْفِيَّةِ أَيِ الصِّفَةِ وَ لِذَا قِيْلَ يَا رَحْمنَ الْدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ رَحِيْمَ الدُّنْيَا لِأَنَّ النِّعَمَ الْأُخْرَوِيَّةَ كُلَّهَا جِسَامٌ وَ أَمَّا الدُّنْيَنِيَّةُ فَجَلِيْلَةٌ وَ حَقِيْرَةٌ.

Dan kadang-kadang keluasan ma‘nā (ablaghiyyah) itu dilihat dari segi cara ya‘ni sifat, karena itu dikatakan: “Wahai Dzāt yang Maha Pengasih di dunia dan di akhirat” dan (dikatakan): “Wahai Dzāt yang Maha Penyayang di dunia” karena sesungguhnya ni‘mat-ni‘mat akhirat semuanya adalah agung, dan adapun ni‘mat dunia, ada yang mulia dan ada yang hina.”

قَالَ الْبَيْضَاوِيُّ: وَ نَعَمُ اللهِ تَعَالَى وَ إِنْ كَانَتْ لَا تُحْصَى تَنْحَصِرُ فِيْ جِنْسَيْنِ دُنْيَوِيٍّ وَ أُخْرَوِيٍّ فَالدُّنْيَوِيُّ قِسْمَانِ وَهْبِيٌّ وَ كَسْبِيٌّ.

Syaikh al-Baidhāwī berkata: “Ni‘mat-ni‘mat Allah ta‘ālā sekalipun tidak dapat dihitung, dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu: duniawī dan ukhrawī. Ni‘mat duniawī itu ada dua bagian atau macam, yaitu (1) wahbī dan (2) kasbī.

فَالْوَهْبِيُّ قِسْمَانِ رُوْحَانِيٌّ كَنَفْخِ الرُّوْحِ فِي الْعَبْدِ وَ إِشْرَاقِهِ بِالْعَقْلِ وَ مَا يَتْبَعُهُ مِنَ الْقُوَى كَالْفَهْمِ وَ الْفِكْرِ وَ النُّطْقِ.

(1). Ni‘mat duniawi yang wahbī (pemberian langsung dari Allah) itu terbagi menjadi dua, yaitu: Ni‘mat rūḥānī seperti ditiupkannya rūḥ pada hamba dan menyinarinya dengan akal dan diikuti dengan kekuatan-kekuatan seperti pemahaman, pikiran dan ucapan,

وَ جِسْمَانِيٌّ كَخَلْقِ الْبَدَنِ وَ الْقُوَى الْحَالَةُ فِيْهِ وَ الْهَيْآتِ الْعَارِضَةِ لَهُ مِنَ الصِّحَّةِ وَ كَمَالِ الْأَعْضَاءِ.

Dan ni‘mat jasmanī, seperti diciptakannya tubuh dan kekuatan yang menetap di dalamnya dan keadaan yang menyokong tubuh, berupa kesehatan dan kesempurnaan anggota tubuh.

وَ الْكَسْبِيُّ تَزْكِيَةُ النَّفْسِ عَنِ الرَّذَائِللِ وَ تَحْلِيَتُهَا بِالْأَخْلَاقِ الْمَرْضِيَّةِ وَ تَزْيِيْنُ الْبَدَنِ بِالْهَيْآتِ الْمَطْبُوْعَةِ وَ الْحُلِّيِّ الْمُسْتَحْسِنَةِ وَ حُصُوْلِ الْجَاهِ وَ الْمَالِ.

(2). Dan ni‘mat kasbī (yang dihasilkan lewat usaha) yaitu membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan akhlāq yang diridhai dan menghiasi tubuh dengan bentuk watak (tabiat yang baik), dengan perhiasan-perhiasan (intan permata) yang indah dengan pangkat atau kedudukan dan dengan harta.

وَ الْأُخْرَوِيُّ أَنْ يُغْفَرَ مَا فَرَّطَ مِنَ الْعَبْدِ وَ يُرْضَى عَنْهُ وَ يُبَوَّئُهُ فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ مَعَ الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ أَبَدَ الْآبِدِيْنَ.

Dan ni‘mat ukhrawī adalah diampuninya kelalaian (dosa) seorang hamba, diridhai-Nya (mendapatkan ridha dari Allah) dan ditempatkan di tempat tertinggi di surga ‘Illiyyūn bersama para Malaikat Muqarrabīn selama-lamanya.”

وَ قَوْلُ النَّاظِمِ دَائِمِ الْإِحْسَانِ أَيْ مُتَتَابِعِ الْإِعْطَاءِ وَ الْإِنْعَامِ مِنْ غَيْرِ انْصِرَامٍ فَهُوَ تَكْمِيْلٌ لِلْبَيْتِ.

Ucapan Nāzhim (Syaikh Aḥmad Marzūqī) Dā’im-ul-Iḥsāni artinya Dzāt yang terus-menerus memberikan ni‘mat tanpa terputus. Kata Dā’im-ul-Iḥsāni sebagai penyempurna bait.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *