Tahun berikutnya telah tiba, datanglah sebanyak dua belas orang laki-laki (dari Yatsrib); sepuluh orang dari kabilah Khazraj dan dua lainnya dari kabilah Aus. Mereka adalah:
2&3. ‘Auf serta Mu‘ādz, keduanya anak al-Ḥārits
Mereka semua berkumpul di ‘Aqabah dan masuk Islām serta berbai‘at kepada Rasūlullāh s.a.w. sebagaimana bai‘atnya kaum wanita, karena pada masa itu perang (jihad) belum diwajibkan. Bai‘at tersebut berisi; hendaknya mereka tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak boleh melakukan perbuatan dusta di antara tangan dan kaki mereka, dan tidak boleh menyelisihi (durhaka) kepada beliau dalam perkara makruf. Apabila mereka menunaikan janji maka bagi mereka surga sebagai balasannya, dan apabila mereka melakukan kecurangan di antara salah satunya maka perkara mereka terserah kepada Allah s.w.t.; jika berkehendak akan mengampuni dan jika berkehendak Dia akan mengazab mereka. (11) Inilah Bai‘at ‘Aqabah pertama.
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. mengutus Mush‘ab bin ‘Umair al-‘Abdarī dan ‘Abdullāh bin Ummi Maktūm anak bibi dari Khadījah kepada mereka (penduduk Yatsrib) untuk membacakan al-Qur’ān kepada mereka dan mengajarkan agama kepada mereka. Mush‘ab tinggal di rumah seseorang yang telah berbai‘at, yaitu Abū Umāmah, As‘ad bin Zurārah. Kemudian Mush‘ab menyeru kabilah Aus dan Khazraj lainnya untuk masuk Islām.
Ketika Mush‘ab berada di kebun bersama As‘ad bin Zurārah, tiba-tiba Sa‘ad bin Mu‘ādz – pemimpin kabilah Aus – berkata kepada Usaid bin Ḥudhair, saudara sepupu As‘ad: “Temuilah dua orang yang datang untuk membodohi orang-orang lemah kita, dan cegahlah keduanya. Ketika As‘ad melihatnya (Usaid), ia berkata kepada Mush‘ab: “Ini adalah pemimpin kaumnya. Ia telah datang kepadamu maka berkata benarlah tentang Allah kepadanya.” Setelah berdiri di hadapan keduanya, Usaid berkata:
“Dengan apa yang kalian bawa itu, kalian membodohi orang-orang lemah dari kami. Silakan tinggalkan (tempat ini) jika kalian masih sayang pada diri kalian.”
Mush‘ab berkata: “Silakan duduk dulu dan dengarkan; jika engkau suka perkara (yang kami sampaikan) maka silakan terima, tapi jika engkau tidak suka maka kami akan berhenti (menyampaikan) apa yang tidak engkau sukai.”
Kemudian Mush‘ab membacakan al-Qur’ān kepadanya dan ia (Usaid) pun mengakui bahwa agama Islam itu baik. Allah s.w.t. memberinya hidāyah dan ia bersyahādat (masuk Islām). Setelah itu, ia pulang menemui Sa‘ad bin Mu‘ādz. Sa‘ad bertanya kepadanya mengenai apa yang telah ia lakukan. Usaid menjawab: “Demi Allah, menurutku kedua orang itu tidak ada masalah.” Setelah mendapat jawaban tersebut Sa‘ad bin Mu‘ādz marah lalu berangkat menemui keduanya dengan penuh kemarahan. Mush‘ab pun melakukan hal yang sama seperti sebelumnya dan ternyata Allah s.w.t. memberikan hidāyah kepadanya (Sa‘ad bin Mu‘ādz) sehingga ia pun masuk Islām. Kemudian ia pulang menemui para tokoh Bani ‘Abd-il-Asyhal. Mereka adalah salah satu pemuka kabilah Aus. Lalu ia berkata kepada mereka: “Bagaimana anggapan kalian terhadap diriku ini?”
Mereka menjawab: “Engkau adalah pemimpin kami dan anak pemimpin kami.”
Sa‘ad berkata kepada mereka: “Kaum lelaki dan kaum perempuan di antara kalian haram berbicara denganku sebelum kalian masuk Islām.”
Oleh sebab itu, semua keluarga Bani ‘Abd-il-Asyhal memenuhi ajakan Sa‘ad bin Mu‘ādz (masuk Islām). Akhirnya, agama Islam menyebar ke seluruh rumah di kota Madīnah sehingga tiada obrolan bagi mereka kecuali masalah agama Islam. (22)
Pada musim haji berikutnya, yaitu setahun setelah Bai‘at ‘Aqabah Pertama, banyak di antara mereka (orang-orang Yastrib) yang datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan di antara mereka terdapat orang-orang yang masih musyrik. Ketika utusan mereka menghadap Rasūlullāh s.a.w., mereka menjanjikan kepada Beliau untuk bertemu pada malam hari di ‘Aqabah. Lalu Beliau berpesan kepada mereka agar jangan sampai mereka membangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak, dan jangan pula menunggu orang yang tidak ada. Semua kegiatan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar orang-orang musyrik tidak mengetahuinya. Jika sampai mereka mengetahui hal ini niscaya mereka akan menghalangi apa yang telah mereka sepakati. Urusan mereka sejak semula adalah bersama Rasūlullāh s.a.w.
Setelah selesai menunaikan haji, orang-orang Anshār pun berangkat menuju tempat pertemuan yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi supaya tidak diketahui oleh rekan-rekan mereka yang musyrik. Hal itu mulai mereka lakukan setelah malam hari memasuki sepertiga awal. Mereka berangkat susul-menyusul satu dan dua orang sehingga jumlah mereka lengkap 73 orang. Di antara mereka terdapat 62 orang dari kabilah Khazraj dan sebelas orang lainnya dari kabilah Aus. Di antara mereka ada dua orang perempuan, yaitu Nusaibah binti Ka‘ab dari Bani Najjār dan Asmā’ binti ‘Amr dari Bani Salamah.
Rasūlullāh s.a.w. menemui mereka di tempat tersebut dan hanya mengajak pamannya, al-‘Abbās bin ‘Abd-il-Muththalib yang masih memeluk agama kaumnya, tetapi ia ingin hadir mengetahui perkara keponakannya itu supaya ia yakin dan melihat sendiri apa yang akan dilakukannya. Setelah mereka berkumpul, al-‘Abbās memberitahukan kepada mereka bahwa keponakannya ini masih tetap kuat menghadapi kaumnya sehingga mereka tidak bisa memberi kuasa kepada seseorang yang menampakkan permusuhan dan kebencian terhadapnya untuk mencelakakannya. Bahkan sebaliknya mereka sendirilah yang menanggung banyak penderitaan dan keresahan dalam menghadapinya.
Kemudian al-‘Abbās menegaskan kepada mereka: “Apabila kalian benar-benar akan menepati janji kalian terhadapnya sesuai dengan apa yang telah kalian utarakan kepadanya dan kalian akan membelanya dari perlakuan orang-orang yang menentangnya maka kalian harus siap menanggung segala akibatnya. Namun, jika kalian tidak bersedia maka biarkanlah ia berada di tengah keluarganya karena ia berada dalam kedudukan yang terhormat.”
Lalu pemimpin mereka selaku juru bicara, yaitu al-Barrā’ bin Ma‘rūr, berkata: “Demi Allah, seandainya kami mempunyai sesuatu yang hendak kami katakan niscaya kami akan mengatakannya. Namun, kami datang ke sini tiada lain hanya ingin memenuhi janji dan percaya, serta siap mengorbankan jiwa demi membela Rasūlullāh s.a.w.”
Pada saat itu juga mereka semua berkata Rasūlullāh s.a.w.: “Ambillah (perjanjian dari kami) untuk dirimu dan Rabb-mu apa yang engkau sukai.” Maka Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada mereka: “Aku mensyaratkan kepada kalian, demi Rabb-ku, hendaklah kalian menyembah-Nya semata dan janganlah sekali-kali kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Aku mensyaratkan kepada kalian untukku, hendaknya kalian membela diriku sebagaimana kalian membela perempuan-perempuan dan anak-anak kalian sendiri kapan saja aku datang kepada kalian.”
Kemudian al-Haitsam bin at-Taihān berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya di antara kami dan orang-orang lain terdapat ikatan perjanjian, dan kami akan memutuskannya, apakah jika kami melakukan hal tersebut, kemudian Allah s.w.t. memenangkanmu maka engkau akan kembali kepada kaummu, dan engkau tinggalkan kami begitu saja?” Mendengar pertanyaan tersebut Rasūlullāh s.a.w. tersenyum, lalu berkata: “Darah dengan darah dan kehancuran dengan kehancuran.” Maksudnya, jika kalian menuntut darah maka aku juga menuntutnya, dan jika kalian menggugurkan (qisas dan diyat) maka aku juga akan menggugurkannya.
Dan pada saat itu juga dimulailah pembaiatan, yakni Bai‘at ‘Aqabah Kedua. Lalu mulailah orang-orang Anshār membaiat Rasūlullāh s.a.w. sesuai dengan apa yang Beliau minta. Orang pertama yang membaiat ialah As‘ad bin Zurārah, tetapi menurut pendapat lain ialah al-Barrā’ bin Ma‘rūr. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memilih dua belas orang di antara mereka; dari setiap keluarga dipilih satu orang, untuk dijadikan pemimpin mereka; ya‘ni sembilan orang dari kabilah Khazraj dan tiga orang dari kabilah Aus. Mereka adalah Abū Haitsam ibnu at-Taihān, As‘ad bin Zurārah, Usaid bin Ḥudhair, al-Barrā’ bin Ma‘rūr, Rāfi‘ bin Mālik, Sa‘ad bin Khaitsamah, Sa‘ad bin ar-Rābi‘, Sa‘ad bin ‘Ubādah, ‘Abdullāh bin Rawāḥah, ‘Abdullāh bin ‘Amru, ‘Ubādah bin Shāmit dan al-Mundzir bin ‘Amru.
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepada mereka: “Kalian adalah para pelindung kaum kalian sebagaimana kaum ḥawāriyyīn melindungi ‘Īsā bin Maryam, dan aku adalah pelindung kaumku.”
Namun, sudah menjadi kehendak Allah s.w.t., berita pembantaian ini sampai juga ke telinga orang-orang Quraisy. Mereka pun mendatangi perkemahan orang-orang Anshār, lalu mereka berkata: “Hai orang-orang Khazraj, aku dengar kalian telah menemui Muḥammad dan kalian akan membawanya keluar dari negeri kami, kemudian kalian telah berbaiat kepadanya untuk memerangi kami.” Namun, mereka menyangkal hal itu, dan orang-orang musyrik yang datang dari Madīnah bersama kaum Anshār, yaitu mereka yang tidak menghadiri baiat tersebut bersumpah kepada kaum musyrikīn Quraisy bahwa teman-teman mereka pada malam itu tidak pergi ke mana-mana dan tidak melakukan apa-apa sehingga ‘Abdullāh bin Ubay, seorang pemimpin dari kabilah Khazraj, berkata: “Jika memang kaumku melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut niscaya mereka mengikutsertakan diriku.”
Setelah orang-orang Anshār pulang ke Madīnah, agama Islam menjadi jaya lebih dari sebelumnya. Sementara Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabatnya justru mendapatkan gangguan lebih keras lagi dari kaum Musyrikīn karena mereka mendengar berita bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah mengadakan perjanjian dengan penduduk Madīnah untuk melawan mereka. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kepada seluruh kaum Muslimīn untuk berhijarah ke Madīnah. Kemudian mereka berangkat secara diam-diam ke Madīnah karena khawatir orang-orang Quraisy akan menghalangi mereka. Orang pertama yang keluar dari Makkah ialah Abū Salamah al-Makhzūmī bersama istrinya, Ummu Salamah. Pada mulanya kaum Ummu Salamah mencegahnya mengikuti jejak suaminya. Lalu Ummu Salamah menyusul suaminya dan berangkat ke Madīnah.
Kaum Muhājirīn berangsur-angsur hijrah (ke Madīnah) untuk menyelamatkan agama mereka, agar mereka dapat beribadah kepada Allah, karena kecintaan mereka kepada Allah telah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka tidak lagi peduli berpisah dengan tanah air tercinta dan jauh dari bapak-bapak dan anak-anak mereka selama di situ ada ridha Allah dan Rasūl-Nya.
Pada saat itu, kaum Muslimīn yang masih berada di Makkah hanyalah Abū Bakar, ‘Alī, Shuhaib, Zaid, dan beberapa orang yang tidak mampu hijrah mengingat kondisi mereka yang tidak memungkinkan. Abū Bakar r.a. sendiri sangat ingin berhijrah, tapi Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Tunggulah sesungguhnya aku sedang berharap diidzinkan (hijrah).” Abū Bakar bertanya: “Ayahku menjadi tebusan engkau, apakah engkau sedang berharap akan hal itu?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya.” Maka Abū Bakar r.a. menahan keinginannya itu demi Rasūlullāh s.a.w. untuk menemani Beliau. Abū Bakar tidak tinggal diam, dan ia pun memberi makan daun kepada dua ekor unta miliknya sebagai persiapan untuk hijrah nanti. (44)
Orang-orang Quraisy seperti kesurupan setan saat mendengar bahwa orang-orang Anshār berbaiat kepada Nabi s.a.w., siap membelanya hingga mati. Maka berkumpullah para pemimpin dan panglima perang di Dār-un-Nadwah, ya‘ni rumah milik Qushay bin Kilāb. Di tempat tersebutlah setiap perkara orang-orang Quraisy diputuskan. Mereka bermusyāwarah di situ untuk mencari cara terbaik dalam menghadapi Rasūlullāh s.a.w. yang semakin membuat mereka khawatir.
Lalu seseorang dari mereka berkata: “Kita usir saja Muḥammad dari tempat kita ini sehingga tidak merepotkan lagi.” Namun, usulan ini ditolak karena orang-orang mengatakan: “Jika ia keluar, niscaya akan banyak orang yang mengikutinya saat mereka mendengar manisnya tutur kata dan kefasihan bahasanya.
Seseorang lainnya mengatakan: “Bagaimana kalau kita pasung dia sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap para penyair sebelumnya hingga ia menemui nasib yang sama dengan mereka, yaitu mati dalam pasungan?” Usulan ini pun ditolak seperti usulan sebelumnya, mereka mengatakan: “Kabar beritanya pasti juga akan sampai ke telinga para penolongnya, dan kita semua mengetahui bagaimana sikap orang-orang yang memasuki agamanya; mereka lebih mengutamakan Muḥammad daripada orang tua-orang tua dan anak-anak mereka sendiri. Jika mereka mendengar hal tersebut pasti mereka akan membebaskannya dari tangan kita. Dan tidak dapat dielakkan lagi hal ini pasti akan menimbulkan perperangan. Hal tersebut jelas tidak kita inginkan.”
Dan berkatalah orang yang paling jahat di antara mereka: “Kita bunuh dia saja. Dan untuk mencegah saudara-saudara ayahnya melakukan pembalasan, kita ambil satu orang pemuda yang kuat dari setiap kabilah, kemudian kita suruh mereka mengepung rumahnya. Apabila ia keluar, mereka semua harus memukulnya secara berbarengan. Dengan demikian, (tanggungan) darahnya terbagi-bagi di setiap kabilah sehingga Bani ‘Abdu Manāf tidak akan mampu melawan kabilah Quraisy secara keseluruhan. Maka dapat dipastikan mereka akan rela hanya dengan menerima diyat.” Akhirnya, mereka menyetujui pendapat ini. Inilah makar mereka, tetapi kehendak Allah di atas segala kehendak. “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 54)
Kemudian Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya tentang rencana jahat mereka terhadap diri Beliau. Allah s.w.t. memerintahkan Nabi s.a.w. untuk segera berangkat ke tempat hijrahnya, yaitu Madīnah. Di tempat tersebut agama Islām akan lebih menyebar, dan kedudukan Rasūlullāh s.a.w. akan lebih dihormati dan akan memperoleh kejayaannya. (55)
Hal ini jelas merupakan suatu hikmah yang besar karena seandainya agama Islām tersebar di Makkah, niscaya orang-orang yang tidak menyukai Islām mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Quraisy berambisi untuk menguasai bangsa ‘Arab. Untuk itu, mereka mengangkat seseorang dari kalangan mereka dan menyuruhnya menyatakan klaim (risalah Islām) tersebut sehingga hal itu menjadi sarana untuk meraih tujuan-tujuan mereka. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, orang-orang Quraisy justru menjadi musuh besar bagi Nabi s.a.w. Mereka menyakiti Beliau dengan kejam sehingga Allah s.w.t. memilihkan (jalan) untuk Beliau, yaitu meninggalkan negeri dan menjauh dari mereka.