Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
فَوْزُ السَّعِيْدِ عنْدَهُ فِي الْأَزَلِ | كَذَا الشَّقِيُّ ثُمَّ لَمْ يَنْتَقِلِ. |
“Keberuntungan orang yang bahagia itu ditaqdirkan pada zaman azali di sisi Allah s.w.t. Begitu juga orang yang celaka, kemudian tidaklah dia berpindah-pindah.”
Keberuntungan orang yang bahagia telah ditetapkan sejak zaman azali, ilmu Allah telah mengetahuinya sebelum manusia diciptakan. Begitupula celakanya orang yang celaka, juga telah ditetapkan sejak zaman azali sebagaimana keberuntungan orang yang bahagia. Kedua ketetapan ini tidak akan berubah-ubah lagi.
Sa‘ādah (bahagia) dan syaqāwah (celaka) telah ditetapkan sejak zaman azali dalam sifat ilmu Allah, jauh sebelum manusia diciptakan. Makna sa‘ādah dalah orang yang mati dengan membawa iman, walaupun sebelumnya kafir dan ahli maksiat, matinya dinamakan ḥusn-ul-khātimah. Akhir yang baik menunjukkan adanya awal yang baik. Orang-orang awam merasa khawatir perihal akhir hidupnya, sedangkan orang-orang khawwāsh (691) khawatir perihal kehidupannya.
Makna syaqāwah adalah orang yang mati tanpa membawa iman, atau mati dalam keadaan kufur, walaupun sebelumnya dia beriman dan taat, maka dinamakan sū’-ul-khātimah. Akhir yang buruk menunjukkan awal yang buruk. (702).
Kedua ketetapan ini (bahagia dan celaka) tidak dapat berubah atau tertukar, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka, sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan neraka kecuali satu hasta (maksudnya kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman azali orang tersebut ditetapkan bahagia, maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli surga, sehingga dia bisa masuk surga, (maksudnya dia mati secara ḥusn-ul-khātimah). Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga, sampai tidak ada jarak antara orang tersebut dan surga kecuali satu hasta (maksudnya kematiannya tinggal sejengkal). Karena di zaman azali orang tersebut ditetapkan celaka, maka di akhir hayatnya dia melakukan amal ahli neraka, sehingga dia masuk neraka (maksudnya dia mati secara sū’-ul-khātimah).”
Pengertian sa‘ādah dan syaqāwah di atas menurut pendapat Madzhab Abū Ḥasan al-Asy‘arī. Sedangkan menurut madzhab Abū Manshūr al-Māturidī, sa‘ādah adalah orang yang saat ini beriman, dan syaqāwah adalah orang yang saat ini kufur. Oleh karena itu, orang yang bahagia adalah orang mu’min dan orang yang celaka adalah orang kafir. Ketika ada orang mu’min dalam keadaan kufur, dia tidak lagi orang yang bahagia, tapi dia orang yang celaka, begitu pula ketika ada orang yang awalnya kafir kemudian mati dalam keadaan iman, maka dia tidak lagi orang yang celaka, tapi dia orang yang bahagia. (713).
Dari perbedaan pendapat antara madzhab Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah tersebut, maka menurut Asy‘ariyyah seseorang boleh berkata: “Saya mu’min, in syā’ Allāh”, sedangkan menurut Māturīdiyyah tidak boleh, orang tersebut harus berkata dengan mantap: “Saya mu’min”. Sebab, menurut Asy‘ariyyah, kita tidak tahu awal dan akhir, maka ucapan “in syā’ Allāh” sebagai doa, semoga tetap mu’min sampai akhir hayat. Sedangkan menurut Māturīdiyyah, tidak boleh mengatakan “in syā’ Allāh,” karena kata-kata itu menunjukkan keragu-raguan, tidak ada kemantapan hati. (724).
Kesimpulannya, perbedaan tersebut hanya dari segi lafazh saja, adapun hakikatnya sama saja. Maksudnya, perbedaan hanya dalam mengartikan sa‘ādah dan syaqāwah saja, sedangkan maksud hukumnya sama. (735).