Hati Senang

Bacaan al-Qur’an Untuk Orang Mati – Jawaban Tuntas Beragam Masalah Aqidah Islam

JAWABAN TUNTAS
BERAGAM MASALAH AKIDAH ISLAM
(Judul Asli: AL-AJWIBAH AL-GHĀLIYAH
FĪ ‘AQĪDAH AL-FIRQAH AN-NĀJIYAH

Karya: Habib Zein Ibrahim Bin Sumaith

Terjemah: Muhammad Ahmad Vad‘aq
Penerbit: Mutiara Kafie

BACAAN AL-QUR’ĀN UNTUK ORANG MATI

Bolehkah menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’ān dan dzikir kepada orang mati?


Ya, itu dibolehkan, karena madzhab yang benar dan terpilih menyatakan sampainya pahala bacaan dan ‘amal-‘amal jasmani lainnya kepada mereka. Dan bahwa karena itu pula mereka bisa mendapat ampunan dosa atau peningkatan derajat, cahaya, kegembiraan, dan ganjaran lainnya lantaran karunia Allah s.w.t.

Apa dalilnya?


Dalilnya adalah sabda Nabi s.a.w.:

اِقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ.

Bacalah Yāsīn kepada orang-orang mati di antara kalian.” (11).

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

يس قَلْبُ الْقُرْآنِ، لَا يَقْرَأُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ تَعَالَى وَ الدَّارَ الْآخِرَةَ إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ، وَ اقْرَأُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ.

Yāsīn adalah jantung al-Qur’ān. Tidaklah seseorang membacanya dengan niat kepada Allah s.w.t. dan menghendaki negeri akhirat melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah ia kepada orang-orang mati di antara kalian.(22).

Ulama pentahqiq menyatakan bahwa hadits ini umum. Mencakup bacaan kepada yang akan mati (sekarat) dan kepada yang sudah mati. Inilah makna yang tampak jelas dari hadits di atas. Di dalamnya terdapat dalil bahwa bacaan tersebut sampai kepada orang-orang yang sudah mati dan adanya manfaat padanya sebagaimana disepakati oleh para ulama.

Perbedaan pendapat hanya berkaitan jika pembaca tidak berdoa setelahnya dengan doa semacam ini:

اللهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ إِلَى فُلَانٍ.

Ya Allah, jadikanlah pahala bacaan kami kepada Fulān,” misalnya.

Tapi jika seseorang membaca doa tersebut sebagaimana yang di‘amalkan kaum muslimin yang memberi pahala bacaan mereka kepada orang-orang mati di antara mereka, maka tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai sampainya bacaan itu. Karena hal demikian dikategorikan sebagai doa yang disepakati tersampainya.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ الَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ.

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami.” (QS. al-Ḥasyr: 10).

Jika dia tidak berdoa demikian dengan bacaannya itu, maka menurut qaul masyhūr dalam Madzhab Syāfi‘ī bahwa pahalanya tidak sampai. Namun ulama Madzhab Syāfi‘ī generasi akhir menyatakan bahwa pahala bacaan dan dzikir sampai kepada mayit, seperti Madzhab tiga imam yang lain, dan inilah yang di‘amalkan umat pada umumnya.

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ.

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah itu baik.” (33).

Sayyidunā-l-Imāmu Quthb-ul-Irsyād al-Ḥabīb ‘Abdullāh bin ‘Alawī al-Ḥaddād, semoga Allah melimpahkan manfaat lantaran beliau, mengatakan: “Di antara yang paling besar keberkahannya dan paling banyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan al-Qur’ān dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Kaum muslimin pun telah meng‘amalkan ini di berbagai negeri dan masa. Mayoritas ulama dan orang-orang shalih baik salaf maupun khalaf pun berpendapat demikian.”

Baca perkataan al-Ḥaddād r.a. selengkapnya dalam karyanya: Sabīl-ul-Iddikār.

Dari Ibnu ‘Umar r.a. bahwa dia mengatakan: “Jika salah seorang di antara kalian mati, maka janganlah kalian menahannya. Segerakanlah ia ke kuburnya. Dan hendaknya dibacakan permulaan al-Baqarah di dekat kepalanya dan di dekat kedua kakinya dengan penutup al-Baqarah.” (44).

Dalam kitabnya ar-Rūḥ, Ibnu Qayyim mengungkapkan adanya penyampaian pelajaran di atas kubur. Dia berhujjah bahwa sejumlah ulama salaf berwasiat agar dibacakan (ayat-ayat al-Qur’ān) di sisi kubur mereka. Di antaranya Ibnu ‘Umar, yang berwasiat agar dibacakan surah al-Baqarah pada kuburnya. Juga kaum Anshar, jika ada yang mati mereka silih berganti datang ke kuburnya dan membacakan al-Qur’ān di sisi kubur itu. (55).

Ulama menyatakan bahwasanya dibolehkan seseorang memberikan pahala ‘amalnya kepada orang lain, baik itu berupa bacaan maupun yang lainnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amru bin Syu‘aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

مَا عَلَى أَحَدِكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ تَطَوُّعًا أَنْ يَجْعَلَهَا لِوَالِدَيْهِ، فَيَكُوْنُ لِوَالِدَيْهِ أَجْرُهَا وَ لَهُ مِثْلُ أُجُوْرِهِمَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمَا شَيْءٌ.

Dibolehkan bagi salah seorang di antara kalian jika dia hendak bersedekah dengan sukarela, dia memberikannya kepada kedua orangtuanya. Dengan demikian, kedua orangtuanya mendapatkan pahala sedekahnya dan dia pun mendapatkan seperti pahala kedua orangtuanya tanpa mengurangi pahala kedua orangtuanya sedikit pun.” (66).

Di antara hadits-hadits terkait yang diriwayatkan meskipun dha‘īf namun di sisi ahli hadits mereka sepakat bahwa hadits dha‘īf dapat di‘amalkan pada amalan-amalan yang memiliki keutamaan.

Apa hukum bacaan al-Qur’ān kepada mayit dan di atas kubur?


Imām Syāfi‘ī raḥimahullāh menyatakan dianjurkannya membaca ayat apupun dari al-Qur’ān di dekat kubur. Jika mereka mengkhatamkan al-Qur’ān seluruhnya, maka itu baik. Ini disebutkan Imām Nawawī dalam Riyādh-ush-Shāliḥīn dan al-Adzkār.

Apa dalil yang membolehkannya?


Dalilnya adalah sebagaimana yang baru saja disampaikan di atas, yaitu perkataan Ibnu ‘Umar r.a.: “Jika salah seorang di antara kalian mati, maka janganlah kalian menahannya. Segerakanlah ia ke kuburnya, dan hendaknya dibacakan permulaan al-Baqarah di dekat kepalanya dan di dekat kedua kakinya dengan penutup al-Baqarah.”

Hadits marfū‘ juga telah disampaikan sebelum ini: “Bacalah Yāsīn kepada orang-orang mati di antara kalian.

Sebagian ulama hadits menafsirkannya pada makna sebenarnya, sebagaimana ini cukup jelas dari redaksi hadits. Sebagian yang lain menafsirkannya pada makna kiasan. Jadi maksudnya: orang yang sudah mendekati kematiannya. Masing-masing makna memungkinkan. Seandainya kedua makna ini sama-sama di‘amalkan, tentu ini lebih baik.

Al-Khallāl meriwayatkan dari asy-Sya‘bī, ia berkata: “Jika di antara kaum Anshār ada orang yang mati, mereka silih berganti ke kuburnya untuk membaca al-Qur’ān di sisi kuburnya.” Demikianlah. Kaum muslimin pun masih tetap membaca al-Qur’ān kepada orang-orang mati sejak masa kaum Anshār.

Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwasanya bacaan al-Qur’ān di atas kubur merupakan anjuran syari‘at. Wallāhu a‘lam – Allah lebih mengetahui.

Apa makna firman Allah s.w.t.: “Dan tidaklah manusia mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39) dan sabda Nabi s.a.w.: “Jika manusia mati, terputus ‘amalnya….? (77)


Dalam kitab ar-Rūḥ, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa al-Qur’ān tidak menafikan seseorang mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Al-Qur’ān hanya memberitahu bahwa seseorang tidak memiliki kecuali usahanya. Adapun usaha orang lain, itu milik orang yang melakukannya. Jika mau dapat ia berikan kepada orang lain atau dapat ia tahan untuk dirinya sendiri. Allah s.w.t. tak mengatakan: “Sesungguhnya ia tak boleh menerima manfaat kecuali lantaran apa yang diusahakannya sendiri.”

Nabi s.a.w. mengatakan: “Terputuslah ‘amalnya.” Beliau tak menyatakan pemanfaatannya, tetapi beliau hanya memberitahu tentang keterputusan ‘amalnya. Adapun ‘amal orang lain, maka itu menjadi hak orang yang melakukannya. Jika orang itu memberikannya kepada orang lain, maka pahala ‘amal orang yang melakukannya sampai kepadanya. Dan itu bukan pahala ‘amalnya sendiri.

Jadi, yang terputus adalah satu hal dan yang sampai adalah hal lainnya.

Demikian yang disampaikan secara ringkas. (88).

Ulama tafsir menyebutkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa firman Allah s.w.t.:

وَ أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى.

Dan sesungguhnya manusia tak mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. an-Najm: 39).

telah di-naskh (dihapus) hukumnya dalam syari‘at ini, dengan firman Allah s.w.t.:

وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ اتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ الْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ.

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka anak cucu mereka.” (QS. ath-Thūr: 21).

Allah memasukkan anak cucu ke dalam surga lantaran kebajikan leluhur mereka. (99).

‘Ikrimah mengatakan: “Itu terjadi pada kaum Mūsā a.s.. Adapun umat ini mendapatkan apa yang mereka usahakan dan mendapatkan pula apa yang diusahakan oleh yang lain. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa seorang wanita mengangkat bayinya dan bertanya: “Wahai Rasūlullāh s.a.w., apakah anak ini mendapatkan pahala haji?”

Beliau menjawab: “Benar, dan bagimu pahala.” (1010).

Yang lainnya bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Ibuku terluputkan dirinya (mati tanpa wasiat), apakah ia mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?”

Beliau menjawab: “Iya (dia akan mendapat pahalanya)”.” (1111)

Demikianlah Wallāhu a‘lam – Allah lebih mengetahui.

Apa hukum bacaan al-Fātiḥah sebagai bacaan untuk mayit dan hukum bertawassul dengan al-Fātiḥah untuk diterimanya doa?


Ketahuilah, bahwa di antara yang terbesar keberkahannya dan terbanyak manfaatnya untuk dihadiahkan kepada orang-orang mati adalah bacaan al-Qur’ān-ul-‘Azhīm dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka. Mayoritas ulama dan ornag-orang shāliḥ baik salaf maupun khalaf berpendapat demikian. Kaum muslimin di berbagai masa dan negeri pun meng‘amalkannya.

Dalam hadits marfū‘ yang telah disampaikan terdahulu dinyatakan: “Jantung al-Qur’ān adalah Yāsīn. Tidaklah seseorang membacanya karena menginginkan (ridha) Allah s.w.t. dan negeri akhirat melainkan ia diampuni. Hendaklah kalin membacanya kepada orang-orang mati di antara kalian.(1212).

Diriwayatkan dalam hadits dha‘īf:

مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ وَ قَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلْأَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ الْأَجْرِ بِعَدَادِ الْأَمْوَاتِ.

Siapa yang masuk pemakaman dan membaca surah al-Ikhlāsh sebelas kali lalu memberikan pahalanya pada orang-orang mati, ia diberi pahala sesuai dengan jumlah orang-orang yang mati.

Ini diriwayatkan oleh ar-Rāfi‘ī dalam kitabnya, at-Tārīkh, dan ad-Dāruquthnī dalam kitabnya, as-Sunan.

Adapun tawassul dengan surah al-Fātiḥah terkait penerimaan doa, maka ini sebaik-baik wasīlah. Pada hakikatnya, itu hanyalah tawassul dengan Allah s.w.t.

Dalam hadits qudsi:

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ….. وَ لِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ…..

Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku dua bagian….. dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta……” (1313).

Catatan:

  1. 1). Disampaikan oleh Abū Dāwūd (3121), Ibnu Mājah (1448), dan lainnya; dari hadits Ma‘qil bin Yasar r.a.
  2. 2). Disampaikan oleh Aḥmad (5: 26), an-Nasā’ī dalam al-Kubrā (10914), dan lainnya.
  3. 3). Takhrīj-nya telah disebutkan, dan bahwasanya ini dari perkataan Ibnu Mas‘ūd r.a.
  4. 4). Disampaikan secara marfū‘ oleh ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (12: 444), dan al-Baihaqī dalam asy-Syu‘ab (7: 16) dari hadits Ibnu ‘Umar r.a. al-Baihaqī berkata: “Yang benar bahwasanya itu adalah perkataan Ibnu ‘Umar r.a.”
  5. 5). Ar-Rūḥ hlm. 10.
  6. 6). Disampaikan oleh ath-Thabrānī dalam al-Awsath (7: 92) dan Abū Syaikh Ibnu Ḥayyān dalam Thabaqāt-ul-Muḥadditsīn bi Ashbahān (3: 610).
  7. 7). Takhrīj-nya telah disebutkan.
  8. 8). Ar-Rūḥ hlm. 129.
  9. 9). Lihat Tafsīr-ul-Qurthubī (17: 114).
  10. 10). Disampaikan oleh Muslim (1336) dan lainnya dari hadits Ibnu ‘Abbās r.a.
  11. 11). Disampaikan oleh al-Bukhārī (1322) dan Muslim (1004) dari hadits ‘Ā’isyah r.a. Perkataan penanya: “Terluputkan,” kata ini diucapkan terkait orang yang mati secara tiba-tiba, dan diucapkan pula terkait orang yang tewas oleh jinn dan gangguan. “Dirinya” menurut Imām Nawawī; kami menulisnya dengan harakat fatḥah dan dhammah (nafsahu dan nafsuhā), dengan nashab dan rafa‘. Bacaan rafa‘ dengan maksud sabagai objek yang tidak disebutkan subjeknya. Nashab dengan maksud sebagai objek kedua. Syarḥu Muslim. (7: 89-90).
  12. 12). Takhrīj-nya telah disebutkan.
  13. 13). Disampaikan oleh Muslim dalam kitabnya, Shaḥīḥ Muslim (598); dari hadits Abū Hurairah r.a.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.