Hati Senang

Bab Kafan – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah


Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Bab: Kafan.

 

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa wajib mengkafani mayat dan bahwa ia harus didahulukan atas hutang dan warisan. (6721).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang sifat kafan yang sah.

Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh mengkafani dengan dua kain untuk mayat laki-laki. Apabila dia dikafani dengan tiga kain yang salah satunya kain Yaman sementara dua kain lainnya berwarna putih maka lebih bagus.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Mayat laki-laki dikafani dengan tiga kain, dan disunnahkan kainnya berwarna putih, akan tetapi bila hanya satu kain hukumnya juga sah.”

Kafan perempuan adalah 5 lembar kain yang terdiri dari gamis, kain penutup badan, kain bedung, tutup kepala dan kain yang mengikat kedua pahanya. Demikian menurut asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad.

Abū Ḥanīfah berkata: “Yang lebih utama adalah demikian. Akan tetapi bila hanya dibungkus dengan tiga kain hukumnya juga dibolehkan, dan kerudungnya di atas gamis dan di bawah kain bedung.

Mālik berkata: “Kafan tidak ada batasnya. Yang wajib adalah menutup tubuh mayat.”

Menurut asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, mengkafani perempuan dengan kain yang dicelup dengan Ushfur (jenis tumbuhan), za‘faran, dan sutra hukumnya makruh. Sementara menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik tidak makruh.

Tentang kain kafan perempuan, bila si mayit memiliki harta maka dibelikan dengan menggunakan hartanya. Demikian menurut Abū Ḥanīfah, Mālik dan Aḥmad. Sedangkan bila dia tidak memiliki harta, menurut Mālik yang membelikan adalah suaminya (dengan menggunakan harta suaminya).

Dalam hal ini tidak ada pendapat Abū Ḥanīfah yang berkaitan dengan masalah ini. Hanya saja Abū Yūsuf berkata: “Dibelikan dengan menggunakan harta suaminya.”

Muḥammad berkata: “Dibelikan dengan menggunakan harta Bait-ul-Māl.”

Apabila suaminya miskin maka kafannya dibelikan dengan menggunakan harta Bait-ul-Māl.”

Aḥmad berkata: “Suami tidak wajib membelikan kafan istrinya bila kondisinya demikian (miskin).”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang menanggung adalah suaminya.” (6732).

 

  1. Mereka berbeda pendapat orang yang Iḥrām lalu wafat, apakah Iḥrāmnya berhenti?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Iḥrāmnya tidak berhenti. Dia tetap tidak boleh diberi minyak wangi, tidak boleh diberi pakaian berjahit, tidak boleh ditutupi kepalanya dan tidak perlu diikat kain kafannya berdasarkan hadits yang menjelaskannya yang terdapat dalam ash-Shaḥīḥ dalam Musnad Ibnu ‘Abbās r.a.” (6743).

 

Catatan:

  1. 672). Lih. al-Majmū‘ (5/147), asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/335), Raḥmat-ul-Ummah (68), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/322).
  2. 673). Lih. al-Hidāyah (1/97), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/323) dst., al-Muhadzdzab (1/243) dst., al-Istidzkār (3/16) dst., Raḥmat-ul-Ummah (68), dan at-Taḥqīq (4/231) dst.
  3. 674). Lih. al-Muhadzdzab (1/245), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/424), at-Tanbīh (35), dan al-Majmū‘ (5/166).

    Hadits Ibnu ‘Abbās r.a. yang disebutkan oleh Ibnu Hubairah, ia diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Shaḥīḥ-nya (no. 1851), Muslim (1206), Abū Dāūd (3236), at-Tirmidzī (951), an-Nasā’ī (1903), dan Ibnu Mājah (3084).

    Redaksinya menurut riwayat Muslim adalah: Dari Ibnu ‘Abbās r.a.: Bahwa pernah terjadi ada seorang laki-laki jatuh tersungkur dari ontanya dan tewas. Maka Nabi s.a.w. bersabda: “Mandikan dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua pakaiannya. Jangan tutupi kepalanya, karena Allah s.w.t. akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan membaca Talbiyah.”

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.