Bab Adab – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat (3/3)

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 004 Persoalan Aqidah yang Bersumber dari Dalil Naqli (Sam'iyyah) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Adab Persaudaraan dan Persahabatan (2511).

Adapun seseorang yang mempunyai hubungan persaudaraan dan hendak menjalin persahabatan hendaknya mengetahui adab persahabatan, yaitu:

  1. Jangan berteman atau bersahabat kecuali dengan seseorang yang layak dijadikan teman atau sahabat.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Agama seseorang sesuai dengan agama saudara dan sahabatnya. Jika engkau ingin mengenal seseorang, lihatlah siapa saudara dan sahabat dekatnya.”

2, Jika engkau mencari saudara atau sahabat dalam urusan pekerjaan atau belajar, carilah seseorang yang memiliki lima sifat berikut ini:

  1. Memiliki akal yang sempurna.

Jangan bersahabat dengan orang yang bodoh. Sayyidinā ‘Alī r.a. berkata: “Janganlah engkau bersahabat dengan orang bodoh yang tidak sempurna akalnya. Berapa banyak orang baik yang kembali menjadi buruk karena bersahabat dengan orang bodoh yang tidak sempurna akalnya. Ukuran seseorang itu bisa dilihat dari sahabatnya. Jika sahabatnya buruk, ia pun buruk; jika sahabatnya baik, ia pun baik, itu sesuai dengan kondisi sahabatnya.

  1. Bagus perangainya.

Jangan bersahabat dengan orang yang buruk perangainya, ya‘ni orang yang tidak bisa menahan hawa-nafsunya ketika marah dan tidak bisa menahan syahwatnya ketika memiliki suatu keinginan. Salah satu wasiat Syaikh ‘Alqamah al-‘Athārī kepada putranya yaitu: “Wahai putraku, jika engkau hendak menjalin persahabatan, pilihlah orang yang jika engkau melayaninya, ia menjagamu; jika engkau bersahabat dengannya, ia mau mengimbangimu; jika engkau tidak memiliki sesuatu, ia bersedia melengkapinya. Carilah orang yang jika engkau berbuat kebajikan, ia juga mau melakukannya; jika engkau melakukan perbuatan tercela, ia mau mencegahmu; jika engkau menasihati, ia mau menaatinya.

  1. Orang yang baik tingkah lakunya.

Jangan bersahabat dengan orang fāsiq, ya‘ni orang yang melakukan dosa besar atau mengulang-ulang dosa kecil. Seseorang yang tidak takut kepada Allah s.w.t. tidak tertutup kemungkinan untuk menipu, perilakunya pun juga berubah-ubah. Allah berfirman kepada para utusannya:

الدُّنْيَا وَ لَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ وَ كَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Jangan menaati seseorang yang telah Aku lalaikan hatinya dari berdzikir kepada-Ku dan mengikuti hawa-nafsunya. Dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. al-Kahfi [18]: 28).

  1. Jangan bersahabat dengan orang yang tamak terhadap harta dunia.

Bersahabat dengan orang yang seperti ini seperti meminum racun. Sudah menjadi watak manusia suka mengikuti dan meniru orang lain, bahkan mencuri watak orang lain.

  1. Carilah orang yang jujur ucapannya.

Jangan bersahabat dengan orang yang gemar berbohong.

Jika engkau tidak bisa mendapatkan orang yang memiliki lima kriteria di atas, hendaklah ber-‘uzlah (2522) (menyepi). Jangan bergaul dengan orang lain kecuali dharurat. Diperbolehkan bergaul hanya dalam hal mencari nafkah bukan untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan.

Ketahuilah, hubungan persaudaraan ada tiga macam:

  1. Persaudaraan karena akhirat.

Maka, haruslah dengan orang yang ahli dalam agama Islam.

  1. Persaudaraan karena dunia.

Maka, haruslah dengan orang yang baik akhlaqnya.

  1. Persaudaraan karena kesenangan hati.

Maka, haruslah dengan orang yang engkau bisa selamat dari keburukan dirinya.

Selain orang yang memiliki lima kategori di atas, jangan engkau jadikan teman. Sebab, rusaknya seseorang itu karna memiliki sahabat yang tidak memenuhi lima kriteria di atas. Berusahalah semampumu mengurangi sahabat yang seperti itu. Namun, jika engkau mendapat cobaan berupa berteman dengan mereka, engkau harus menghormati mereka, jangan menghina dan memusuhinya. Jika mereka memusuhimu, jangan membalas dengan permusuhan, tapi hormati dan perlakukan mereka dengan baik. Sebab, jika engkau membalasnya dengan permusuhan, engkau tidak akan mampu menangkis keburukan yang mereka timbulkan, sehingga ‘ibādah dan agamamu akan menjadi rusak.

Jika engkau mengetahui ada orang melakukan perbuatan tercela, jadikanlah sebagai pelajaran dan jadikanlah sarana untuk mengintrospeksi diri. Bersyukurlah engkau tidak dijadikan seperti itu. Sebaik-baik manusia adalah orang yang pandai mengambil pelajaran dari orang lain.

  1. Jika engkau berkumpul dengan orang-orang awam dan khawāsh, carilah tempat duduk yang rendah. Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi dari orang yang lebih tua, walaupun dia bodoh sedangkan engkau ‘ālim, walaupun dia belum haji sedangkan engkau sudah.
  2. Jika di sebuah majlis ada keturunan Bani Hāsyim yang hadir maka harus dipersilahkan menempati tempat duduk yang tinggi, walaupun masih kecil dan faqīr. Selain keturunan Bani Hāsyim, tidak diperkenankan duduk di tempat yang lebih tinggi dari Bani Hāsyim walaupun ia lebih ‘ālim, lebih tinggi derajatnya, dan lebih kaya.

Hak Saudara dan Keluarga Dekat (2533).

Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda: “Barang siapa yang ingin memiliki usia yang panjang dan rezeki yang luas maka bertaqwālah kepada Allah s.w.t. dan sambunglah tali silaturahmi dengan sanak keluarga.”

Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasūlullāh: “Wahai Rasūlullāh, siapakah manusia yang mulia?” Rasūlullāh menjawab: “Yaitu orang yang bertaqwā kepada Allah s.w.t., menyambung sanak keluarga, memerintahkan mereka melakukan kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Pahala ‘ibādah yang paling cepat adalah pahala seseorang yang menyambung tali silaturahmi walaupun di dalam rumah tersebut ada orang yang suka berbuat kemaksiatan. Hartanya semakin banyak, rezekinya semakin barakah, dan keluarganya bertambah banyak disebabkan menyambung sanak keluarga.”

Ma‘na silaturahmi adalah saling mengunjungi dan memberi sesuatu. Saling mengunjungi ketika ada anggota keluarga yang sakit, dan membantu jika ada yang membutuhkan. Bersedekah kepada orang faqir yang bukan keluarga pahalanya satu, sedangkan bersedekah kepada orang faqir yang merupakan sanak keluarga pahalanya dua. Karenanya, anggota keluarga yang miskin lebih berhak engkau kunjungi dan beri sedekah. Jangan pernah memutuskan tali kekeluargaan hanya karena seseorang itu miskin. Karena jika demikian, akan terputuslah rezekimu. Sayyidinā ‘Umar bin Khaththāb memerintahkan untuk saling mengunjungi sanak keluarga.

Jangan berkumpul dan bertempat dalam satu rumah, karena berkumpulnya beberapa keluarga dalam satu rumah akan menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, rawan terjadi pertengkaran yang bisa menyebabkan terputusnya tali persaudaraan. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Adab Berteman.

Jika sudah menemukan seorang teman yang memenuhi 5 kriteria di atas, maka adab menjalin hubungan pertemanan adalah:

  1. Mendahulukan kebutuhan sahabatnya daripada dirinya sendiri dalam urusan harta. Jika tidak punya uang, cukup penuhilah apa yang menjadi hajatnya.
  2. Menolong dengan cara mendatanginya.
  3. Menyembunyikan sesuatu yang menjadi ‘aibnya.
  4. Jangan ikut serta dengan orang-orang yang menggunjingkan keburukannya.
  5. Memberikan sesuatu yang bisa membahagiakannya.
  6. Mendengarkannya saat berbicara, jangan menyela sebelum ia menyelesaikan pembicaraan.
  7. Memanggil dengan nama panggilan yang terbaik.
  8. Memuji kebaikannya.
  9. Bersyukur atas perbuatannya.
  10. Menolak ajakan orang yang ingin menggunjingkannya.
  11. Menasihati dengan halus.
  12. Memaafkan kesalahan yang dilakukan.
  13. Mendoakannya baik saat ia ada maupun tidak ada, saat ia masih hidup maupun sudah wafat.
  14. Berbuat baik kepada keluarganya dan anak cucunya, saat ia masih hidup maupun sudah wafat.
  15. Menghiburnya saat mengalami kesusahan.
  16. Menghormatinya saat berjumpa di manapun.

Kesimpulannya, perlakukanlah teman dan sahabatmu sebagaimana engkau memperlakukan dirimu sendiri. Jika tidak demikian, berarti hubungan tersebut penuh kemunāfiqan, tidak akan memberi kemanfaatan sama sekali baik di dunia maupun di akhirat, bahkan malah akan membahayakan. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

Catatan:

  1. 251). Imām al-Ghazālī, Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 2, hal. 151-153.
  2. 252). ‘Uzlah adalah menyendiri dari makhlūq atau menjauh bergaul dari makhlūq (lihat Sayyid Abā Bakar Syathā, Kifāyat-ul-Atqiyā’, Semarang, Karya Thāhā Putra, tt. Hal. 37., lihat juga KH. Moh. Djamaluddin Achmad, Jalan Menuju Allah, Jomban, Pustaka al-Muhibbin, 2016, hal. 159).
  3. 253). Imām al-Ghazālī, Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 2, hal. 194-195.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *