At-Tanzih (Transendensi) – Insan Kamil – Syaikh Abd. Karim al-Jaili

INSAN KAMIL
Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman

Karya: Syaikh Abd. Karim Ibnu Ibrahim al-Jaili

Penerjemah: Misbah El Majid. Lc.
Diterbitkan oleh: Pustaka Hikmah Perdana.

Bab 10

At-TANZĪH (Transendensi)

 

At-Tanzīh ‘ibārat, ketunggalan al-Qadīm (eternitas) dengan segala sifat dan nama-Nya serta inti (dzāt)-Nya, Dia berhak atas segala sesuatu selain Diri-Nya, melalui jalan ketinggian dan asal penciptaan, bukan dengan i‘tibār bahwa al-Muḥdits (sesuatu yang baru, adanya karena diciptakan), duplikat dan penyerupaan-Nya. Al-Ḥaqq tersucikan dari segala bentuk kesyirikan ‘ubūdiyyah, agar bisa Wishāl (sampai) pada kesucian al-Qadīm (eternitas). Kesucian kita hendaknya tidak sebatas pada kesucian al-Muḥdits (kebaruan), namun kesucian yang bermuara kepada kesucian hakiki yakni kepada dzāt al-Qadīm. Penyucian Ḥudūts (kebaruan) berdasarkan nisbat jenisnya, sedang pensucian al-Qadīm tidak berdasar nisbat jenis-Nya, karena al-Ḥaqq tidak mungkin disifati dengan sifat Naqs (kurang), tidak pula harus dibersihkan, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Sempurna, Dia adalah Tuhan yang tidak menyerupai makhluk-Nya. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan: Mensucikan-Nya dari penyucian (transendensi), jalan penyucian-Nya atas diri-Nya tidak akan pernah diketahui yang lain selain Diri-Nya. Kita hanya bisa mengetahui jalan penyucian yang terkait dengan Muḥdatsāt (segala kebaruan), karena nisbat pensucian itu dalam lanskap pandangan kita adalah berdimensikan “pinjaman” yakni kesucian-Nya yang dipinjamkan kepada makhluk-Nya, dan bukan kesucian makhluk itu sendiri. Semantis logikanya orang yang seorang yang memuarakan kesucian dirinya kepada al-Ḥaqq, Dia akan meminjamkan kesucian diri-Nya kepada orang tersebut, lebih dari itu al-Ḥaqq tidak menyerupai inti (dzāt) makhluk-Nya, yang dzāt tersebut patut disucikan, sebab kesucian adalah hak dan milik Allah semata, sedang kesucian yang ada pada makhluk-Nya hanya merupakan titipan (pinjaman) dari-Nya. Pahami betul masalah ini.

Dengan demikian inti (dzāt)-Nya merupakan emberio kesucian yang melahirkan kediqdayaan, ke-agung-an, keperkasaan ketuhanan Diri-Nya. Di manapun dan kapanpun manifestasi kesucian itu tertampakkan, Dia tersucikan dari penyerupaan secara dzāt, karena inti (dzāt)-Nya terjernihkan dari sifat dan asmā’ diri-Nya. Anda tentu pernah menyimak sabda Rasūl s.a.w. : Aku melihat rabbku dalam citra pemuda nan tampan nan, atau dalam sabda lain: Aku melihat rabbku dalam citra cahaya yang aku saksikan. Inti (dzāt) al-Ḥaqq tersucikan dari Tasybīh (antropomorfisme) seperti ujaran-ujaran hadits tersebut, penyucian inti (dzāt)-Nya memiliki hukum yang selaras antara sifat dan yang disifati, sedang inti (dzāt)-Nya, tersucikan dari tempat manifestasi-Nya, karena inti (dzāt)-Nya suci dari segala yang bersifat Qadīm (eternitas) maupun Ḥudūts (baru), tiada satupun yang mengetahui, kecuali Diri-Nya. Kesucian inti (dzāt)-Nya tidak terkait dengan asma-asma dan sifat-sifatNya, penampakkan-penampakkanNya, yang termanifestasikan dalam segala wujud. Tajallīnya berdasarkan hukum Qidam (eternitas)-Nya, Dia merupakan dzāt yang Wājib-ul-wujūd (wujud yang mesti ada dengan sendirinya), maka penyucian al-Ḥaqq tidak sama dengan penyucian makhluk-Nya, penyamaan-Nya tidak sama dengan penyamaan makhluk-Nya, hanya Dia yang Maha Mengetahui kesejatiannya, sesuatu selain Diri-Nya tiada akan pernah bisa mengetahuinya. Para muslim awam meyakini bahwa pengertian pensucian adalah, bermakna pembersihan yang tidak bermuara kepada dimensi ketuhanan, namun berujung kepada dimensi kemakhlukan, pengertian seperti itu jama‘ terjadi pada diri tiap muslim.

Esensinya banyak dari hamba-Nya berusaha mensucikan diri dengan dirinya dan tidak dengan al-Ḥaqq, etos pensucian seperti itu tidak akan pernah menggapai kesucian hakiki, karena kesucian yang tersematkan dalam diri seorang hamba adalah merupakan titipan (pinjaman) dari al-Ḥaqq. Maka jika orang seorang ingin mensucikan dirinya, selazimnya ia menghiasi (mensifati) dirinya seorang ingin mensucikan dirinya, selazimnya ia menghiasi (mensifati) dirinya dengan sifat-sifat al-Ḥaqq, dengan begitu maqām dirinya akan tersucikan. Dengan penyucian ketuhanan itu ia akan terselamatkan dari kekurangan-kekurangan Muḥdatsāt (segala kebaruan), berikut ia akan tertuntun kepada kesucian hakiki, jadilah orang tersebut baqā’ (kekal) dalam kesucian bersama-Nya, dengan kesucian yang dikuasakan al-Ḥaqq kepada orang tersebut, ia bisa menempati kesucian-Nya, yaitu kesucian yang berdimensikan makhluk, yakni ia sirna dalam dirinya hanyut dalam kesucian al-Ḥaqq. Pahami dengan seksama apa yang kami isyaratkan ini. Sekali lagi kami tegaskan dalam kitab ini, maupun kitab-kitab saya terdahulu, bahwa esensi at-Tanzīh (transendensi) ini, adalah untuk al-Ḥaqq, bukan untuk makhluk, dan tidak ada keterkaitan sedikitpun dengan dimensi kemakhlukan, karena masalah ini murni terkait dengan inti (dzāt)-Nya semata, bukan inti (dzāt) segala wujud ciptaan-Nya. Inti (dzāt)-Nya ada pada inti (dzāt) segala wujud ciptaan-Nya, inti (dzāt)-Nya juga tertajallīkan pada dimensi ketuhanan dan kemakhlukan, al-Ḥaqq berhak atas semua itu, Dia berhak mewajahkan makhluk manifestasi ketuhanan-Nya, akan tetapi inti (dzāt)-Nya tersucikan dari ketercampuran, Ḥulūl (panteisme) dan penyerupaan (antropomorfisme) dengan segenap makhluk-Nya. Dia adalah Tuhan Maha Suci, dzāt yang tidak menyerupai makhluk-Nya. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.S. al-Aḥzāb 33:4)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *