Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ السَّابِقُوْنَ فَضْلُهُمْ نَصًّا عُرِفْ | هذَا وَ فِيْ تَعْيِيْنِهِمْ قَدِ اخْتُلِفْ. |
“Dan orang-orang yang terdahulu itu keutamaan mereka telah diketahui berdasarkan nash. Pahamilah ini! Dan dalam penentuan mereka para ‘ulamā’ berbeda pendapat.”
Adapun keutamaan dan keagungan pahala as-sābiqūn (orang-orang yang terdahulu) sudah diketahui dan difahami melalui nash al-Qur’ān. Maka fahamilah!
‘Ulamā’ Mutaqaddimin berbeda pendapat tentang kategori as-sābiqūn yaitu orang-orang yang pernah mengalami shalat berqiblat ke Makkah kemudian berqiblat ke Bait-ul-Maqdis lalu berqiblat ke Makkah.
Keutamaan para as-sābiqūn sudah dijelaskan melalui dalil al-Qur’ān yang difirmankan oleh Allah s.w.t.:
وَ السَّابِقُوْنَ الْأَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَ الْأَنْصَار.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan Muhājirīn dan Anshār.” (QS. at-Taubah [9]: 100).
‘Ulamā’ masih berbeda pendapat mengenai definisi as-sābiqūn. Menurut Imām Abū Mūsā al-Asy‘arī, as-sābiqūn adalah orang-orang yang mengalami shalat yang menghadap ke arah dua qiblat. Menurut pendapat yang lain, yaitu orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar. Menurut pendapat lain, yaitu mereka yang mengikuti Bai‘at Ridhwān. (1361).
Setelah kalian semua mengetahui keutamaan para sahabat, lalu kalian melihat sebagian di antaranya memusuhi yang lain, maka engkau tetap harus mena’wilkannya atas dasar ḥusn-uzh-zhann (baik sangka).
Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
وَ أَوِّلِ التَّشَاجُرَ الَّذِيْ وَرَدْ | إِنْ خُضْتَ فِيْهِ وَ اجْتَنِبْ دَاءَ الْحَسَدْ. |
“Ta’wilkanlah perselisihan yang terjadi di kalangan sahabat yang telah datang keterangannya jika engkau memperdalam pembicaraan padanya dan jauhilah penyakit dengki.”
Ta’wilkanlah perselisihan dan pertikaian yang terjadi di kalangan para sahabat, sebagaimana diceritakan dalam kisah hidup mereka. Jika kalian mendengar kisah pertikaian di dalamnya, engkau wajib mena‘wilkannya dan menjauhi kedengkian pada salah satu dari dua kelompok yang bertikai tersebut.
Orang mu’min wajib mena’wili dengan ta’wilan yang baik ketika mendengar kisah sahabat yang berselisih dan bertikai hingga terjadi peperangan di antara mereka. Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang adil baik lahir maupun batin. Sebagaimana kisah peperangan antara Sayyidinā ‘Alī bin Abī Thālib dengan Sayyidinā Mu‘āwiyah.
فَالْقَاتِلُ وَ الْمَقْتُوْلُ فِي الْجَنَّةِ.
“Pembunuh dan orang yang dibunuh di surga.”
Oleh karenanya, kisah seperti itu tidak patut disampaikan kepada orang awam.