Ar-Rahman, ar-Rahim, al-Malik, al-Quddus – Asma’-ul-Husna – Ibnu ‘Ajibah

Buku Saku
ASMĀ’-UL-ḤUSNĀ

 
Mengerti Ma‘na dan Penerapan
Nama-nama Indah Allah
Dalam Kehidupan Sehari-hari.
 
 
Diterjemahkan dari Tafsīr-ul-Fātiḥat-il-Kabīr
Karya: Ibnu ‘Ajībah al-Ḥusainī
 
Penerjemah: Zainal ‘Arifin
Penerbit: Zaman
 
(Diketik oleh: Ibu Zulma)

الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ
Ar-Raḥmān, Ar-Raḥīm
(Maha Pengasih, Maha Penyayang)

Makna dasar “ar-raḥmah” adalah tipis dan lembut. Dari kata ini terbentuk kata “arraḥīm”. Sesuatu disebut arraḥīm karena karakter halus dan lembut yang ada padanya. Ma‘na literal seperti ini tidak bisa disematkan kepada Dzāt Allah. Yang dimaksudkan arraḥīm pada Dzāt Allah adalah tujuan dan intinya (ghāyah), yaitu keutamaan dan kebaikan. Bila seorang raja bersikap lembut kepada rakyatnya, artinya ia menampakkan kebaikan dan kemurahan hati kepada mereka. Bila marah maka Ia menampakkan sikap keras hati. Nama-nama Allah harus dipahami dalam kerangka tujuan akhirnya (ghāyah).

Menurut kami, penafsiran “arRaḥmān” dan “arraḥīm” yang paling tepat menyebutkan bahwa ar-Raḥmān adalah Dzāt pemberi kenikmatan berupa ījād (penciptaan), sedangkan arRaḥīm adalah Dzāt pemberi keni‘matan berupa imdād (hal menganugerahkan).

Dalam alḤikam (11) disebutkan: “Ada dua ni‘mat yang tak satu pun makhlūq terlepas darinya, dan setiap wujud yang memiliki bentuk terjadi karena keduanya, yaitu ni‘mat ījād dan imdād. Pertama-tama Allah memberimu ni‘mat ījād (hal menciptakan), dan yang kedua ni‘mat imdād (hal yang menganugerahkan) yang tak terputus.

Syaikh Zarrūq berkata: “Kata “arraḥmān” mengikuti pola fa‘lān dari kata arraḥmah yang berarti kasih sayang dan kebaikan Allah yang tampak nyata kepada makhlūqnya. Kata itu disejajarkan dengan kata “Allah” dalam ayat: “Katakanlah (Muḥammad), Serulah Allah dan serulah ar-Raḥmān” (al-Isrā’ [17]:110). Sebab, kata “arRaḥmān” hanya khusus disandang oleh Allah-sebagaimana kata “Allah” sendiri – mengingat ma‘na kata itu: perihal menciptakan makhlūq. Bersama kata itu pula muncul kata “istiwa’” dalam ayat Yang Maha Pengasih (ar-Raḥmān), yang istiwa’ di atas ‘Arsy (Thāhā [20]: 5).

Istiwa’ bermakna “tampak”. Dimaknai demikian karena sesuatu yang dimaksud tampak di seluruh ciptaan – selain rahmat. Allah Mahakaya dan tidak membutuhkan makhlūq, sedangkan makhlūq pasti membutuhkan-Nya. Raḥmat Allah yang membuat mereka tampak dan yang selamanya akan tampak nyata di tengah-tengah mereka.

Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (Hūd [11]: 119). Sebagian ‘ulamā’ menafsirkan, maksud ayat itu adalah mereka diciptakan untuk perbedaan pendapat. Menurut pendapat lain, mereka diciptakan untuk rahmat, Menurut pendapat lain lagi, mereka diciptakan untuk perbedaan pendapat sekaligus rahmat. Bahkan, perbedaan pendapat adalah inti rahmat. Dengan perbedaan pendapat itulah eksistensi mereka bertahan.

Ibnu ‘Athā’illāh berkata dalam munajatnya: “Wahai Dzāt yang dengan raḥmāniyyah– Nya (kasih sayang-Nya) bersemayam di atas ‘Arsy sehingga ‘Arsy lenyap dalam raḥmāniyyah-Nya sebagaimana alam lenyap dalam ‘Arsy-Nya. Engkau telah melenyapkan ātsār-yaitu ketika Engkau melenyapkan alam di dalam ‘Arsy-dan melenyapkan alaghyār (segala sesuatu selain-Nya) dan ‘Arsy dengan kepungan cahaya-yaitu dengan makna dan pengaruh sifat-sifatNya.”

Kami menegaskan, kasih sayang (raḥmāniyyah) Allah adalah sifat yang niscaya ada bersama keagungan (‘azhamah) Allah. Sifat tak kan berbeda dengan yang menyandang sifat. Lenyap dalam raḥmāniyyah berarti lenyap dalam dzāt. Seluruh alam semesta lenyap dengan kemanunggalan Dzāt. Demikianlah ma‘na istiwa’.

= Ta‘alluq =

Memohon limpahan rahmat Allah. Juga memohon kekuatan untuk menjalani perantara yang mendatangkan rahmat-Nya, seperti tobat dan perbaikan diri. Allah berfirman: Tuhanmu telah menentukan sifat kasih sayang (rahmat) pada diri-Nya, yaitu barang siapa berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang (al-An‘ām [6]: 54].

Hal lain yang mesti dilakukan adalah merenungkan luasnya rahmat Allah dan kehadirannya dalam alam semesta. Itu dapat menguatkan harapan dan mengukuhkan keimanan.

=Takhalluq =

Engkau harus melihat seluruh ciptaan dengan mata kasih sayang dan rahmat.

Kasihilah seluruh makhlūq.
Lihatlah mereka dengan mata kelembutan dan kasih sayang.
Hormatilah yang tua dan sayangilah yang muda.
Dan jagalah hak setiap makhlūq ciptaan-Nya.

= Taḥaqquq =

Sikap welas asih dan kasih sayang mesti menjadi watak dan karaktermu. Sehingga, melalui dirimu, Allah akan merahmati musuh-musuhmu. Engkau pun menjadi rahmat bagi hamba dan tempat berlindung bagi manusia – mengikuti jejak Rasūlullāh.

Adapun arRaḥīm (Saba’ [34]: 2) mengikuti pola fa‘īl dari kata arraḥmah. Ada yang berpendapat, ia memiliki ma‘na yang lebih kuat daripada arRaḥmān. Sebab, ar-Raḥām menuntut adalah imdād (hal menganugerahkan), sementara ni‘mat imdād ada sesudah ni‘mat ījād (hal menciptakan).

ArRaḥīm memiliki dua keterkaitan, yaitu imdād indriawi (ḥissī) bagi manusia dan imdād ma‘nawi (ma‘nawi) bagi rūḥ atau spritualitas.

ArRaḥīm juga memiliki dua bentuk ma‘na, yaitu raḥīmiyyah daf‘ (dihindarkan dari bahaya) dan raḥīmiyyah jalb (didekatkan pada ni‘mat). Dari keduanyalah ni‘mat imdād dihasilkan. Ketika ni‘mat imdād (hal menganugerahkan) tampak pada manusia maka nama arRaḥīm bisa disematkan padanya sebagai kiasan. Jadi, boleh dikatakan “Si Fulān itu raḥīm”, tetapi tdak boleh dikatakan “Si fulān itu raḥmān”. Ini berbeda dengan nama arRaḥmān yang tidak bisa disematkan pada makhlūq, karena ia mengandung ma‘na ni‘mat ījād (hal menciptakan) yang khusus bagi Allah.

Dalam ayat Dan Dia Maha Penyayang (ar-Raḥīm) kepada orang-orang mu’min (al-Aḥzāb [33]: 43) ma‘na arraḥīm diberikan khusus pada orang-orang mu’min. Sebab, imdād hakiki (imdād ruhani) hanya diberikan kepada mereka. Adapun imdād jasmani diberikan kepada binatang dan lainnya. Imdād jasmani diberikan kepada seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Bahkan, imdād jasmani diberikan kepada orang kafir agar dosanya bertambah. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah (Āli ‘Imrān [3]: 178). Jadi, itu adalah musibah dari-Nya.

Imdād jasmani diberikan kepada orang mu’min agar pahalanya bertambah. Dan, itu adalah rahmat dari-Nya. Namun, orang kafir dan orang mu’min memiliki kesamaan dalam hal menerima ni‘mat ījād, karena ījād tidak menuntut lahirnya pahala atau dosa dan hukuman.

Raḥmāniyyah-Nya dapat diketahui dengan raḥimiyyah-Nya. Sebab, ni‘mat ījād tergantung pada ni‘mat imdād. Artinya, semua eksistensi (wujūd) setelah penciptaannya itu tidak ada yang kekal, kecuali dengan ni‘mat imdād. Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap (Fāthir [35]: 41).

Beberapa syaikh berkata: “Yang ada hanyalah karunia-Nya. Kita tidak hidup kecuali di balik tirai-Nya. Jika tirai disingkapkan, tersingkaplah sesuatu yang agung.”

=Ta‘alluq=

Memohon limpahan imdād indriawi dan ma‘nawi, lalu menyiapkan diri untuk menyambut limpahan imdād ma‘nawi dengan mengosongkan diri dari semua hal selain Allah (alaghyār) dan menyucikan diri dari kekeruhan. Kosongkanlah hatimu dari selain Allah, niscaya ia akan dipenuhi pengetahuan dan rahasia-rahasia ilahi. Imdād hadir tergantung pada kesiapan penerimanya.

=Takhalluq=

Menolong orang-orang miskin, membantu orang-orang yang membutuhkan, dan bersikap welas asih terhadap semua hamba Allah, baik yang taat maupun yang bermaksiat, yang nista maupun yang mulia, sebagai ungkapan syukur atas limpahan ni‘mat-Nya, kemurahan-Nya dan karunia-Nya.

=Taḥaqquq=

Sikap welas asih dan penyayang (rahmat) harus menjadi karaktermu. Takkan pernah hilang dan senantiasa seimbang atau tidak berlebih-lebihan. Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) (al-Isrā’ [17]: 29).

Dan (termasuk hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfaqkan harta, mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, di antara keduanya wajar (al-Furqān [25]: 67).

 

الْمَالِكُ
Al-Mālik
(Maharaja)

Dzāt yang memiliki kerajaan berarti memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur dan memutuskan kepentingan seluruh makhlūq tanpa butuh bantuan, tanpa bisa dihalangi, dan tanpa butuh pendukung. Dia memiliki kekuasaan itu dengan dibarengi keagungan dan kemuliaan.

Nama Allah alMālik mencakup seluruh sifat keagungan, kekuasaan, dan keluasan ‘ilmu. Artinya, taka da satupun yang luput dari pengetahuan-Nya. Dia berkuasa mewujudkan ketentuan-Nya, berupa pahala maupun siksa.

= Ta‘alluq =

Ta‘alluq mengandaikan keterikatan hamba dengan al-Mālik terkait menjalankan perintah dan meninggalkan larangan, juga kepasrahan total di hadapan-Nya, melupakan selain-Nya, dan mengambil kekuatan dari Raja Teragung untuk bisa sampai kepada-Nya.

=Takhalluq=

Seseorang harus bisa menguasai diri dan hawa nafsunya. Membebaskan diri dari ketamakan dan menghiasinya dengan sifat wara’. Cara lainnya, menguasai diri dapat menguasai berbagai macam keadaan dan hanya membutuhkan Allah semata. Orang yang mengetahui bahwa Allah Maharaja sesungguhnya (alMālik-ulḤaqq) maka ia akan memusatkan semua tujuannya kepada-Nya, takkan mengembalikan semua urusannya kecuali kepada-Nya, berpasrah diri terhadap ketetapan-Nya, dan tak kan membutuhkan siapapun selain-Nya. Orang yang mengetahui bahwa Allah itu pemilik tunggal kerajaan maka ia tak pernah tunduk kepada seluruh makhlūq. Sebab, mengetahui-Nya mengharuskan sifat setia dan berpihak kepada-Nya, memuliakan-Nya melebihi selain-Nya, dan merasa cukup dengan kepunyaan dan kekuasaan-Nya.

=Taḥaqquq=

Engkau menafikan eksistensimu dan meleburkannya ke dalam eksistensi-Nya. Lewat itu, engkau akan menjadi wakil-Nya dalam mengurusi milik-Nya. Engkau memerintah dengan perintah-Nya dan berkuasa dengan kekuasaan-Nya. Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas, Maha Mengetahui (al-Baqarah [2]: 247).

 

الْقُدُّوْسُ
Al-Quddūs
(Mahasuci)

Kata “alQuddūs’’ merupakan bentuk mubālaghah (sangat; maha) dari kata alquds yang berarti bersih dan suci. Al-Quddūs artinya “mahasuci”.

Ma‘na al-Quddūs adalah terbebas dari segala kekurangan dan cela. Berhak atas seluruh sifat kesempurnaan. Sifat yang tak dapat digambarkan oleh sangkaan dan tak dapat dijangkau oleh pemahaman. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat, yang paling tepat tentang ma‘na al-Quddūs adalah bahwa Allah tersucikan dari segala bentuk kesempurnaan yang tidak layak untuk-Nya.

Dengan sifat al-Quddūs, Allah membersihkan jiwa para hamba dari segala noda (dosa), membersihkan hati ahli zuhud dari kesenangan duniawi dan ketertundukan pada hawa nafsu, membersihkan rahasia ahli ma‘rifat dari segala sesuatu selain-Nya.

=Ta‘alluq=

Memohon agar terhindarkan dari segala noda (dosa), lahiriah maupun bāthiniah. Memohon agar hati terpelihara dari kelalaian, dan rūḥ terjaga dari penyimpangan.

=Takhalluq=

Berusaha membersihkan anggota badan dari noda maksiat, menjaga diri agar tidak menuruti syahwat, membersihkan harta dari hal-hal haram dan syubhat, menjernihkan hati dari kelalaian, menjauhkan rūḥ dari kenistaan dan kelemahan. Kita tidak boleh merendahkan diri dihadapan makhlūq yang jelas-jelas merupakan hamba-Nya. Tidak pula mengagung-agungkan makhlūq karena mereka hanyalah makhlūq. Tidak memedulikan apa yang hilang dari tangannya-Nya. Tidak menyerah dan mundur sebelum sampai kepada-Nya.

=Taḥaqquq=

Berusaha menyucikan rūḥ dan relung hati terdalam dari kekeruhan indriawi, sampai penyucian itu benar-benar mencakup sisi lahir-bāthin, sehingga rahasia spiritual tampak dan sisi fisikal tersembunyi. Dengan demikian, kita menjadi hamba spiritual yang tersucikan.

Catatan:

  1. 1). Maksudnya, al-Ḥikam karya Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *