Ya, karena ayat tersebut juga umum baik pada saat Rasūlullāh s.a.w. masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Dinyatakan dalam riwayat bahwasanya para nabi hidup di kubur mereka, dan bahwasanya arwah mereka berada di hadirat Tuhan mereka. Dengan demikian, siapa yang bertawassul dengan mereka dan mengajukan diri kepada mereka, maka mereka pun mengajukan diri kepada Allah s.w.t. untuk menggapai permohonannya, namun pada hakikatnya yang diminta tetap hanya Allah, dan Dialah yang melakukan dan menciptakan bukan yang lain-Nya. Sebab, kita kaum Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah tak meyakini adanya pengaruh, penciptaan, manfaat serta bahaya, kecuali dalam kewenangan Allah semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Para nabi dan wali tak berpengaruh sama sekali. Mereka dijadikan perantara untuk mendapat keberkahan dan pertolongan hanya lantaran kedudukan mereka sabagai kekasih-kekasih Allah s.w.t. yang dengan sebab mereka, Allah merahmati hamba-hambaNya.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara keberadaan mereka saat masih hidup maupun keadaan mereka setelah mati. Karena pada hakikatnya dalam dua kondisi tersebut yang melakukan tetaplah Allah s.w.t.
Adapun orang-orang yang membedakan antara saat mereka hidup dengan ketika mereka sudah wafat, maka seakan-akan mereka meyakini adanya pengaruh bagi mereka saat masih hidup yang tidak dimiliki saat mereka sudah wafat. Ini adalah pendapat yang sama sekali tidak benar. Sesungguhnya Allah Pencipta segala sesuatu:
وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْمَلُوْنَ.
“Dan Allah menciptakanmu (semuanya) dan apa yang kamu kerjakan.” (QS. ash-Shāffāt: 96).
Firman Allah s.w.t.:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رِحِيْمًا.
“Dan sungguh, sekiranya setelah menzhalimi diri mereka sendiri mereka datang kepadamu (Muḥammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat Maha Penyayang.” (QS. an-Nisā’: 64).
Ayat ini umum baik saat Rasūlullāh s.a.w. masih hidup di dunia maupun setelah Rasūlullāh s.a.w. wafat dan beralih kepada kehidupan alam Barzakh.
Dalam bahasan terdahulu telah dipaparkan tentang hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. secara marfū‘, bahwa siapa yang keluar dari rumahnya untuk menunaikan shalat dan mengucapkan doa:
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ عَلَيْكَ وَ بِحَقِّ الرَّاغِبِيْنَ إِلَيْكَ وَ بِحَقِّ مِمْشَايَ هذَا إِلَيْكَ فَإِنِّيْ لَمْ أَخْرُجْ بَطَرًا وَ لَا أَشَرًا وَ لَا رِيَاءً وَ لَا سُمْعَةً، بَلْ خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ وَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، فَأَسْأَلُكَ اللهُمَّ أَنْ تُنْقِذَنِيْ مِنَ النَّارِ، وَ أَنْ تَغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِيْ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan kesungguhan orang-orang yang meminta kepada-Mu, kesungguhan orang-orang yang mendambakan-Mu, dan dengan kesungguhan perjalananku ini kepada-Mu. Sesungguhnya aku keluar bukan dengan keangkuhan, kesombongan, riyā’, tidak pula pamrih kemasyhuran. Aku keluar demi menghindari murka-Mu dan menggapai ridha-Mu. Maka aku mohon kepada-Mu ya Allah agar Engkau selamatkan aku dari neraka dan mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Engkau.”
Maka Allah menugaskan baginya tujuh puluh ribu malaikat yang menohonkan ampunan baginya, dan Allah menghadapkan wajah-Nya kepadanya hingga dia menyelesaikan shalatnya.” (71).
Al-‘Allāmah Muḥammad Murtadhā az-Zabīdī mengatakan dalam syarḥ (penjelasan)-nya atas kitab al-Iḥyā’ terkait tafsir “orang-orang yang meminta” dalam hadits di atas, mereka adalah orang-orang yang menundukkan diri kepada Allah dengan niat mereka yang tulus. Ini adalah karakteristik yang paling khusus pada para wali dan orang-orang shāliḥ. Semoga Allah melimpahkan manfaat kepada kita lantaran mereka.
Ulama mengatakan bahwasanya ini adalah tawassul yang jelas bagi setiap hamba yang beriman, baik dia hidup maupun mati, dan Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan doa ini kepada sahabat-sahabat beliau serta memerintahkan mereka agar meng‘amalkannya. Tida ada seorang pun dari mereka baik salaf maupun khalaf melainkan dia mengucapkan doa ini saat dia keluar untuk menunaikan shalat.
Dari Anas bin Mālik r.a., ia mengatakan: “Ketika Fāthimah binti Asad, bunda ‘Alī bin Abī Thālib r.a. wafat,” Anas r.a. lantas menyebutkan hadits itu yang di dalamnya dinyatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berbaring di atas kuburnya (82) dan bersabda:
اللهُ الَّذِيْ يُحْيِيْ وَ يُمِيْتُ وَ هُوَ حَيٌّ لَا يَمُوْتُ، اغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ، وَ لَقِّنْهَا حُجَّتَهَا، وَ وَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا، بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَ الْأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِيْ، فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ.
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak mati. (Ya Allah) ampunilah ibuku Fāthimah binti Asad. Tuntunlah kepadanya hujjahnya. Luaskanlah liang lahadnya, dengan kebenaran Nabi-Mu dan para nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau Maha Penyayang…” (93).
Perhatikan sabda beliau: “Dan para nabi sebelumku.” Ini jelas menyatakan kebolehan melakukan tawassul dengan para nabi setelah mereka wafat, karena sebelumnya mereka hidup di alam barzakh mereka. Demikian pula dengan seluruh pewaris mereka dari kalangan orang-orang shiddīq dan para wali, semoga Allah melimpahkan manfaat dengan berkah mereka.
Para ulama – semoga Allah melimpahkan manfaat lantaran mereka – mengatakan bahwa adapun tawassul Sayyidinā ‘Umar pada al-‘Abbās r.a. bukan dalil yang menunjukkan tidak diperkenankannya tawassul dengan selain orang-orang yang hidup. Tawassul ‘Umar dengan al-‘Abbās bukan dengan Nabi s.a.w. untuk menjelaskan kepada manusia bahwa tawassul dengan selain Nabi s.a.w. dibolehkan, tak ada larangan padanya. ‘Umar r.a. mengkhususkan al-‘Abbās di antara sahabat-sahabat yang lain untuk menunjukkan kemuliaan keluarga Rasūlullāh s.a.w.
Dalilnya, bahwa dinyatakan dalam riwayat adanya tawassul para sahabat dengan Rasūlullāh s.a.w. setelah beliau wafat.
Di antaranya adalah yang diriwayatkan al-Baihaqī dan Ibnu Abī Syaibah dengan mata rantai riwayat yang shaḥīḥ bahwa manusia di masa pemerintahan ‘Umar r.a. mengalami kekeringan.
Bilāl bin Ḥārits r.a. mendatangi kuburan Nabi s.a.w. dan berkata: “Ya Rasūlullāh, mohonkanlah untuk umatmu agar diturunkan hujan, sesungguhnya mereka mengalami kebinasaan.”
Dalam tidurnya, ia bermimpi Rasūlullāh s.a.w. mendatanginya dan bersabda: “Temuilah ‘Umar bin Khaththāb, sampaikan salam kepadanya. Beritahu mereka bahwa mereka mendapatkan hujan.”
Bilāl pun segera menemui ‘Umar dan memberitahukan kepadanya. ‘Umar r.a. menangis. Hujan pun turun kepada mereka.
Bagian yang dapat dijadikan sebagai dalil adalah perbuatan Bilāl. Dia seorang sahabat dan yang dilakukannya ini tidak dipungkiri oleh ‘Umar. Tidak pula sahabat-sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang lainnya, radhiyallāhu ‘anhum.
Dalil lainnya adalah yang disampaikan oleh ad-Dārimī bahwa penduduk Madīnah mengalami kekeringan hebat. Mereka pun mengadu kepada ‘Ā’isyah r.a. yang lantas berkata: “Lihatlah kuburan Nabi s.a.w. lalu buatlah lubang padanya ke arah langit hingga tidak ada atap antara kuburan beliau dengan langit.”
Mereka melaksanakan saran ‘A’isyah r.a. Tak lama berselang hujan deras turun kepada mereka hingga rumput tumbuh dan onta menjadi gemuk sampai merekah karena banyaknya lemak. Oleh karenanya tahun itu disebut tahun al-fatq (perekahan). (104)
Kesimpulannya adalah bahwa tawassul diperbolehkan. Baik tawassul dengan ‘amal-‘amal shāliḥ maupun dengan orang-orang shalih yang aktif meng‘amalkan ajaran-ajaran agama. Baik tawassul dengan orang-orang yang masih hidup maupun dengan orang-orang yang sudah mati. Bahkan tawassul telah terjadi pada setiap keadaan hingga sekalipun sebelum penciptaan Rasūlullāh s.a.w.