Ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunnah yang dianjurkan. Ziarah kubur pernah dilarang di masa awal Islam. Kemudian larangan ini dihapus berdasarkan sabda Rasūlullāh s.a.w. dan perbuatan beliau.
Dalam hadits disebutkan:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ، فَزُوْرُوْهَا.
“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) hendaknya kalian berziarah kubur.” (11).
Dalam satu riwayat terdapat tambahan:
فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَ تُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَ تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ.
“Sesungguhnya ziarah kubur memperlembut hati, membuat air mata bercucuran, dan mengingatkan pada akhirat.” (22).
Dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. keluar menuju pemakaman Baqī‘. Di sana beliau mengucapkan:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ، وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.
“Keselamatan bagi kalian di persemayaman kaum mu’minin. Sesungguhnya kami in syā’ Allāh akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni (pemakaman) Baqī‘-ul-Gharqad.” (33).
Ulama raḥimahumullāh mengatakan bahwa ziarah kubur merupakan kebiasaan Nabi s.a.w., dan sahabat-sahabat beliau pun melakukan ziarah kubur saat beliau masih hidup. Nabi s.a.w. juga mengajari mereka tentang tata cara ziarah kubur. Umat sepakat bahwa ziarah kubur merupakan ritual yang dianjurkan untuk mendapatkan penyadaran dan pelajaran. Ziarah kubur tetap merupakan ketentuan yang dianjurkan di berbagai wilayah dan negeri.
Ulama menyatakan bahwa ziarah kubur bagi kaum wanita hukumnya makruh karena dikhawatirkan akan mengalami trauma lantaran kaum wanita sering merasa sedih dan kurang tabah dalam menghadapi musibah. Namun ada pengecualian pada kubur nabi, orang shāliḥ, dan ulama. Kaum wanita dianjurkan untuk berziarah di kubur mereka untuk tabarruk.
Meski demikian, ada juga di antara ulama yang memberi keringanan bagi kaum wanita untuk berziarah kubur secara mutlak. Ini berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. melihat seorang wanita di pemakaman sambil menangis di atas kubur anaknya.
Beliau bersabda kepada wanita itu:
اِتَّقِي اللهَ وَ اصْبِرِيْ.
“Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” (44).
Beliau menyuruhnya bersabar dan tidak memungkiri keberadaannya di pemakaman. Ini juga dapat dikaitkan dengan makna hadits: “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka hendaknya kalian berziarah kubur.” Dengan ketentuan maknanya berlaku umum bagi kaum pria maupun kaum wanita.
Dalam hadits juga dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. mengajari ‘Ā’isyah r.a. doa saat berziarah kubur.
Beliau bersabda kepadanya: “Ucapkanlah:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ منَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَ يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ وَ الْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ.
“Keselamatan bagi kalian penghuni pemakaman kaum mu’minin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian di antara kita. Sesungguhnya kami in syā’ Allāh akan menyusul kalian.” (55).
Seandainya ziarah kubur tidak dianjurkan kepada ‘Ā’isyah r.a. niscaya beliau tidak mengajarinya doa ziarah kubur itu.
Dalam al-Mushannaf karya ‘Abd-ur-Razzāq ash-Sha‘ānī dinyatakan bahwa Fāthimat-uz-Zahrā’ r.a. berziarah ke makam pamannya, Ḥamzah, di Uhud pada setiap Jum‘at. (66).
Maksudnya menurut ulama ahli taḥqīq adalah jika ziarah mereka untuk menyebut-nyebut keutamaan mayit, menangis, dan meratapinya sebagaimana tradisi yang mereka lakukan di masa jahiliah. Ziarah kubur seperti ini dilarang sesuai kesepakatan ulama.
Adapun jika ziarah kubur mereka tidak mengandung perkara-perkara tersebut, maka tidak terlarang dan tidak termasuk dalam ancaman laknat dalam hadits di atas. Sebagian ulama menafsirkannya bahwa hadits tersebut disampaikan sebelum ada keringanan.
Menziarahi Nabi s.a.w. termasuk ibadah yang paling agung. Demikian pula dengan wisata untuk berziarah ke kubur beliau, merupakan ibadah yang dianjurkan. Sebagaimana dianjurkan pula berziarah ke kubur para nabi, wali, dan orang yang mati syahid untuk tabarruk dan menggapai hikmah.
Ziarah kubur ini juga mengandung berbagai kebaikan, keberkahan, dan anugerah yang sangat melimpah sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Dengan demikian berwisata untuk tujuan ziarah ini mengandung faedah yang sangat berharga.
Maka sudah selayaknya ziarah ini mendapat perhatian yang semestinya dengan tetap menerapakan adab-adabnya dan tidak boleh dibiarkan adanya ziarah ke kubur mereka dengan tujuan untuk mendapatkan suatu perkara bid‘ah. Manusia dianjurkan untuk berziarah, serta mengingkari bid‘ah dan menghilangkannya.
Dalilnya adalah firman Allah s.w.t.:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا.
“Dan sungguh, sekiranya setelah menzhalimi diri mereka sendiri mereka datang kepadamu (Muḥammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasūl pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat Maha Penyayang.” (QS. an-Nisā’: 64).
Dalam hadits dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. hidup di kubur beliau. Dengan demikian, mendatangi kubur beliau setelah beliau wafat seperti mendatangi beliau saat masih hidup.
Di antara dalil-dalilnya juga adalah, sabda Nabi s.a.w.:
مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ وَفَاتِيْ فَكَأَنَّمَا زَارَنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ.
“Siapa yang menunaikan ibadah haji lalu menziarahi kuburku setelah wafatku, seakan-akan ia menziarahiku saat hidupku.”
Dan sabda Nabi s.a.w.:
مَنْ حَجَّ وَ لَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ.
“Siapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak menziarahiku, sungguh ia telah mengabaikanku.” (88).
Maksud hadits ini bukan sebagai pelarangan terhadap penekanan bepergian secara mutlak kecuali ke masjid-masjid dimaksud. Sebab, jika demikian maka konsekwensinya tidak ditekankan pula bepergian ke ‘Arafah, Minā, mengunjungi kedua orangtua, mencari ilmu, jihad, dan berdagang. Makna seperti itu tak disampaikan oleh seorang pun.
Makna hadits di atas adalah tidak layak menekankan bepergian ke masjid-masjid karena melihat ada keutamaannya. Karena, betapapun masjid-masjid itu semua keutamaannya sama saja. Kecuali pada tiga masjid (Masjid-ul-Aqshā, Masjid-ul-Ḥarām, dan Masjid Nabawī) yang mana pahala shalat di dalam ketiga masjid itu dilipatgandakan.
Bentuk kalimat pada hadits tersebut sebagai kalimat berita bukan kalimat insyā’iyyah.