Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī meneruskan pembahasan dengan memerinci bait sebelumnya. Beliau berkata:
فَإِنْ يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ الْفَضْلِ | وَ إِنْ يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ العَدْلِ. |
“Maka jika Dia memberi pahala, itu adalah semata-mata dengan karunia-Nya, dan jika Dia meng‘adzab (menyiksa) kita, itu adalah semata-mata dengan keadilan-Nya.”
Jika aku diberi pahala atas amal ibadah yang aku lakukan, itu murni karena anugerah Allah. Sebab, aku tidak bisa menciptakan sendiri amal baikku, semua perbuatanku berdasarkan kekuasaan Allah. Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah. Sebab, seorang tuan berhak melakukan apapun pada hamba atau makhluk-Nya, tidak akan ada yang melarang atau menentang-Nya, karena hamba tersebut adalah milik-Nya sendiri.
Setelah diketahui bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan hamba-Nya dan seorang hamba hanya memiliki kasb, maka jika aku diberi pahala atas amal baikku, itu murni karena anugerah Allah, bukan suatu keharusan bagi Allah karena aku tidak bisa menciptakan amal baikku sendiri. Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ.
“Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. an-Nisā’ [4]: 78).
Anugerah adalah memberikan sesuatu bukan sebagai imbalan dari suatu pekerjaan.
Bait ini menolak pendapat madzhab Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa Allah wajib memberi pahala bagi orang yang taat, karena manusia bisa menciptakan perbuatannya sendiri, maka dia harus diberi pahala atas amal baiknya. Manusia juga wajib disiksa jika melakukan maksiat, ini merupakan keyakinan madzhab Mu‘tazilah dan Qadariyyah.
Sedangkan menurut Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah, Allah tidak wajib memberi pahala kepada orang yang melakukan amal kebaikan. Sebab, sebanyak apapun ketaatan seorang hamba, tidak akan sebanding dengan besarnya ni‘mat yang telah Allah berikan. Jika demikian, bagaimana bisa seorang hamba punya hak untuk meminta upah atas amalnya? Kemauan, kemampuan melakukan ketaatan, sampai keimanan yang dimiliki seorang hamba, semuanya atas pertolongan Allah, maka bagaimana seorang hamba bisa meminta upah?
Jika aku disiksa karena amal burukku, itu murni karena sifat adil Allah. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, tanpa ada orang yang menentang. Tujuh alam raya, tujuh lapis langit, bumi seisinya, malaikat, jin, syaithan, manusia, hewan dan semua yang ada adalah milik Allah, makhluk Allah dan hamba Allah. Mālik (pemilik) dan Khāliq (pencipta) boleh melakukan apa saja pada sesuatu yang dimiliki atau diciptakannya, tidak akan ada siapapun yang menentang atau melarang, juga tidak akan ada yang mengatakan zhalim.
Dalam al-Qur’ān disebutkan:
إِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ.
“Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”, (QS. al-Ḥajj [22]: 18).
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَ هُمْ يُسْأَلُوْنَ.
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanya”. (QS. al-Anbiyā’ [21]: 23).
Kesimpulannya, ketaatan hamba tidak memberi manfaat sama sekali kepada Allah, begitu pula kemaksiatan yang dilakukan oleh hamba, sama sekali tidak memberi mudarat apapun pada Allah. Ketaatan dan kemaksiatan adalah sama-sama ciptaan Allah. Oleh karena itu, ketaatan tidak mengharuskan diberi pahala dan kemaksiatan tidak mengaruskan diberi siksa. Ketaatan dan kemaksiatan hanya sebagai tanda orang yang akan beruntung atau orang yang akan celaka di akhirat kelak, atau tanda orang yang akan mendapat pahala atau mendapat siksa. Pahamilah masalah ini. (841)
Adapun dalam hukum syara‘, menurut suatu pendapat, tidak boleh mengingkari janji, tapi boleh, mengingkari ancaman. (852).