Antara Usaha dan Tawakkal – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 004 Persoalan Aqidah yang Bersumber dari Dalil Naqli (Sam'iyyah) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Antara Usaha dan Tawakkal

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

فِي الْاِكْتِسَابِ وَ التَّوَكُّلِ اخْتُلِفْ وَ الرَّاجحُ التَّفْصِيْلُ حَيْثُمَا عُرِفْ.

Ulamā’ berbeda pendapat dalam hal usaha dan tawakkal. Dan pendapat yang dianggap unggul adalah memerincinya sebagaimana yang telah diketahui.”

‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah berselisih pendapat mengenai keutamaan berusaha dan bertawakkal. Pendapat yang unggul adalah memerincinya sebagaimana keterangan dalam kitab-kitab ‘Ulamā’ ahli taḥqīq, seperti kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn dan kitab Risālat-ul-Qusyairiyyah. Lihatlah kedua kitab tersebut!

Penjelasan:

‘Ulamā’ ahli taḥqīq berselisih pendapat tentang mana yang lebih utama antara kasab (berusaha) dan tawakkal dengan meninggalkan usaha. Menurut sebagian ‘ulamā’, lebih utama kasab (berusaha), yaitu dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti berdagang, bertani, menjadi tukang jahit atau tukan kayu. Sebab, dengan bekerja, seseorang tidak akan tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain, tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan bisa memiliki keleluasaan berbuat baik kepada orang lain dengan bersedekah dan menyambung tali silaturrahim. (2231).

‘Ulamā’ yang lain lebih mengutamakan tawakkal, meninggalkan usaha, hanya ber‘ibādah serta berserah diri kepada Allah, dan memutuskan pandangannya dari segala macam usaha. Sebab, dengan bertawakkal, seseorang bisa meninggalkan dunia, tidak mencintai dunia, tidak berkumpul dengan ahli dunia, serta bisa selamat dari fitnah harta dan fitnah muḥāsabah. (2242).

الدُّنْيَا حَلَالُهَا حِسَابٌ وَ حَرَامُهَا عِقَابٌ.

Dunia itu perkara halalnya akan dihisab dan perkara haramnya akan disiksa.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits: “Barang siapa mencukupkan dirinya hanya kepada Allah s.w.t. maka Allah akan mencukupkan segala keperluannya dan memberikan rezeki yang tidak disangka-sangka. Barang siapa memantapkan dirinya hanya kepada dunia, Allah s.w.t. akan menyerahkan urusan orang tersebut pada dunia (Allah tidak akan menanggungnya).

Adapun pendapat yang unggul adalah memerinci pendapat-pendapat ‘Ulamā’ ahli taḥqīq. Hasil perincian tersebut adalah hukum usaha dan tawakkal berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.

Seseorang yang mampu bersabar menghadapi kesulitan kebutuhan hidup dan tidak tamak kepada manusia, tidak meminta-minta, dan tidak membenci taqdīr Allah atas kefakirannya, maka dia lebih utama bertawakkal. Sebab, bisa menjadikan berhasilnya memerangi hawa-nafsu.

Seseorang yang belum bisa bersabar, lebih utama berusaha, jangan sampai ia membenci taqdīr Allah s.w.t. atas kefakiran yang menimpa. Bahkan terkadang juga diwajibkan baginya untuk berusaha, apalagi di zaman yang seperti ini. (2253).

Perincian ini hanya berlaku pada pendapat yang menyatakan bahwa tawakkal merusak usaha: “Barang siapa berusaha, berarti dia tidak bertawakkal.” Mayoritas ‘ulamā’ ahli taḥqīq menyatakan bahwa tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Terkadang seseorang berusaha disertai tawakkal, dan tawakkalnya tidak rusak karena dia melakukan usaha. Sebab, ma‘na tawakkal adalah percaya dan berpegang teguh pada Allah s.w.t., walaupun disertai melakukan sebab berupa usaha.

Kesimpulannya, di zaman yang seperti ini, melakukan usaha lebih utama, bahkan menjadi suatu kewajiban. Sebab, keimanan dan keislaman orang awam tidak akan sempurna kecuali jika memiliki harta.

Sayyidinā Anas r.a. meriwayatkan, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

نِعْمَ الْعَوْنُ عَلَى تَقْوَى اللهِ الْمَالُ.

Sebaik-baik penolong taqwa kepada Allah adalah harta.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّ الْفَاقَةَ لِأَصْحَابِيْ سَعَادَةٌ، وَ إِنَّ الْغِنَا لِلْمُؤْمِنِ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ سَعَادَةٌ.

Sesungguhnya kefakiran bagi sahabatku adalah sebuah kebahagiaan, sedangkan kekayaan bagi orang mu’min di akhir zaman adalah kebahagiaan.” (H.R. Jābir).

Rasūlullāh s.a.w. juga bersabda:

عِزُّ الْمُؤْمِنِ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ.

Kemuliaan orang mu’min ketika tidak butuh bantuan manusia.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku memerintahkan semua umatku agar tidak berpegangan atau menggantungkan harapan pada taqdīr.” Seorang sahabat bertanya: “Kenapa kami tidak diperbolehkan berpegangan pada taqdīr dengan meninggalkan ber‘amal?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Jangan! Ber‘amallah! Karena setiap orang akan dimudahkan pada taqdīrnya masing-masing.” (HR. Bukhārī).

Jika seseorang ditaqdīrkan celaka, ia akan mudah melakukan kemaksiatan. Jika ditaqdīrkan bahagia, ia akan mudah melakukan ketaatan. Jika ditaqdīrkan kaya, pekerjaannya akan berjalan lancar. Jika ditaqdīrkan miskin, pekerjaannya akan sulit.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd r.a., Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

طَلَبُ الْحَلَالِ فَرِيْضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ.

Berusaha mencari rezeki halal (untuk menafkahi dirinya dan anak istrinya) adalah suatu kefardhuan setelah kefardhuan (shalat fardhu 5 waktu) yang lain.”

Adapula yang berpendapat kefardhuan setelah rukun Islam, atau kefardhuan setelah iman dan shalat.

Karena ber‘ibādah adalah suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna apabila belum bisa mencukupi nafkah dirinya dan anak-istrinya, maka berusaha mencari nafkah menjadi wajib hukumnya. Hal ini sesuai kaidah:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.

Sesuatu yang mana suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpanya, maka ia dihukumi wajib.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

طَلَبُ الْحَلَالِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

Mencari rezeki yang halal wajib bagi setiap orang Muslim laki-laki.”

Hadits ini menunjukkan bekerja mencari rezeki hukumnya wajib, agar tidak menjadi pengemis, karena mengemis hukumnya haram.

Kewajiban bekerja jangan sampai dilakukan dengan cara merendahkan diri di hadapan musuh Allah, melakukan kezhāliman, atau menjadi pelayan pemimpin yang zhālim. Carilah rezeki yang halal sesuai dengan syarī‘at agama.

Fā’idah: (2264).

Dalam kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, Imām al-Ghazālī berkata: “Membawa bekal dalam perjalanan agar bisa menolong orang Muslim adalah lebih utama. Hal yang diperhitungkan adalah niatnya. Masuk hutan tanpa membawa bekal apapun dengan alasan tawakkal kepada Allah hukumnya bid‘ah. Tidak ada orang terdahulu yang melakukannya karena membahayakan keselamatan jiwa. Allah s.w.t. berfirman:

وَ لَا تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.

Jangan meletakkan hidupmu dalam kehancuran.” (QS. al-Baqarah [2]: 195).

Catatan:

  1. 223). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 314.
  2. 224). Ibid.
  3. 225). Ibid.
  4. 226). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 315.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *