Allah Tinggi Di Atas ‘Arsy, Sekaligus Dekat Dengan Hamba-Nya – Aqidah Imam al-Muzani (3/3)

Aqidah Imam al-Muzani
(Murid Imam asy-Syafi‘i r.h.)
(Judul Asli: Syarhussunnah lil Muzani)

 
Penulis: Abu Utsman Kharisman
 
Penerbit: Cahaya Sunnah
 

*Penjelasan oleh Wahabi

Rangkaian Pos: Allah Tinggi Di Atas 'Arsy - Sekaligus Dekat Dengan Hamba-Nya - Aqidah Imam al-Muzani

Kedelapan: Penjelasan bahwa Allah ada di atas langit. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān:

أَأَمِنْتُمْ مَّنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُوْرُ. أَمْ أَمِنْتُمْ مَّنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ

Apakah kalian merasa aman dari (Allah) Yang Berada di atas langit, bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang? Atau apakah kamu merasa aman terhadap (Allah) Yang Berada di atas langit, bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?
(QS. al-Mulk [67]: 16-17)

Yang dimaksud dengan “Yang berada di atas langit sesuai ayat tersebut adalah Allah s.w.t. Karena Allahlah Yang Maha Mampu menjungkirbalikkan manusia bersama bumi yang dipijaknya tersebut serta menenggelamkan mereka di dalamnya. Hal ini diperjelas dengan ayat-ayat yang lain, di antaranya:

أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ أَوْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ثُمَّ لَا تَجِدُوْا لَكُمْ وَكِيْلًا

Maka apakah kamu merasa aman dari Yang Menjungkir-balikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil?
(QS. al-Isrā’ [17]: 68)

 

أَفَأَمِنَ الَّذِيْنَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللهُ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُوْنَ

Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya ‘adzab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.”
(QS. an-Naḥl [16]: 45)

 

Disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): الْمَيِّتُ تَحْضُرُهُ الْمَلَائِكَةُ، فَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَالِحًا، قَالُوْا: اخْرُجِيْ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ كَانَتْ فِي الْجَسَدِ الطَّيِّبِ. اُخْرُجِيْ حَمِيْدَةً وَ أَبْشِرِيْ بِرُوْحٍ وَ رَيْحَانٍ وَ رَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانٍ. فَلَا يَزَالُ يُقَالُ لَهَا ذلِكَ، حَتَّى تَخْرُجَ، ثُمَّ يُعْرَجُ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ فَيُفْتَحُ لَهَا فَيُقَالُ: مَنْ هذَا؟ فَيَقُوْلُوْنَ: فُلَانٌ. فَيُقَالُ: مَرْحَبًا بِالنَّفْسِ الطَّيِّبَةِ كَانَتْ فِي الْجَسَدِ الطَّيِّبِ. اُدْخُلِيْ حَمِيْدَةً وَ أَبْشِرِيْ بِرُوْحٍ وَ رَيْحَانٍ وَ رَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ. فَلَا يَزَالُ يُقَالُ لَهَا ذلِكَ حَتَّى يَنْتَهَى بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِيْ فِيْهَا اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ.

Dari Abū Hurairah – semoga Allah meridhainya dihadiri oleh para Malaikat. Jika ia adalah seorang yang shalih, maka para Malaikat itu berkata: “Keluarlah wahai jiwa yang baik dari tubuh yang baik.” Keluarlah dalam keadaan terpuji dan bergembiralah dengan Rauḥ dan Rayḥān dan Tuhan yang tidak murka. Terus-menerus dikatakan hal itu sampai keluarlah jiwa (rūḥ) tersebut. Kemudian diangkat naik ke langit, maka dibukakan untuknya dan ditanya: Siapa ini? Para Malaikat (pembawa) tersebut menyatakan: Fulan. Maka dikatakan: Selamat datang jiwa yang baik yang dulunya berada di tubuh yang baik. Masuklah dalam keadaan terpuji, dan bergembiralah dengan Rauḥ dan Rayḥān dan Tuhan yang tidak murka. Terus-menerus diucapkan yang demikian sampai berakhir di langit yang di atasnya Allah ‘azza wa jalla.
(Diriwayatkan al-Imām Aḥmad dan al-Imām Ibnu Mājah, al-Bushirī menyatakan dalam Zawā’id Ibnu Mājah: Sanadnya shaḥīḥ dan perawi-perawinya terpercaya, dan di-shaḥīḥ-kan asy-Syaikh Muḥammad Nāshīr-ud-Dīn al-Albānī).

Perlu dipahami dalam bahasa ‘Arab bahwa lafazh (فِي) tidak hanya berarti di “dalam”, tapi juga bisa bermakna “di atas”. Hal ini sebagaimana penggunaan lafazh tersebut dalam ayat:

فَسِيْرُوْا فِي الْأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ.

Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di atas bumi selama empat bulan….”
(QS. at-Taubah [9]: 2)

 

Dalam ayat itu disebutkan makna (فِي الْأَرْضِ) sebagai “di atas bumi” bukan “di dalam bumi”. Karena itu, makna (فِي السَّمَاءِ) artinya adalah “di atas langit” bukan “di dalam langit.”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

أَلَا تَأْمَنُوْنِيْ وَ أَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاء! يَأْتِيْنِيْ خَيْرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَ مَسَاءً.

Tidaklah kalian mempercayai aku, padahal aku kepercayaan dari Yang Berada di atas langit (Allah). Datang kepadaku kabar langit pagi dan sore.
(HR. al-Imām-ul-Bukhārī dan al-Imāmu Muslim)

Disebutkan pula dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ. اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.

Dari ‘Abdullāh bin ‘Amr r.a., beliau berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang penyayang disayangi oleh ar-Raḥmān. Sayangilah yang ada di bumi, niscaya akan menyayangi kalian Yang Ada di atas langit (Allah).
(HR. al-Imām-ut-Tirmidzī dan di-shaḥīḥ-kan asy-Syaikh al-Albānī).

 

Kesembilan: Persaksian Nabi bahwa seorang budak wanita yang ditanya di mana Allah, kemudian menjawab Allah di atas langit sebagai wanita beriman.

Sesuai dengan hadits Mu‘āwiyah bin al-Ḥakam:

فَقَالَ لَهَا: (أَيْنَ اللهُ؟)، قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: (مَنْ أَنَا؟)، قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: (أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).

Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Rasūl bertanya: “Siapa saya?” Wanita itu menjawab: “Engkau adalah utusan Allah.” Maka Nabi bersabda: “Bebaskan dia, karena dia adalah seorang (wanita) beriman.
(HR. al-Imāmu Muslim).

 

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Imām-usy-Syāfi‘ī di dalam kitab al-Umm juz 5 halaman 298. Mengenai periwayatan al-Imām-usy-Syāfi‘ī tersebut Imām Abū ‘Utsmān ash-Shabūnī menyatakan di dalam kitabnya ‘Aqīdat-us-Salafi Ashḥāb-ul-Ḥadīts:

وَ إِنَّمَا احْتَجَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهِ عَلَيْهِ عَلَى الْمُخَالِفِيْنَ فِيْ قَوْلِهِمْ بِجَوَازِ إعْتَاقِ الرُّقْبَةِ الْكَافِرَةِ بِهذَا الْخَبَرِ، لِاعْتِقَادِهِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى فَوْقَ خَلْقِهِ، وَ فَوْقَ سَبْعِ سَماوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ، كَمَا معتقد الْمُسْلِمِيْنِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَ الْجَمَاعَةِ، سَلَفُهُمْ وَ خَلَفُهُمْ، إِذْ كَانَ رَحِمَهُ اللهِ قَالَ أَنْبَأْنَا الْإِمَامُ أَبُو الْوَلِيْدِ حَسَّانُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَقِيْهُ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيْمُ بْنُ مَحْمُوْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ الرَّبِيْعَ بْنَ سُلَيْمَانَ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ الشَّافِعيَّ رَحِمَهُ يَقُوْلُ: إِذَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أَقُوْلُ قَوْلًا وَ قَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ (ص) خِلَافُهُ فَاعْلَمُوْا أَنْ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ.

Al-Imām-usy-Syāfi‘ī – raḥimahullāh (semoga rahmat Allah atasnya) – berhujjah terhadap para penentang yang menyatakan bolehnya memerdekakan budak kafir dengan kabar (hadits) ini karena keyakinan beliau bahwa Allah s.w.t. di atas makhluk-makhlukNya, dan di atas tujuh langit di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana keyakinan kaum muslimin Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah baik yang terdahulu maupun kemudian, karena beliau (asy-Syāfi‘ī) tidaklah meriwayatkan kabar (hadits) yang shaḥīḥ kemudian tidak berpendapat dengan (hadits) tersebut.

Telah mengabarkan kepada kami al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh raḥimahullāh (dia berkata): telah mengkabarkan kepada kami Abul-Walīd Ḥassān bin Muḥammad al-Faqīh (dia berkata): telah memberitakan kepada kami Ibrāhīm bin Maḥmūd dia berkata: aku mendengar ar-Rabī‘ bin Sulaimān berkata: Aku mendengar al-Imām-usy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata:

Jika kalian melihat aku mengucapkan suatu ucapan sedangkan (hadits) yang shaḥīḥ dari Nabi s.a.w. bertentangan dengannya, maka ketahuilah bahwasanya akalku telah pergi.

Jika ada yang bertanya: Siapa Abū ‘Utsmān ash-Shabūnī sehingga dia bisa tahu maksud ucapan al-Imām-usy-Syāfi‘ī? Maka kita jawab: Abū ‘Utsmān ash-Shabūnī adalah salah seorang Ulama bermadzhab al-Imām-usy-Syāfi‘ī (sebagaimana dijelaskan oleh al-Ḥāfizh-udz-Dzahabī dalam Siyāru A‘lām-in-Nubalā’). Imām-ul-Baihaqī menyatakan tentang Abū ‘Utsmān ash-Shabūnī:

إِمَامُ الْمُسْلِمِيْنَ حَقًّا، وَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ صِدْقًا

Imām kaum muslimin yang sebenarnya, dan Syaikh-ul-Islām yang sejujurnya.” (Lihat Siyāru A‘lām-in-Nubalā’ juz 18 hal. 41)

Kami kemukakan ucapan al-Imām-ul-Baihaqī di sini karena para penentang Ahl-us-Sunnah banyak memanfaatkan ketergelinciran al-Imām-ul-Baihaqī raḥimahullāh dalam memahami Asmā’u wash-Shifat.

 

Kesepuluh: Penjelasan bahwa Allah ber-istiwā’ di atas ‘Arsy. Lafazh istiwā’ diikuti dengan penghubung (عَلَى) sehingga bermakna “tinggi di atas ‘Arsy” Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ān pada 8 tempat pada surat: al-A‘rāf [7]: 54, Yūnus [10]: 3, Yūsuf [12]: 100, ar-Ra‘d [13]: 2, Thāhā [20]: 5, al-Furqān [25]: 59, as-Sajdah [32]: 4, al-Ḥadīd [57]: 4.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *