Al-Imām al-Muzanī r.h. menyatakan:
عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ مَجْدِهِ بِذَاتِهِ وَ هُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ أَحَاطَ عِلْمُهُ بِالْأُمُوْرِ وَ أَنْفَذَ فِيْ خَلْقِهِ سَابِقَ الْمَقْدُوْرِ وَ هُوَ الْجَوَّادُ الْغَفُوْرُ (يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَ مَا تُخْفِي الصُّدُوْرِ).
Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dalam Kemuliaan-Nya dengan Dzāt-Nya. Dia dekat dengan ilmu-Nya dari hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam penciptaan-Nya (sesuai) yang ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha Dermawan lagi Maha Pengampun. (Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada).
(QS. Ghāfir/al-Mu’min [40]: 19).
Allah Maha Tinggi di atas ‘Arsy pada puncak ketinggian. ‘Arsy adalah makhluk Allah tertinggi dan terbesar yang berada di atas langit. Secara tegas dalam kalimat ini Al-Imām-ul-Muzanī r.h. menyatakan bahwa Dzāt Allah di atas ketinggian.
Al-Imām-ul-Muzanī r.h. juga pernah menyatakan:
لَا يَصِحُّ لِأَحَدٍ تُوْحِيْدٌ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ بِصِفَاتِهِ.
Tidak sah tauhid seseorang hingga ia mengetahui bahwa Allah di atas ‘Arsy dengan Sifat-sifatNya.
(Al-‘Uluwwu lil-‘Aliyy-il-Ghaffār karya al-Imām-udz-Dzahabī (1/186)).
Akidah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit ber-istiwā’ di atas ‘Arsy adalah akidah para Nabi dan para sahabatnya. Tidak hanya Nabi kita Muḥammad s.a.w. namun juga Nabi-nabi sebelumnya.
Sebagai contoh, Nabi Mūsā a.s. telah berdakwah kepada Far‘aun dan menyatakan bahwa Allah berada di atas langit. Namun Fir‘aun dengan congkak dan sombong menolak dan mengingkarinya, sambil mengejek Nabi Mūsā, Fir‘aun berkata:
فَأَوْقِدْ لِيْ يَا هَامَانُ عَلَى الطِّيْنِ فَاجْعَلْ لِّيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْ أَطَّلِعُ إِلَى إِلهِ مُوْسَى وَ إِنِّيْ لأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ
…..Maka bakarlah hai Hāmān untukmu tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Mūsā, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.
(QS. al-Qashash [28]: 38).
وَ قَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِيْ صَرْحًا لَّعَلِّيْ أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ. أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلهِ مُوْسى وَ إِنِّيْ لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا
Dan berkatalah Fir‘aun: “Hai Hāmān, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Mūsā dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.
(QS. Ghāfir/al-Mu’min [40]: 19).
Para ulama menjelaskan bahwa dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas puncak ketinggian, di atas ‘Arsy, di atas langit berjumlah 1000-an atau bahkan 2000-an.
Al-Alūsī menjelaskan:
وَ أَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ إِثْبَاتُ الْفَوْقِيَّةِ للهِ تَعَالَى كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ الطَّحَاوِيُّ وَ غَيْرُهُ، وَ اسْتَدَلُّوْا لِذلِكَ بَنْحْوِ أَلْفِ دَلِيْلٍ.
“Dan engkau mengetahui bahwa madzhab-us-Salaf menetapkan ketinggian Allah s.w.t. sebagaimana disebutkan oleh Imām ath-Thaḥāwī dan yang selainnya, mereka berdalil dengan sekitar 1000 dalil.” (Lihat Tafsīr Rūḥ-ul-Ma‘ānī fī Tafsīr-il-Qur’ān-il-Azhīmi was-Sab‘-il-Matsānī, juz 5 halaman 263).
Ibn-ul-Qayyim-il-Jauziyyah menyatakan dalam salah satu sya‘irnya:
يَا قَوْمَنَا وَ اللهِ إِنَّ لِقَوْلِنَا | أَلْفًا تَدُلُّ عَلَيْهِ بَلْ أَلْفَانِ |
Wahai kaum kami, demi Allah, sesungguhnya pada ucupan kami (bahwa Allah berada di atas ‘Arsy) memiliki seribu dalil bahkan dua ribu-an (Tadzkirat-ul-Mu‘tasī syarḥu ‘Aqīdati ‘Abd-il-Ghanī karya Syaikh ‘Abd-ur-Razzāq bin ‘Abd-il-Muḥsin al-Badr (1/67).
Sekian banyaknya dalil itu dijabarkan oleh para ‘Ulamā’ dalam 20-an sisi pendalilan. Tiap sisi pendalilan memiliki sekian banyak dalil. Sisi-sisi pendalilan berikut contoh dalilnya tersebut salah satunya bisa ditemukan dalam Syarḥ-ul-‘Aqīdat-uth-Thahawiyyah karya Ibnu ‘Abd-il-‘Izz-il-Ḥanafī pada halaman 267-269.
Pada buku ini akan disebutkan 10 saja sisi pendalilan berikut dalilnya:
Pertama: Penyebutan “al-Fauqiyyah (ketinggian) Allah dengan kata penghubung “min”. Seperti dalam firman Allah:
وَ للهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ مِنْ دَآبَّةٍ وَ الْمَلآئِكَةُ وَ هُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ. يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِّنْ فَوْقِهِمْ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Dan milik Allah sajalah segala yang ada di langit dan di bumi berupa makhluk melata dan para Malaikat, dalam keadaan mereka tidaklah sombong. Mereka takut terhadap Rabb mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.
(QS. an-Naḥl [16]: 49-50).
Rasūlullāh s.a.w. menyatakan kepada Sa‘ad bin Mu‘ādz ketika Sa‘ad memberi keputusan terhadap Bani Quraizhah:
لَقَدْ حَكَمَ الْيَوْمَ فِيْهِمْ بِحُكْمِ اللهِ الَّذِيْ حَكَمَ بِهِ مِنْ فَوْقَ سَبْعِ سَموَاتٍ.
“Sungguh engkau telah menetapkan hukum pada hari ini dengan hukum Allah yang telah Allah tetapkan dengannya dari atas tujuh langit” (Diriwayatkan oleh al-Imām an-Nasā’ī dalam Manāqib-ul-Kubrā, Ibnu Sa‘ad dalam ath-Thabaqāt, ath-Thabrānī dalam Syarḥ-ul-Ma‘ānī, al-Imām al-Ḥākim dalam al-Mustadrak, al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar meng-ḥasan-kan hadits ini dalam Takhrīj-ul-Mukhtashar. Silakan dilihat penjelasan Syaikh Muḥammad Nāshir-ud-Dīn-il-Albānī dalam Silsilat-ul-Aḥādits-ish-Shaḥīḥah juz 6/556.)