Al-Lathif, al-Khabir, al-Halim, al-‘Azhim – Asma’-ul-Husna – Ibnu ‘Ajibah

Buku Saku
ASMĀ’-UL-ḤUSNĀ

 
Mengerti Ma‘na dan Penerapan
Nama-nama Indah Allah
Dalam Kehidupan Sehari-hari.
 
 
Diterjemahkan dari Tafsīr-ul-Fātiḥat-il-Kabīr
Karya: Ibnu ‘Ajībah al-Ḥusainī
 
Penerjemah: Zainal ‘Arifin
Penerbit: Zaman
 
(Diketik oleh: Ibu Zulma)

اللَّطِيْفُ

Al-Lathīf

(Mahalembut)

 

Ada beberapa pendapat mengenai ma‘na al-Lathīf, diantaranya: sangat sulit (khafi) untuk dipahami dan digapai, mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, dan pemberi maaf dari pintu-pintu yang tak masuk akal dan diluar dugaan. Semua ma‘na ini shaḥīḥ.

Ma‘na pertama merujuk pada sifat salbiyyah, makna kedua pada sifat ‘ilm-Nya, dan ma‘na ketiga pada sifat fi‘liyyah.

Orang yang mengetahui bahwa Allah sulit dijangkau dan dipahami, ia akan mengagungkan-Nya di hatinya sebagaimana mestinya. Orang yang mengetahui bahwa Allah itu mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, ia akan berhati-hati dalam bertindak dan percaya sepenuhnya pada ‘ilmu-Nya. Orang yang mengetahui bahwa Allah sanggup mendatangkan manfaat, ia akan berserah diri kepada-Nya dan tidak akan meminta apapun selain kepada-Nya.

Kelembutan Allah terhadap makhlūq-Nya tercermin dari banyak hal, di antaranya yang paling penting adalah dimudahkannya ketaatan dan kepatuhan, dipeliharanya ketauḥīdan dalam hati hingga disiapkannya hati menuju mukāsyafah (menyingkap tabir Allah), dijaganya akidah dari keraguan, dan diselamatkannya hati dari kebimbangan. Allah berfirman: Allah meneguhkan iman orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) dunia (Ibrāhīm [14]: 27).

= Ta‘alluq =

Memohon kepada-Nya supaya rahasia-rahasia Dzāt-Nya dan cahaya-cahaya sifat-Nya disingkapkan untukmu, dan itu dengan melembutkan dimensi-dimensi kemanusiaanmu dan menguasai cahaya spiritualitasmu. Ini pertama. Kedua, memohon kepada-Nya supaya kemaslahatan hamba-hambaNya terwujūd lewat perantara tanganmu. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah berfirman: “Beruntunglah orang yang Aku ciptakan untuk kebaikan, dan Aku jadikan kebaikan terwujud melalui tangannya.” (111)

= Takhalluq =

Fokus melembutkan sisi-sisi kemanusiaan dan memperkuat spritualitas sehingga semua wadah menjadi ikut lembut karena kelembutan isi dan nilai kandungannya. Ibn-ul-Fāridh menuturkan: “Kelembutan wadah pada hakikatnya bergantung pada kelembutan nilai-nilai kandungannya (isinya), nilai-nilai itulah yang meninggikan derajat wadah tersebut.”

Hal lain yang mesti dilakukan adalah fokus memperoleh pengetahuan atas rahasia-rahasia Dzāt-Nya dan cahaya-cahaya sifat-Nya, menolong orang yang membutuhkan, menunjuki orang yang tengah tersesat, membantu orang kesusahan, dan seterusnya.

= Taḥaqquq =

Memantapkan dan meneguhkan ketiga aspek sekaligus. Ta‘alluq adalah permohonan dan doa, takhalluq adalah upaya sekuat tenaga dan kesabaran, dan taḥaqquq adalah sampai kepada Allah (wushūl) dan menyaksikan Allah (musyāhadah). Rumus ini juga berlaku pada seluruh nama Allah yang lain. Wallāhu a’lam.

 

الْخَبِيْرُ

Al-Khabīr

(Maha Mengetahui Rahasia)

 

Ada beberapa pendapat ‘ulamā’ mengenai Al-Khabīr, di antaranya: mengetahui seluk-beluk dan hakikat segala sesuatu, atau yang memberitahukan dan mengabarkan segala sesuatu (al-mukhbir), atau yang memahami segala sesuatu (al-mukhtabir).

Orang yang mengetahui bahwa Allah adalah al-Khabīr, ia akan merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, bersih dari sikap pamer dan kepura-puraan, serta percaya penuh bahwa Allah akan menjamin rezekinya.

Dikisahkan seseorang berkata: “Aku ditimpa kemiskinan. Aku pun pergi menemui al-Khawwāsh. Saat pandangannya tertuju ke arahku, ia bertanya: “Apakah keinginanmu yang membuatmu mendatangiku itu diketahui oleh Allah atau tidak?” Aku menjawab: “Ya Allah mengetahuinya”. Ia kemudian berkata: “Jika begitu haturkanlah keinginanmu itu kepada Allah.” Aku langsung terdiam, lalu pergi pulang. Setibanya di rumah aku terkejut melihat limpahan rezeki yang membuatku sekeluarga dapat hidup berkecukupan.”

Dalam kisah lain, seorang laki-laki fakir di Baghdād mendapati istrinya melahirkan di malam hari. Ia berniat meminta bantuan dan pergi menemui Ma‘rūf al-Kharkhī yang tengah berada di dalam masjid. Setelah bertemu, ia mulai menceritakan keadaannya. Al-Kharkī berkata padanya: “Duduklah di sana.” Tak berselang lama, seseorang datang dari Dajlah dan menghampiri al-Kharkī. Ditemani pelayannya yang membawa sebuah bingkisan, pegawai istana itu lalu berkata: “Bendahara istana Khalīfah mengirim bingkisan uang dinar ini untuk engkau berikan kepada siapapun sekehendakmu.” Al-Kharkī menjawab: “Berikanlah uang ini kepada lelaki yang duduk di sana.” Pegawai istana itu menyahut: “Tetapi, ini 300 dinar,” seolah memprotes diberikannya uang sebanyak itu hanya kepada satu orang. Al-Kharkī pun berkata: “Itulah yang aku kehendaki.”

= Ta‘alluq =

Meminta kepada-Nya supaya menjadikanmu mengetahui seluk-beluk aibmu dan memohon ampunan atas dosa-dosamu.

= Takhalluq =

Berusaha memperoleh pengetahuan mendalam (khibrah) dalam segala urusan, baik keagamaan maupun keduniawian, baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan.

= Taḥaqquq =

Meneguhkan khibrah tersebut di dalam dirimu sehingga engkau memperoleh ḥujjah dari Tuhanmu atas apa yang engkau lakukan atau tinggalkan. Wallāhu a‘lam

 

الْحَلِيْمُ

Al-Ḥalīm

(Maha Penyantun)

 

Menurut sebagian ‘ulamā’, al-Ḥalīm berarti menunda penjatuhan hukuman bagi orang yang berhak menerimanya. Jadi, ma‘nanya adalah Allah Mahasuci dari ketergesa-gesaan. ‘Ulamā’ lain berpendapat, al-Ḥalīm berati kehendak menangguhkan penjatuhan hukuman. Jadi, al-Ḥalīm termasuk salah satu nafsiyyah Allah (bersifat kekal dan tetap ada pada Dzāt-Nya).

‘Ulamā’ mengatakan, kata al-Ḥalīm berasal dari akar kata ḥalumayaḥlumu. Adapun kata ḥulm atau ḥulum yang berarti mimpi berasal dari akar kata ḥalamayaḥlumu.

Orang yang mengetahui bahwa Allah itu al-Ḥalīm, ia akan percaya sepenuhnya akan kemurahan-Nya dan pengharapannya menjadi kuat terhadap para penentang Allah.

Dikisahkan, seorang lelaki berkisah pada seorang nabi: “Tanyakan pada Tuhanku, berapa banyak aku bermaksiat kepada-Nya dan menentang-Nya, namun Dia tidak menghukumku?!” Allah kemudian menurunkan wahyu kepada nabi itu: “Wahai nabi, katakan padanya bahwa Aku adalah Aku dan dia adalah dia.”

Terkadang Allah memberikan kemurahan (yaḥlum) pada waktu tertentu karena Dia Mahatahu apa yang terbaik.

Mālik ibn Dīnār mengisahkan: “Aku mempunyai seorang tetangga yang suka berbuat onar dan bertindak berlebihan. Orang-orang mengadukannya kepadaku. Kami lantas memanggilnya dan berkata: “Engkau harus pergi dari kota ini.” Ia menjawab: “Tidak. Aku takkan keluar dari rumahku ini.” Kami lalu bertanya: “Maukah engkau menjual rumahmu?” “Tidak, aku takkan menjual rumahku dan kalian takkan bisa mengeluarkanku dari sini,” jawabnya. Kami berkata: “Jika begitu, kami akan mengadukanmu kepada sultan.” Ia malah menjawab: “Silahkan saja. Sang sultan sudah mengenalku dan aku termasuk orang kepercayaannya.” Kami akhirnya berkata: “Baiklah. Kami akan mendoakanmu ditimpa keburukan.” Ia menjawab: “Silakan saja. Allah lebih menyayangiku daripada kalian.” Jawab-jawaban tetanggaku ini membuatku marah. Malam pun tiba. Seusai sholat malam, aku berniat mendoakan tetanggaku itu agar ditimpa keburukan. Tetapi, sebelum aku berdoa, tiba-tiba sebuah suara berseru: “Jangan ganggu dirinya, karena ia salah satu wali (kekasih) Allah.””

Mālik ibn Dīnār melanjutkan: “Ketika terbangun dari tidur, aku mendatangi rumahnya dan langsung mengetuk pintu. Ia keluar dan melihatku, mengira bahwa aku datang untuk mengusirnya dari kota. Ia pun mengucapkan beberapa kalimat seolah tengah mengemukakan alasan. Tetapi, aku menyela dan berkata: “Aku datang bukan untuk mengusirmu. Tetapi, tadi malam aku mendengar begini dan begitu.” Mendengar perkataanku, ia seketika menangis sembari berkata: “Aku akan bertobat setelah ini”. Ia lalu pergi meninggalkan kota dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu. Beberapa waktu kemudian, saat aku menunaikan ‘ibādah haji ke tanah suci, aku melihat sebuah halaqah di Masjidil Haram. Ketika aku mendekat, aku melihat pemuda tetanggaku itu tengah terlunta-lunta. Tak lama berselang, orang-orang berkata, ‘Pemuda itu telah meninggal dunia.”

= Ta‘alluq =

Meminta cucuran kemurahan dan kesantunan-Nya dengan menyudahi perbuatan buruk, menyebarkan perbuatan baik, mensyukuri karunia ciptaan-Nya, dan kembali kepada-Nya sebelum Dia melaksanakan ketetapan hukuman-Nya.

= Takhalluq =

Mengampuni pelaku kejahatan dan memaafkan perbuatan mereka, atau bahkan membalas mereka dengan kebaikan sebagai bentuk konkret atas kesantunan dan pengampunan. Sifat seperti ini pernah ditunjukkan oleh al-Aḥnāf ibn Qays di banyak kesempatan. Ia pernah diberi tahu budaknya bahwa mata anaknya telah buta akibat ulah tetangganya. Bukannya marah, ia malah berkata kepada budaknya itu: “Engkau merdeka sekarang.”

Al-Aḥnāf ibn Qays juga pernah dibodoh-bodohkan oleh seorang lelaki, tetapi ia tetap diam dan tidak memedulikannya hingga orang itu berkata: “Engkaulah yang kumaksud.” Al-Aḥnāf kemudian menimpali: “Aku sudah memaafkanmu.”

Pada kesempatan lain, saat dimaki-maki oleh seseorang, al-Aḥnāf malah berkata: “Jika masih ada makian yang belum engkau katakan, katakanlah sekarang sebelum orang-orang bodoh dari kaumku mendengar makianmu, lalu mereka menyakitimu.”

Pada kisah lain disebutkan, saat seseorang tengah bersama anaknya yang masih kecil, pelayan perempuannya datang membawakan daging bakar yang telah dicocokkan pada tusuk-tusuk besi. Tusuk-tusuk besi tersebut kemudian terlepas dari tangan si pelayan dan jatuh menimpa kepala si anak hingga berdarah.  Si pelayan pun berkata pada tuannya: “Tuanku, Allah berfirman:… dan orang-orang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain (Āli ‘Imrān [3]: 134).” Tuannya menimpali: “Aku sudah memaafkanmu.” Si pelayan berkata lagi, “Allah berfirman: Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (Āli ‘Imrān [3]: 134).” Tuannya lalu berkata: “Engkau merdeka sekarang semata-mata karena keinginanku untuk mencari keridaan Allah.” Masih banyak lagi kisah lain yang menunjukkan makna serupa.

= Taḥaqquq =

Setelah jiwa (nafs) seseorang mati, pujian dan celaan akan sama baginya, juga perbuatan baik dan buruk yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia akan mendoakan kebaikan untuk orang yang menyakitinya sampai orang itu bertobat kepada Allah dan perbuatannya dibalas sendiri oleh Allah. Hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.

 

الْعَظِيْمُ

Al-‘Azhīm

(Mahaagung)

 

Dilihat dari sisi kebahasaan, al-‘Azhīm sebagai salah satu nama Allah memiliki dua kemungkinan makna: keagungan Dzāt-Nya yang merujuk kuantitas bagian, atau keagungan kuasa dan keluhuran sifat.

Ma‘na pertama mustaḥīl disematkan pada Allah, ya‘ni merujukkan keagungan pada kuantitas bagian. Pasalnya, keagungan Allah itu satu, tidak terbagi dan terpisah-pisahkan, mendahului segala sesuatu dan tetap ada (kekal) setelah segala sesuatu, meliputi segala sesuatu, tidak terjangkau oleh segala sesuatu, tidak dapat dipahami oleh setiap orang, tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, dan hakikatnya tidak dapat dijangkau bahkan oleh pemikiran ahli ma‘rifat sekalipun.

Orang yang mengetahui bahwa Allah itu al-‘Azhīm, segala sesuatu akan tampak kecil oleh matanya, kecuali orang yang senantiasa mengagungkan-Nya.

= Ta‘alluq =

Engkau kembali kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri dan tidak menganggap besar kuasa atau kemampuanmu, yaitu dengan cara meniti jalan orang-orang shāliḥ dan terus meningkatkan himmah-mu (kemauan keras untuk bisa sampai kepada-Nya) hingga mencapai derajat ahli ma‘rifat.

= Takhalluq =

Menganggap besar segala sesuatu yang sifatnya tercela, berprilaku dengan prilaku mulia, kemudian menghilangkan ketergantungan atas semua makhlūq dan merasa cukup dengan Tuhan semesta alam.

Jika engkau dibuat lapar oleh celaan orang-orang
Cukuplah keberterimaan (kanaah) membuatmu kenyang
Jadilah orang yang kakinya berpijak di tanah
Tetapi memiliki cita-cita yang menggantung di bintang Tsurayya

= Taḥaqquq =

Mengganti sifat dengan sifat, perbuatan dengan perbuatan, akhāq dengan akhlāq , hingga seluruh sifat nista terhapus dari dirimu dan seluruh sifat terpuji menghiasi dirimu. Setelah itu, engkau baru bisa mengagungkan kemampuanmu dengan-Nya hingga engkau tidak lagi memiliki keterpisahan hubungan (nisbah) dengan keagungan-Nya (keagunganmu sudah menyau dengan keagungan-Nya). Wallāhu a‘lam

Catatan:

  1. 11). Redaksi hadits seperti ini tidak bisa kami temukan pada sejumlah sumber dan referensi yang kami miliki. Hanya saja, ma‘nanya sama seperti hadits-hadits lain dari redaksi serupa, di antaranya: “Di antara manusia ada yang menjadi kunci pembuka kebaikan, ada pula yang menjadi penutup keburukan. Ada yang menjadi kunci pembuka keburukan, ada pula yang menjadi penutup kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah jadikan tangannya kunci pembuka kebaikan, dan celakalah orang yang Allah jadikan tangannya kunci pembuka keburukan.” Redaksi ini disebutkan oleh al-Thayālisī di Musnad-nya (hlm. 27) dari riwayat Anas ibn Mālik.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *