Al-Halim (Orang yang Sabar dan Murah Hati) dan Para Penolongnya – Al-Hilm – Ibnu Abid-Dunya

MENJINAKKAN MARAH DAN BENCI
NASIHAT-NASIHAT TENTANG KESABARAN DAN MURAH HATI

 
Diterjemahkan dari al-Hilm
Karya Ibnu Abid-Dunya
 
Penerjemah: Nani Ratnasari
Penyunting: Toto Edidarmo
 
Penerbit: AL-BAYAN MIZAN

الحليم وأعوانه

Al-Ḥalīm (Orang yang Sabar dan Murah Hati) dan Para Penolongnya.

12 – حدثني الحسين بن عبد الرحمن، ذكر عبد الله بن صالح، عن مسلم العجلي، قال: قال علي بن أبي طالب: «أول عوض الحليم من حلمه أن الناس كلهم أعوانه على الجاهل»

Ḥusain ibn ‘Abd-ur-Raḥmān meriwayatkan dari ‘Abdullāh ibn Shāliḥ, dari Muslim al-‘Ajalī berkata, bahwa ‘Alī bin Abī Thālib (1) berkata: “Hasil pertama yang akan didapatkan dari sifat ḥilm (sabar dan murah hati) adalah keyakinan bahwa semua orang akan menjadi penolongnya dalam menghadapi orang-orang jahil.” (2)

13 – حدثنا أحمد بن جميل، أنا عبد الله بن المنهال، أنا معمر، عن جعفر بن برقان، قال: قال معاوية: «لا يبلغ الرجل مبلغ الرأي حتى يغلب حلمه جهله وصبره شهوته، ولا يبلغ ذلك إلا بقوة الحلم»

Aḥmad ibn Jamīl menceritakan dari ‘Abdullāh ibn Minhāl, dari Mu‘ammar, dari Ja‘far ibn Barqān. Mu‘āwiyah (3) berkata: “Seseorang tidak akan punya pemikiran yang matang sebelum sifat murah hati mengalahkan sifat jahil (4) dan kesabaran mengalahkan syahwatnya. (5). Semua itu dapat dicapai dengan kekuatan ḥilm (pengendalian emosi yang membuahkan sifat murah hati).”

14 – حدثنا محمد بن حميد، نا عبد الله بن المنهال، أنا حبيب بن حجر القيسي، قال: كان يقال: «ما أضيف شيء إلى شيء مثل حلم إلى علم»

Muḥammad ibn Ḥumaid meriwayatkan dari ‘Abdullāh ibn Manhāl, Ḥabīb ibn Ḥajar al-Qaisī berkata: “Tidak ada sinergi positif yang lebih baik melebihi sinergi kecerdasan emosional (ḥilm) dan kecerdasan intelektual (‘ilm).” (6)

15 – حدثنا الحسن بن عبد العزيز، عن ضمرة بن ربيعة، عن رجاء بن أبي سلمة قال: «الحلم أرفع من العقل؛ لأن الله تعالى تسمى به»

Dari Ḥasan ibn ‘Abd-uil-‘Azīz, dari Dhumrah ibn Rabī‘ah, Rajā’ ibn Abī Salamah (7) berkata: “Derajat murah hati (ḥilm) lebih tinggi daripada derajat akal karena Allah menamai dirinya dengan sifat ḥilm (al-Ḥalīm).” (8)

16 – حدثني إبراهيم بن عبد الله، نا سنيد بن داود، ذكر حجاج بن محمد، عن عقبة بن سنان، قال: قال أكثم بن صيفي: «دعامة العقل الحلم، وجماع الأمر الصبر، وخير الأمور العفو»

Dari Ibrāhīm ibn ‘Abdullāh, dari Sanīd ibn Dāūd, dari Ḥajjāj ibn Muḥammad, dari ‘Uqbah ibn Sinān, Aktsam ibn Shaifī berkata: “Yang mengendalikan akal adalah murah hati (ḥilm), akhir dari suatu urusan adalah sabar, dan sebaik-baik perbuatan adalah memaafkan.” (9).

17 – حدثني عبد الرحمن بن صالح الأزدي، نا يزيد بن هارون، عن حماد بن سلمة، عن أبي جعفر الحطمي، أن جده عميرا، وكانت له صحبة أوصى بنيه: «يا بني إياكم ومجالسة السفهاء، فإن مجالستهم دناءة من يحلم على السفيه يسر، بحلمه ومن يجبه يندم ومن يصبر على ما يكره يدرك ما يحب، وإذا أراد أحدكم أن يأمر بالمعروف، وينهى عن المنكر فليوطن نفسه على الصبر على الأذى ويثق بالثواب من الله فإن من وثق بالثواب لم يجد مس الأذى»

Dari ‘Abd-ur-Raḥmān ibn Shāliḥ al-Azdī, dari Yazīd ibn Hārūn, dari Ḥammād ibn Salamah, dari Abū Ja‘far al-Ḥathamī bahwa kakeknya yang bernama ‘Umair mempunyai teman yang menasihati putranya: “Wahai anakku, janganlah kamu duduk dengan orang-orang yang bodoh karena tempat duduk mereka adalah rendah. Siapa yang bersikap sabar atas perlakuan buruk yang ia terima, niscaya ia akan bahagia (memiliki banyak kawan yang menolongnya). Sebaliknya, jika membalas dengan perbuatan buruk, ia akan menyesal. Siapa yang bersabar atas sesuatu yang ia benci, niscaya ia akan mendapatkan yang ia sukai. (10) Jika kamu bertujuan untuk amar ma‘ruf nahi munkar, hendaklah kamu memantapkan diri untuk bersabar atas gangguan dan perilaku yang menyakitkan. (11) Yakinilah kepastian pahala dari sisi Allah. Sebab, siapa yang yakin tentang pahala-Nya, ia tidak akan menghiraukan gangguan dari perilaku yang menyakitkan tersebut.” (12)

18 – أنشدني أبو سعيد المدني، أنشدني عبيد بن أبي الحليل: وإني لأترك عور الكلام لئلا أجاب بما أكره وأغضي على الكلم المحفظا ت وأحلم والحلم بي أشبه فلا تغترر برواء الرجا ل وما زخرفوا لك أو موهوا فكم من فتى يعجب الناظريـ ن له ألسن وله أوجه ينام إذا حضر المكرما ت وعند الدناءة يستنبه

Abū Sa‘īd al-Madanī melantunkan sebuah nasyid untukku dari ‘Ubaid ibn Abul-Ḥalīl:
Aku akan meninggalkan perkataan buruk
Agar aku tidak mendapatkan yang kubenci
Aku akan memelihara perkataan yang terjaga
Aku akan bersikap sabar atau berusaha untuk sabar
Jangan tertipu oleh wajah dan penampilan orang
Bisa saja di balik itu ia menipu
Atau bahkan memukulmu dengan keras
Banyak pemuda yang membuat kagum orang yang memandang
Karena perkataan dan wajah tampannya
Padahal di balik itu ia tidur di kala datang kemuliaan

Dan terbangun di kala datang kehinaan. (13)

19 – حدثنا علي بن الجعد، أنا المبارك بن فضالة، عن الحسن، في قوله تعالى «(يمشون على الأرض هونا (1) ) قال: »الهون في كلام العرب اللين والسكينة والوقار«
__________
(1) سورة: الفرقان آية رقم: 63

Dari ‘Alī ibn al-Ja‘d, dari Mubārak ibn Fadhālah, dari al-Ḥasan tentang firman Allah s.w.t.,…. berjalan di muka bumi dengan rendah hati (yamsyūna ‘alal-ardhi haunan) (al-Furqān [25]: 63). Al-Ḥasan mengatakan, kata al-haun dalam bahasa ‘Arab mempunyai arti lemah lembut, tenang (sakīnah), (14) dan mantap.

20 – حدثني محمد بن عباد بن موسى، أنا عمي، خليفة بن موسى، عن الشرقي بن القطامي، قال قال الأفوه بن مالك الأزدي: «الحلم معجزة عن الغيظ، والفحش (1)، من العي (2)، والعي مهدمة للثناء ومن خير ما ظفر به الرجال اللسان الحسن وفي ترك المراء (3) راحة البدن»
__________
(1) الفحش: القبح والخروج عن الحد المعقول في القول أو الفعل والعدوان في الجواب
(2) العي: العجز عن التعبير اللفظي بما يفيد المعنى المقصود
(3) المراء: المجادلة على مذهب الشك والريبة

Dari Muḥammad ibn ‘Ibād ibn Mūsā, dari Khalīfah ibn Mūsā, dari asy-Syarqī ibn al-Qathāmī, ‘Afwah ibn Mālik al-Azdī berkata: “Murah hati (ḥilm) dapat mengalahkan kemarahan (15) dan jahatnya perkataan kotor yang membinasakan sanjungan. Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu menjaga lisannya dengan baik (16) dan menghindari perdebatan.” (17).

Penjelasan:

(1). ‘Alī ibn Abī Thālib (w. 40 H) adalah anak paman Rasūlullāh s.a.w., suami Fāthimat-uz-Zahrā’, putri Rasūlullāh s.a.w., dan ayah dari Ḥasan dan Ḥusain. Dia adalah orang pertama yang masuk Islam dari golongan anak-anak. Dia tidur di atas tempat tidur Rasūlullāh s.a.w. pada malam peristiwa hijrah. Dia seorang cerdas dan ber‘ilmu yang menjadi khalīfah keempat. Biografi lengkapnya dapat dibaca dalam Ḥilyat-ul-Auliyā’, juz 1, h. 61; Shafwat-ush-Shafwah, juz 1, h. 308; dan sebagian besar buku-buku sīrah.

(2). Seorang yang murah hati (ḥalīm) akan menemukan banyak penolong dari orang-orang baik. Adapun orang-orang keji, suka berkata kotor, dan durhaka kepada Allah tidak akan mendapatkan apa-apa selain doa kejelekan dan dijauhi oleh banyak orang karena keburukan-keburukan yang dia lakukan.

Wahai hamba Allah, berusahalah untuk menjadi orang yang sabar dan murah hati (ḥulamā’) dan janganlah menjadi orang-orang jahil (juhalā’) yang dibenci oleh banyak orang.

(3). Mu‘āwiyah adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal karena sikap murah hatinya.

(4). Abū Ḥātim al-Bastī berkata: “Tidak ada suatu hubungan yang lebih baik melebihi baiknya hubungan murah hati (ḥilm) dan ilmu, dan tidak ada sesuatu yang lebih keji daripada hilangnya murah hati pada orang yang berilmu. Kalaulah dalam ‘ilmu terdapat dua jarak, pastilah salah satunya adalah akal dan yang keduanya adalah diam. Kadang-kadang orang yang berakal tidak bersikap murah hati terhadap orang yang ia benci dan ia tidak merasa puas hanya dengan memaafkannya. (Raudhat-ul-‘Uqalā’, h. 213).

(5). Kesabaran adalah kekuatan seorang hamba yang dapat mengalahkan syahwatnya dan berpegang teguh kepada hati nurani.

(6). Seperti pendapat Abū Ḥātim al-Bastī: “Tidak ada sinergi yang lebih baik melebihi sinergi murah hati (ḥilm) dan ilmu, karena orang yang murah hati akan tahu kapan ia pantas menunjukkan kemurahannya di hadapan orang jahil dan kapan ia harus membenci yang dilarang oleh Allah s.w.t. Sifat murah hati merupakan sesuatu yang positif karena membawa kemaslahatan bagi individu dan sekaligus masyarakat luas.

Perhatikanlah wahai Saudaraku, di antara orang yang dikenal kedermawanan dan kemurahhatiannya pada situasi yang menuntut kemarahan adalah ‘Alī ibn Ḥusain, yang terkenal dengan sebutan Zain-ul-‘Ābidīn. Ketika ia sedang duduk bersama pengikut-pengikutnya dan orang-orang yang ia cintai, seorang laki-laki mendatanginya. Laki-laki itu mencacinya dan mengatakan hal-hal yang jelek dan tercela. Sedangkan ‘Alī ibn Ḥusain tidak menjawab sedikit pun sampai laki-laki itu selesai mencaci dan mengeluarkan kemarahan dalam hatinya. Setelah itu, Zain-ul-‘Ābidīn ‘Alī ibn Ḥusain berkata: “Wahai saudaraku, jika keadaanku sebagaimana yang kau katakan, semoga Allah mengampuniku. Namun, jika aku tidak seperti itu, semoga Allah mengampunimu.” Kemudian, laki-laki itu menunduk sambil menangis. Perhatikanlah Saudaraku, bagaimana Zain-ul-‘Ābidīn mengetahui sikap yang tepat untuk mengendalikan emosinya.

(7). Lihat biografinya dalam Ḥilyat-ul-Anliyā’, juz 16, h. 91.

(8). Abū Ḥātim al-Bastī berkata: “Keagungan dan ketinggian sifat murah hati adalah karena Allah menyebutkan nama-Nya dengan sifat ini. Dia juga tidak menamai seseorang dengan sifat ini (ḥilm) dalam al-Qur’ān kecuali Nabi Ibrāhīm dan Isḥāq. Aku berpendapat demikian, meskipun Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah berkeyakinan bahwa yang disembelih adalah Ismā‘īl, bukan Isḥāq.”

Syaikh Ḥāmid al-Faqqī berkata: “Sungguh hal yang mengherankan apa yang dikatakan oleh Ibn Ḥibbān, yakni Abū Ḥātim dan yang lainnya mengatakan bahwa yang disembelih adalah Isḥāq tanpa memberi alasan yang jelas. Ia juga tidak menghiraukan ayat-ayat al-Qur’ān (ash-Shāffāt [37]: 109-113) yang secara khusus menjelaskan ayat itu, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Katsīr dan al-Qurthubī dalam tafsirnya.”

(9). Maksud memaafkan adalah engkau membiarkan hak-hakmu terhadap orang lain yang bersifat materi, misalnya tidak membalas dengan perbuatan yang serupa. Perbuatan memaafkan juga disebutkan dalam firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘rūf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (al-A‘rāf [7]: 199), dan, Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwā (al-Baqarah [2]: 237).

Di antara pendapat salaf shāliḥ tentang perbuatan memaafkan:

Ibu ‘Umar berkata: “Allah menyeru pada hari kiamat: “Siapa saja yang memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan di hadapan Allah, hendaklah dia berdiri.” Maka, orang-orang yang pemaaf berdiri. Kemudian, Allah membalas mereka dengan balasan yang baik.”

Ibn Mas‘ūd memiliki beberapa dirham yang dicuri. Orang-orang hendak mencari pencuri dirham tersebut. Ibn Mas‘ūd mencegah mereka dan berkata: “Jika motif pencurian itu adalah terdorong oleh kebutuhan, biarkanlah uang itu untuknya; jika orang itu melakukannya karena dosa, jadikanlah ini sebagai dosa yang terakhir.”

Mu‘āwiyah ibn Abū Sufyān berkata: “Jika dimungkinkan kalian wajib bersikap sabar dan murah hati (ḥilm), kalian memiliki kesempatan yang baik, yaitu sikap memaafkan kesalahan orang.”

‘Umar ibn ‘Abd-ul-‘Azīz berkata: “Ada tiga hal yang paling dicintai Allah, yaitu memaafkan kesalahan orang, bersungguh-sungguh dalam ber‘amal, dan beribadah sesuai dengan ‘ilmunya. Tidaklah seseorang berbuat baik terhadap orang lain di dunia melainkan Allah akan menyayangi ia pada hari kiamat.”

Abū Ḥātim al-Bastī berkata: “Seorang yang cerdas wajib melatih diri untuk memaafkan kesalahan orang dan berusaha memperbaikinya agar tidak terulang keburukan serupa.”

Manshūr ibn Muḥammad al-Karizī berkata: “Aku akan selalu memaafkan orang yang berbuat salah kepadaku.”

(10). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah s.w.t.: Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cari (cintai – tuḥibbun – Sy. Ḥusain) (Āli ‘Imrān [3]: 92). Nafsu tidak menyukai berinfak dengan barang yang dicintai karena ia merasa memilikinya. Namun, hati yang murah selalu mencari kebaikan dan suka memberikan apa yang ia cintai.

(11). Amar ma‘rūf nahi munkar adalah suatu cara untuk menghadapi orang yang selalu menyebarkan kejahatan dan kebencian. Jika orang yang melakukan amar ma‘rūf nahi munkar tidak pernah diuji oleh gangguan dan kejahilan, ia terkadang tidak sabar atas gangguan tersebut. Oleh karena itu, sering terjadi orang yang menyeru amar ma‘rūf meninggalkan nahi munkar.

(12). Keyakinan terhadap pahala dari Allah akan meringankan seseorang yang sedang mendapat banyak cobaan. Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. bisa dijadikan contoh. Mereka senantiasa berkorban dengan jiwa dan harta karena mereka yakin adanya pahala dari Allah.

(13). Bangun di kala kehinaan atau sadar setelah kehancuran adalah sikap yang tidak layak dimiliki oleh orang berakal. Sebab, orang berakal semestinya memiliki tujuan terencana dalam hidupnya.

‘Abd-ul-‘Azīz ibn Sulaimān al-Abrasy berkata: “Jagalah lisanmu jika bertemu dengan orang yang suka mencaci; janganlah engkau berjalan dengan orang yang keji dan hina. Siapa saja yang menukar kehormatan dengan barang yang tercela, ia akan memperoleh penyesalan sepanjang ia tidak membuangnya.”

(14). Imām Ibn Qayyim menjelaskan keutamaan sakinah: “Sakīnah yang melekat dalam hati akan membuatnya tenteram, badan menjadi tenang, khusyuk, dan mantap. Lisan akan bicara dengan benar dan bijaksana. Dan, orang yang merawatnya akan terhalang dari berkata hina, berbuat keji, sia-sia, dan tidak berguna.”

Ibn ‘Abbās r.a. berkata: “Saya melihat sakinah terdapat dalam lisan dan hati ‘Umar r.a., yakni ketika beberapa pendapatnya sesuai dengan firman Allah s.w.t.”

(15). Maksudnya, murah hati (ḥilm) menjadi benteng yang menghalangi manusia berbuat maksiat, misalnya memarahi orang lain atau membencinya. Murah hati adalah kekuatan untuk menghadapi setan yang senantiasa memasukkan kemarahan dalam hati.

Muḥammad ibn ‘Ajlān berkata: “Tidak ada lawan yang paling tangguh bagi setan melebihi orang ber‘ilmu yang memiliki kesabaran dan murah hati (ḥilm). Sebab, jika orang ber‘ilmu bicara, ia berbicara dengan ‘ilmunya. Jika diam, ia diam dengan kesabaran dan kemurahhatian yang ada dalam dirinya. Setan mengatakan: “Diamnya orang ‘ālim yang murah hati lebih memberatkan bagiku daripada bicaranya.”

(16). Maksudnya, tutur bahasa yang baik dan sopan dapat mengeratkan pergaulan antara sesama manusia dan menumbuhkan cinta di antara mereka.

(17). Di antara hal-hal yang dilarang Islam adalah perdebatan yang disertai dengan celaan dan hujatan. Perdebatan yang sengit sering menimbulkan kebencian dan kedengkian. Oleh karena itu, Nabi s.a.w. melarang perdebatan seperti itu: “Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah mereka mendapat petunjuk, melainkan orang-orang yang suka melakukan perdebatan disertai cacian dan hinaan.”

Bilāl ibn Sa‘ad berkata: “Jika engkau melihat seseorang yang keras kepala dalam perdebatan karena pendapatnya ingin dikagumi, orang itu akan merugi.”

Ibn Abī Lailā berkata: “Aku tidak ingin berdebat dengan temanku, baik dengan mendustakannya maupun membencinya. Ketahuilah, Saudaraku, perdebatan merupakan kebohongan-kebohongan lisan yang sangat banyak.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *