Al-Ghafur, asy-Syakur, al-‘Aliyy, al-Kabir, al-Hafizh – Asma’-ul-Husna – Ibnu ‘Ajibah

Buku Saku
ASMĀ’-UL-ḤUSNĀ

 
Mengerti Ma‘na dan Penerapan
Nama-nama Indah Allah
Dalam Kehidupan Sehari-hari.
 
 
Diterjemahkan dari Tafsīr-ul-Fātiḥat-il-Kabīr
Karya: Ibnu ‘Ajībah al-Ḥusainī
 
Penerjemah: Zainal ‘Arifin
Penerbit: Zaman
 
(Diketik oleh: Ibu Zulma)

الْغَفُوْرُ

Al-Ghafūr

(Maha Pengampun)

Kata “al-Ghafūr” (Yūnus [10]: 107) merupakan bentuk mubālaghah dari kata al-ghufrān. Ma‘nanya sama dengan al-Ghaffār. Hanya saja, al-Ghaffār berma‘na umum, sementara al-Ghafūr menekankan banyaknya objek yang diampuni atau banyaknya pengampunan-Nya.

Menurut sebagian ‘ulamā’, maghfirah (ampunan) berasal dari kata ghufr, yaitu tanaman yang dapat langsung menyembuhkan luka bila diletakkan di atasnya. Jadi, maghfirah berarti menyembuhkan luka dosa sebagaimana tanaman tersebut yang menyembuhkan luka fisik. Menurut ‘ulamā’ lain, maghfirah berasal dari kata lain mighfar, yaitu sejenis topi yang dijadikan pelindung kepala saat perang. Karenanya, maghfirah berarti menutupi dosa.

Orang yang mengetahui bahwa Allah itu al-Ghafūr yang tidak pernah menganggap besar dosa apapun (selain syirik), ia akan memperbanyak istighfār (memohon ampunan). Bila ia menyertai istighfār dengan inkisār (berhenti melakukan perbuatan dosa) maka istighfārnya dianggap shaḥīḥ. Namun, bila ia menyertainya dengan tobat, isighfārnya telah sempurna. Tetapi, bila istighfārnya tanpa disertai kedua hal di atas, istighfārnya dianggap bāthil alias sia-sia.

= Ta‘alluq =

Terus menerus beristigfār, disertai sikap merendahkan diri di hadapan-Nya dan berhenti melakukan perbuatan dosa lagi.

= Takhalluq =

Mengampuni orang-orang yang berbuat jahat dan mengampuni mereka. Inilah kunci yang membuka ampunan Allah. Allah berfirman: dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bila Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (an-Nūr [24]: 22)

Bila terhadap orang-orang yang tidak beriman saja Allah menganjurkan kita untuk memberikan maaf, apalagi terhadap orang yang beriman. Allah berfirman: Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari Allah (hari kiamat) (al-Jātsiyah [45]: 14).

= Taḥaqquq =

Meng-ghaybah-kan diri (melenyapkan) dari jiwa (nafs) sampai engkau tidak lagi menguasai dirimu sendiri.

Bahkan Allah akan merahmati musuh-musuhmu lewat perantara dirimu dan mengampuni mereka melalui keberkahan darimu. Wallāhu a‘lam.

 

 

الشَّكُوْرُ

Asy-Syakūr

(Maha Penerima Syukur)

 

Menurut sebagian ‘ulamā’, asy-Syakur adalah sifat kiasan dari perbuatan bersyukur. Menurut ulama lain, asy-Syakūr berarti memberikan kenikmatan yang banyak atas ketaatan (‘amal) yang sedikit. Beberapa syaikh mengatakan, asy-Syakūr berasal dari kata asy-syukr, yaitu menampakkan hakikat kebajikan melalui perkataan atau perbuatan.

Orang yang mengetahui bahwa Allah itu asy-Syakūr, ia akan mensyukuri ni‘mat-Nya, meniti jalan ketaatan kepada-Nya, mencari rahmat-Nya, dan bersaksi atas anugerah-Nya.

= Ta‘alluq =

Memohon taufīq dan hidāyah-Nya untuk merealisasikan rasa syukur, yaitu lewat penggunaan anggota-anggota tubuh yang tampak dan yang tak tampak di jalan rida Allah. Hal itu dilakukan untuk meggenggam yang sudah ada dan memburu yang hilang, karena syukur menjamin pertambahan. Allah berfirman: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan Aku tambahkan (ni‘mat) kepadamu (Ibrāhīm [14]: 7).

= Takhalluq =

Mensyukuri kebaikan yang telah dikaruniakan-Nya kepadamu dengan menjalankan seluruh kewajiban yang telah diperintahkan-Nya dan terus mengingat kebaikan-Nya lewat dzikir. Di samping itu, engkau harus mensyukuri kebaikan hamba-Nya dengan memberikan balasan berupa kebaikan yang serupa atau lebih banyak. Siapa saja yang tidak mensyukuri ni‘mat yang sedikit maka ia juga tak akan mensyukuri ni‘mat yang banyak, dan siapa saja yang tidak mau bersyukur kepada orang lain maka Allah takkan bersyukur kepadanya.

Hakikat syukur adalah kegembiraan hati terhadap Sang Pemberi ni‘mat atas ni‘mat-Nya, lalu hal itu mewujud pada bentuk perbuatan anggota tubuh melalui pelayanan (khidmat) terhadap-Nya. Bentuk konkretnya, engkau tidak bermaksiat kepada-Nya dengan ni‘mat-Nya. Setelah itu, Allah menjadi tujuan perjalananmu sebagai sumber keselamatan, ketenangan, dan kesejahteraan. Hakikat syukur seperti inilah yang al-Qur’ān ungkapkan dimiliki oleh setiap orang yang sempurna, seperti Ibrāhīm, Nūḥ, dan orang-orang mu’min besar lainnya.

Syaithān berkata: Dan engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (al-A‘rāf [7]: 17). Allah kemudian membalas dengan berfirman: Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Āli ‘Imrān [3]: 145) dan Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (Saba’ [34]: 13). Sedikitnya hamba yang bersyukur adalah karena syukur merupakan keluar dari segala sesuatu dan mengembalikan segala sesuatu kepada Allah pemilik segalanya. Segala sesuatu dinisbahkan kepada pemilik-Nya dan digunakan sesuai perintah-Nya.

= Taḥaqquq =

Mem-fanā’-kan diri dari syukurmu dengan syukur-Nya sampai kepada engkau menjadi orang yang bersyukur kepada-Nya kerena-Nya, bukan karena selain-Nya. Tanda-tandanya, engkau menggenggam nikmat dari-Nya, lalu mengembalikannya lagi kepada-Nya tanpa melalaikan apa yang digenggam atau berlebih-lebihan dalam mengembalikannya. Hanya kepada Allahlah kita memohon petunjuk.

 

 

الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ

Al-‘Aliyy, Al-Kabīr

(Mahatinggi, Mahabesar)

 

Kata “al-‘Aliyy” (al-Baqarah [2]: 255) berarti dzāt, sifat, dan perbuatan-Nya mahatinggi dari kemampuan akal (tak dapat dijangkau akal).

Orang yang mengetahui bahwa Allah adalah al-‘Aliyy melebihi segala sesuatu – maksudnya kedudukan dan keluhurun-Nya – ia akan mematri himmah – nya hanya untuk mencari ridhā Allah semata, kemudian menggantungkan kondisi-kondisi rohaninya (aḥwāl) hanya kepada-Nya.

= Ta‘alluq dengan nama al-‘Aliyy =

Memohon kepada-Nya supaya himmah-mu sampai kepada-Nya dan pilihanmu bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Akhirnya, engkau takkan lagi memilih dunia dan akherat. Pilihanmu hanya sampai kepada ridhā-Nya. Engkau juga takkan menggantungkan diri dalam semua aḥwāl – mu kecuali kepada-Nya.

= Takhalluq =

Mengarahkan diri pada perkara-perkara luhur dan mulia. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sungguh Allah menyukai perkara-perkara yang tinggi dan luhur, dan membenci perkara-perkara yang rendah dan buruk.” (121) Diriwayatkan bahwa ‘Alī pernah berkata: “Kuatnya tekad dan kemauan adalah bagian dari keimanan.

= Taḥaqquq =

Naik lebih tinggi dari alam fisik (alam asybāḥ) ke alam metafisik (alam arwāḥ) sehingga rūḥmu melangit dan dirimu tetap membumi. Rūḥmu menjadi malakūt, dan jiwamu menjadi malakūt. Sehingga dengan itu kemampuanmu menjadi tinggi dan urusanmu menjadi agung. Hanya kepada Allah kita memohon taufīq.

Adapun al-Kabīr (al-Ra‘d [13]: 9) memiliki ma‘na yang sama dengan al-‘Azhīm. Menurut sebagian ‘ulamā’, al-Kabīr berarti mengecilkan segala sesuatu di hadapan kesombongan-Nya dan menistakan segala sesuatu di hadapan kekuasaan-Nya.

Orang yang mengetahui kesombongan-Nya akan lupa dengan kesombongan dirinya. Tidak ada lagi tuntutan yang akan dikemukakannya.

= Ta‘alluq dengan nama al-Kabīr =

Membalas kesombongan-Nya dengan sikap tawādhu‘ dan rendah diri di hadapan-Nya. Siapa saja yang bersikap rendah diri maka Allah akan mengangkat derajatnya, dan siapa saja yang bersikap angkuh maka Allah akan menistakannya.

= Takhalluq =

Memuliakan diri dan mengangkat derajatnya di hadapan penguasa zhālim, lalu menyombongkan diri di hadapan kaum kaya demi meninggikan himmah dan memelihara kehormatan.

= Taḥaqquq =

Mem-fanā’-kan sifat hamba yang kecil dan merealisasikan sifat Tuhan yang besar. Itulah kemenangan besar. Wallāhu a‘lam.

 

 

الْحَفِيظُ

Al-Ḥafīzh

(Maha Memelihara)

 

‘Ulamā’ berpendapat, al-Ḥafīzh berma‘na al-‘Alīm, dan berasal dari kata al-ḥifzh (hafal) yang merupakan kebalikan dari kata alpa dan lupa. Jadi, ma‘nanya merujuk pada ke‘ilmuan Allah. ‘Ulamā’ lain berpendapat, al-Ḥafīzh berma‘na tidak disibukkan oleh perkara apa pun. ‘Ulamā’ lain berpendapat, al-Ḥafīzh berma‘na memelihara segala sesuatu, menjaganya dan menjamin pemeliharaannya yang merupakan kebalikan dari kata tadhyī‘ (penyia-nyiaan). Ma‘na ketiga inilah yang peling shaḥīḥ. Jadi, Allah adalah pemelihara seluruh hamba-Nya dan pemelihara langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya (al-Baqarah [2]: 255). Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap (Fāthir [35]: 41). Allah pemelihara hati para kekasih-Nya dari perubahan, dan hati para ‘ārif (ahli ma‘rifat) dari keadaan berhenti agar mereka tidak mempunyai keputusan selain bersama Allah.

Orang yang mengetahui bahwa Allah itu al-Ḥafīzh, ia akan merasa cukup dengan pengaturan-Nya dan pemeliharaan-Nya atas dirinya. Dari sini, ia takkan lagi memusingkan perihal perencanaan dan pengaturan. Ia akan melihat seluruh urusannya telah tercukupi dan bersih dari kekeruhan. Sebab, orang yang belum melakukan pengaturan dan perencanaan, cukuplah Allah sebagai pengatur dan perencana untuknya. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya (al-Thalāq [65]: 3). Maksudnya, Allah akan mencukupi keperluannya, melindungi dirinya, dan menolongnya.

= Ta‘alluq =

Selalu berlindung kepada-Nya supaya Allah memelihara urusanmu dan menjaga rahasiamu, lalu berpasrah diri atas jaminan pemeliharaan-Nya dan memercayakan rezekimu hanya kepada-Nya semata.

= Takhalluq =

Menjaga apa yang diperintahkan-Nya untuk dijaga, seperti anggota tubuh, syarī‘at, amanah, dan barang titipan.

= Taḥaqquq =

Meng-ghaybah-kan diri dari pemeliharaanmu dengan menenggelamkan dirimu ke dalam pemeliharaan-Nya. Pasalnya, jika engkau hanya mengandalkan pemeliharaanmu maka pemeliharaanmu akan hilang dan sia-sia, karena tidak ada pemelihara selain Allah. Allah berfirman:… dan menjaga diri ketika suami mereka tidak ada karena Allah telah menjaga mereka (al-Nisā’ [4]: 34). Orang yang pemeliharaannya telah menyatu dengan pemeliharaan Allah, dirinya akan terpelihara, juga keluarganya dan anak-cucunya sepeninggalnya, sesuai kemampuannya dalam memelihara agama Allah. Wallāhu a‘lam.

Catatan:

  1. As-Suyūthī, Jāmi‘-ush-Shagīr (1/253). Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dari jalur Sahal ibn Sa‘ad dengan redaksi: “Sesungguhnya Allah Mahamulia. Dia mencintai kemuliaan dan akhlāq yang luhur, dan membenci akhlāq tercela.” Hadits serupa juga diriwayatkan oleh al-Baihaqī dalam as-Sunan-ul-Kubrā (no. 20780).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *