Setelah Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan tentang akal manusia. Beliau berkata:
وَ الْعَقْلُ كَالرُّوْحِ وَ لكِنْ قَرَّرُوْا | فِيْهِ خِلَافًا فَانْظُرَنْ مَا فَسَّرُوْا. |
“Akal seperti rūḥ. Akan tetapi, mereka menyatakan adalah khilaf tentang hakikat akal. Maka, perhatikanlah dengan sungguh-sungguh apa yang telah mereka tafsirkan.”
Akal bagaikan rūḥ dari segi tidak boleh membahasnya dan para ‘ulamā’ mauqūf ketika membahasnya. Para ‘ulamā’ sudah menceritakan adanya perbedaan pendapat tentang akal. Lihatlah keterangan-keterangan di dalam kitab yang luas keterangannya, seperti kitab Iḥyā‘-ul-‘Ulūm-id-Dīn, kitab ini tidak cukup untuk menjelaskannya. Sebab, kitab ini disuguhkan untuk orang awam.
Pembahasan tentang akal seperti pembahasan tentang rūḥ. Sebagian ‘ulamā’ memperbolehkannya dan sebagian yan lain memauqūfkannya, ya‘ni tidak memperbolehkannya. Inilah pendapat yang mu‘tamad.
Lafazh (عقل) berma‘na mencegah. Sebab, orang yang memiliki akal akan mencegah dirinya dari melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya. Jika ia tidak bisa mencegahnya, berarti ia tidak memiliki akal.
Ketahuilah! Akal dibagi menjadi 5 macam: (1621).
Akal Ghariziy adalah tabiat yang sudah menyatu dalam hati yang menjadikan seseorang siap mendapatkan ‘ilmu-‘ilmu yang bersifat nazhariy (rasional).
Akal Kasabiy adalah naluri manusia untuk berusaha bertahan hidup dengan cara mencari makanan dan berinteraksi dengan sesamanya.
Akal ‘Atha’iy adalah semua yang sudah dianugerahkan Allah s.w.t. kepada orang-orang mu’min agar mendapatkan petunjuk menuju keimanan. Ringkasnya akal ‘atha’iy adalah akal yang menuntun pada keimanan.
Akal Zuhhād adalah akal yang menjadikan seseorang meninggalkan kenikmatan dunia dan memilih kenikmatan akhirat.
Akal Syarafiy adalah akal Rasūlullāh.
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai hakikat akal. Menurut satu pendapat, akal adalah sejumlah ‘ilmu, ya‘ni pengetahuan yang menjadikan seseorang mudah menangkap ‘ilmu dharūriy. Contohnya, mengetahui jirim (benda) membutuhkan tempat dan mustaḥīl benda tak bertempat serta tidak mempunyai ‘aradh (sifat). Pengetahuan seperti ini disebut akal. Pendapat yang lain mengatakan, akal adalah sifat yang digunakan seseorang untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Pendapat yang paling baik adalah, akal itu nūr ruḥānī, yaitu cahaya yang bisa menjadikan seseorang menemukan ‘ilmu dharūriy dan ‘ilmu nazhariy.
Adapula yang berpendapat bahwa akal adalah lathīfah rabbāniyyah yang tidak ada yang mengetahui kecuali Allah s.w.t., tak satu pun makhluq mengetahuinya. Ketika seseorang bisa mengetahui baik atau buruknya sesuatu maka lathīfah rabbāniyyah seperti ini disebut akal. Jika jasadnya hidup, dinamakan rūḥ. Jika bersyahwat kepada sesautu, dinamakan nafsu. Ketiga perkara ini (akal, rūḥ, dan nafsu) berbeda watak dan sifatnya. (1632).
Imām al-Ghazālī dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn mengatakan bahwa nafsu, hati, rūḥ, dan akal merupakan nafsu insāniyyah yang menjadi tempat ma‘qūlat (sesuatu yang rasional) dan mukhāthab (yang dikenai tuntutan hukum syarī‘at), hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Barang siapa ingin mengetahui pembahasan empat perkara ini (nafsu, hati, rūḥ dan akal), lihatlah dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūm-id-Dīn jika engkau memiliki pemahaman dan akal yang sempurna. Sebab, kitab tersebut merupakan kitabnya Fuḥūl-ul-‘Ulamā’.
Akal bertempat di dalam hati, tapi cahayanya memancar hingga ke otak. Ada pendapat yang mengatakan ia bertempat di dalam otak karena jika otaknya rusak, akalnya juga akan rusak. Allah Maha Mengetahui kenyataannya. (1643).