Hati Senang

Agama Bangsa Arab – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri (2/2)

Di kalangan mereka juga ada tradisi thiyarah, yakni pesimis terhadap sesuatu. Pada mulanya mereka mendatangkan seekor burung atau biri-biri, lalu melepasnya. Jika burung atau biri-biri itu pergi ke arah kanan, mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau biri-biri tersebut berjalan ke kiri, mereka mengurungkan niatnya untuk bepergian dan menganggapnya sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal di tengah perjalanan bila bertemu burung atau hewan tertentu.

Tidak berbeda jauh dengan hal tersebut adalah kebiasaan mereka menggantungkan ruas tulang kelinci. Mereka juga meramal kesialan dengan sebagian hari, bulan, hewan atau wanita. Mereka percaya bahwa bila ada orang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram bila dendamnya tidak dibalaskan. Ruhnya bisa menjadi burung hantu yang beterbangan di padang pasir seraya berkata: “Berilah aku minum, berilah aku minum!” Jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruhnya menjadi tenteram. (101).

Sekalipun masyarakat ‘Arab sangat bodoh seperti itu, sisa-sisa agama Ibrāhīm tetap ada di kalangan mereka dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya. Seperti pengagungan terhadapp Ka‘bah, thawaf, haji, ‘umrah, wuquf di ‘Arafah dan Muzdalifah. Meskipun ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.

Di antara orang-orang Quraisy, tetap ada yang mengatakan: “Kami adalah anak keturunan Ibrāhīm dan penduduk Tanah Suci, penguasa Ka‘bah dan penghuni Makkah. Tidak ada seorang pun dari bangsa ‘Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami. Maka tidak layak bagi kami keluar dari Tanah Suci ini ke tempat lain.” Karena itu, mereka tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah dan tidak ifādhah dari sana, tetapi ifādhah dari Muzdalifah. Tentang hal ini Allah menurunkan ayat:

ثُمَّ أَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ.

Kemudian bertolakkan kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah). (al-Baqarah: 199) (112).

Hal-hal baru lainnya, mereka berkata: “Tidak selayaknya bagi orang-orang Quraisy untuk memberi makan keju dan meminta minyak samin ketika mereka sedang ihram. Mereka tidak boleh masuk Bait-ul-Ḥarām dengan mengenakan kain wol dan tidak boleh berteduh jika ingin berteduh kecuali di rumah-rumah pemimpin selama mereka sedang ihram. Mereka juga berkata: “Penduduk di luar Tanah Suci tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar Tanah Suci ke Tanah Suci bila kedatangan mereka untuk haji atau ‘umrah.” (123)

Mereka juga menyuruh penduduk di luar Tanah Suci untuk tetap mengenakan ciri pakaiannya sebagai penduduk bukan Tanah Suci pada awal kedatangan mereka untuk melakukan thawaf awal. Jika tidak memiliki ciri pakaiannya sebagai penduduk luar Tanah Suci, mereka harus thawaf dalam keadaan telanjang. Ini berlaku untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk wanita harus melepaskan semua pakaiannya, kecuali baju rumahnya yang longgar. Saat itu mereka berkata:

Hari ini tampak sebagian atau semuanya
Apa yang tiada tampak tiada diperkenankannya.

Lalu Allah menurunkan ayat mengenai hal ini:

يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (al-A‘rāf: 31).

Pakaian yang dikenakan penduduk luar Tanah Suci harus dibuang setelah melakukan thawaf awal, dan tak seorang pun boleh mengambilnya lagi, begitu pun orang yang bersangkutan. (134).

Hal baru lainnya, mereka tidak memasuki rumah dari pintunya selama dalam keadaan ihram. Mereka membuat lubang di bagian belakang rumah, dan dari lubang itulah mereka keluar masuk rumahnya. Mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan yang baik. Namun, al-Qur’ān melarangnya. (al-Baqarah: 189).

Semua ritual keagamaan tersebut adalah kesyirikan dan penyembahan terhadap berhala; keyakinan terhadap khayalan dan khurafat. Begitulah agama mayoritas bangsa ‘Arab. Sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shābi’ah yang masuk ke dalam masyarakat ‘Arab.

Orang-orang Yahudi mempunyai dua latar belakang, sehingga mereka berada di Jazirah ‘Arab, yang setidak-tidaknya digambarkan dalam dua hal berikut ini:

  1. Kepindahan mereka pada masa penaklukan bangsa Babilon dan Asyur di Palestina, yang mengakibatkan tekanan terhadap orang-orang Yahudi, penghancuran negeri mereka dan pemusnahan mereka di tangan Nebukadnezar pada tahun 587 SM. Di antara mereka banyak yang ditawan dan dibawa ke Babilonia. Sebagian di antara mereka juga ada yang meninggalkan Palestina dan pindah ke Ḥijāz. Mereka menempati Ḥijāz bagian utara. (145).
  2. Dimulai dari pencaplokan bangsa Romawi terhadap Palestina pada tahun 70 M, yang disertai dengan tekanan terhadap orang-orang Yahudi dan penghancuran haikal-haikal (kuil-kuil) mereka, sehingga kabilah-kabilah mereka berpindah ke Ḥijāz, lalu menetap di Yatsrib, Khaibar dan Taima’. Di sana mereka mendirikan perkampungan Yahudi dan benteng pertahanan. Maka agama Yahudi menyebar di sebagian masyarakat ‘Arab melalui para imigran Yahudi tersebut. Mereka selanjutnya memiliki beberapa peran yang bisa dicatat dari beberapa peristiwa yang bersifat politis, sebelum munculnya Islam. Saat Islam datang, kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal adalah Yahudi Khaibar, Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqā’. As-Samhudī menyebutkan di dalam Wafā‘-ul-Wafā hal. 116 bahwa jumlah kabilah Yahudi saat itu lebih dari dua puluh. (156)

Agama Yahudi masuk ke Yaman karena dibawa oleh penjual jerami yang bernama As‘ad Abū Karb. Awal mulanya dia pergi untuk berperang ke Yatsrib dan memeluk agama Yahudi di sana. Sepulangnya dari Yatsrib ke Yaman dia membawa dua pemuka Yahudi dari Bani Quraizhah, sehingga agama Yahudi menyebar di sana. Setelah As‘ad meninggal dunia dan digantikan anaknya, Yūsuf Dzū Nuwās, dia memerangi orang-orang Kristen dari penduduk Najran dan memaksa mereka untuk masuk agama Yahudi. Karena mereka menolaknya, maka dia menggali parit dan membakar mereka di dalam parit itu. Tak seorang pun yang tersisa, laki-laki maupun wanita, tua maupun muda. Ada yang mengisahkan bahwa korban yang dibunuhnya mencapai 20-40 ribu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober 523 M. (167). Al-Qur’ān telah membuat sebagian kisah ini di dalam surat al-Burūj.

Sementara itu, agama Nasrani masuk ke Jazīrah ‘Arab melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman pada tahun 340 M. dan terus berlanjut hingga tahun 378 M. (178) Pada masa itu misionaris Nasrani menyelusup ke berbagai tempat di Yaman. Tidak lama kemudian, ada seseorang yang zuhud, yang doanya senantiasa dikabulkan dan memiliki karamah, datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Nasrani. Mereka melihat garis-garis kejujuran dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu, mereka memenuhi ajakannya untuk memeluk agama tersebut. (189).

Setelah orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk mengembalikan kondisi karena tindakan Dzū Nuwās dan Abrahah memegang kekuasaan di sana, maka agama Nasrani berkembang pesat dan sangat maju. Karena semangatnya dalam menyebarkan agama ini, Abrahah membangun sebuah gereja di Yaman, yang dinamakan Ka‘bah Yaman. Dia menginginkan agar semua bangsa ‘Arab “berhaji” ke gereja ini dan hendak menghancurkan Baitullāh di Makkah. Namun, Allah membinasakannya.

Bangsa ‘Arab yang memeluk agama Nasrani adalah dari suku-suku Ghassān, kabilah-kabilah Taghlib, Thayyi’, dan yang berdekatan dengan orang-orang Romawi. Bahkan sebagian raja Ḥīrah juga memeluk agama Nasrani.

Adapun agama Majusi, lebih banyak berkembang di kalangan bangsa ‘Arab yang berdekatan dengan orang-orang Persia. Agama ini juga pernah berkembang di kalangan orang-orang ‘Arab ‘Irāq, Baḥrain, dan wilayah-wilayah di pesisir teluk ‘Arab. Ada pun penduduk Yaman yang memeluk agama Majusi ketika bangsa ‘Arab menduduki Yaman.

Sementara itu, agama Shābi’ah menurut beberapa kisah dan catatan berkembang di ‘Irāq dan lainnya, yang dianggap sebagai agama kaum Ibrāhīm Kaldean. Banyak penduduk Syām dan Yaman pada masa dahulu yang memeluk agama ini. Setelah kedatangan beberapa agama baru, seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama Shābi’ah mulai kehilangan eksistensinya dan surut. Namun, sisa-sisa menganutnya tetap ada dan bercampur dengan penganut agama Majusi, atau yang berdampingan dengan mereka di pemukiman masyarakat ‘Arab di ‘Irāq dan di pinggiran Teluk ‘Arab. (1910, 2011).

Catatan:

  1. 10). Lihat Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, II/851, 857, dengan ḥāsyiyyah Syaikh Aḥmad ‘Alī as-Saharanfūrī.
  2. 11). Ibnu Hisyām, I/199; Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, I/226.
  3. 12). Ibnu Hisyām, I/202.
  4. 13). Ibnu Hisyām, I/202-203; Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, I/226.
  5. 14). Qalbu Jazīrat-il-‘Arab, hal. 151.
  6. 15). Ibid.
  7. 16). Tafhīm-ul-Qur’ān, VI/297-298 dan Ibnu Hisyām, I/20-22, 27, 31, 35 dan 36.
  8. 17). Tafhīm-ul-Qur’ān, VI/297.
  9. 18). Lihat pembahasannya di Ibnu Hisyām, I/31-34.
  10. 19). Tārīkhu Ardh-il-Qur’ān, II/193-208.
  11. 20). Komentar: Mengenai hakikat Shābi’ah, al-Ḥāfizh Ibnu Katsīr berkata dalam tafsirnya (Cet. II, Daruth Thayyibah, taḥqīq: Sami as-Salamah) setelah menyebutkan perbedaan dalam persoalan Hakikat Shābi’ah (I/290): “Pendapat yang paling jelas adalah ungkapan Mujāhid, dua pengikutnya, dan Wahb bin Munabbih, bahwa mereka merupakan orang-orang yang tidak beragama Yahudi, Nasrani, Majusi ataupun musyrik. Mereka adalah kaum yang hidup pada masa fatrah dan tidak berada dalam satu agama yang ditetapkan bagi mereka, yang mereka ikuti. Karena itulah, kaum musyrikin menjuluki siapa saja yang masuk Islam sebagai kalangan Shābi’ah. Artinya, ia telah keluar dari seluruh agama penduduk bumi pada waktu itu. Beberapa ulama mengatakan: “Shābi’īn adalah orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.” Wallāhu a‘lam.

    Disebutkan pula dalam Tafsīr-ul-Qurthubī pada penafsiran surat al-Baqarah ayat ke-62: “Para pendahulu (salaf) berbeda pendapat tentang Shābi’īn. Sebagian orang mengatakan bahwa mereka dari ahli kitab. Sembelihan mereka boleh dimakan dan wanita mereka boleh dinikahi.

    Sebagian lain mengatakan: “Mereka beragama yang mirip dengan agama Nasrani. Hanya saja, kiblat mereka menghadap ke Selatan. Mereka mengira berada di atas agama Nūḥ a.s.

    Sebagian lain lagi mengatakan: “Mereka kaum yang memadukan agama mereka dari agama Yahudi dan Majusi, sehingga sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan para wanita kalangan mereka tidak boleh dinikahi.

    Ada juga yang mengatakan, mereka adalah kaum yang menyembah para malaikat, shalat menghadap kiblat, membaca kitab Zabur, dan shalat lima waktu. Kemudian orang yang berpendapat seperti ini mengatakan: “Dan yang dihasilkan dari keyakinan mereka bahwa mereka bersatu meyakini pengaruh bintang-bintang….. Karena itu, ahli ilmu memfatwakan bahwa mereka kafir.

    Dalam al-Mausū‘āt-ul-Muyassarah disebutkan, bahwa kaum Shābi’īn satu-satunya masih ada hingga hari ini dan yang menganggap Yahya sebagai nabi, mereka adalah sekte Madaean, yang menganggap suci planet dan bintang-bintang. Di antara ajara agama mereka adalah menghadap ke kutub utara dan demikian juga pembaptisan di dalam air.

    Dalam ar-Raddu ‘alal-Manthiqiyyīn: VI/454 dan seterusnya Syaikh-ul-Islām Ibnu Taimiyyah berkata: Shābi’īn ada dua jenis: Shābi’īn yang lurus dan Shābi’īn musyrik. Shābi’īn yang lurus merupakan kedudukan bagi orang yang mengikuti tuntutan Taurat dan Injil sebelum dihapus, diselewengkan, dan diubah. Mereka dipuji dan disanjung oleh Allah. Adapun Shābi’īn yang musyrik adalah mereka yang menyembah malaikat, membaca Zabur, shalat. Mereka menghamba kepada kekuatan roh.

    Ibn-ul-Qayyim dalam Aḥkāmu Ahl-idz-Dzimmah (Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, Cet. II 1423 H./2002 M.): “Shābi’īn adalah bangsa yang besar dan di antara mereka ada yang bahagia dan sengsara. Mereka adalah salah satu dari bagian umat yang terbagi menjadi mu’min dan kafir. Sebab, umat sebelum pengutusan Nabi s.a.w. itu ada dua jenis:

    Pertama, mereka yang kafir dan sengsara semuanya, tidak ada kebahagiaan bagi mereka, seperti penyembah berhala dan Majusi.

    Kedua, mereka yang terbagi menjadi dua; ada yang bahagia dan sengsara. Yaitu Yahudi, Nasrani, dan Shābi’īn.

    Dua golongan tersebut telah disebutkan oleh Allah di dalam Kitāb-Nya, yaitu pada surat al-Baqarah: 62, al-Mā’idah: 69, dan al-Ḥajj: 17.

    Di ayat yang disebutkan terakhir tidak disebutkan kalimat “yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhir” karena Majusi dan orang-orang musyrik disebutkan bersama dengan mereka. Jadi, Allah telah menyebutkan enam golongan manusia; dua golongan sengsara, sedangkan empat sisanya terbagi menjadi dua kelompok: bahagia dan sengsara. Dan karena Allah menjanjikan pahala bagi orang yang beriman dan beramal saleh di antara mereka, maka Allah hanya menyebutkan empat kelompok manusia tersebut.

    Dalam ayat tersebut ada perincian di antara kelompok manusia yang memasukkan dua kelompok manusia bersama mereka dan di dalam ayat itu juga terdapat janji untuk membalas orang yang kelompok manusia yang tidak masuk kelompok mereka. Jadi bisa diketahui bahwa Shābi’īn itu ada yang beriman, kafir, bahagian dan sengsara. Bangsa kuno sebelum Yahudi dan Nasharā, mereka ada beberapa jenis: Shābi’īn yang lurus dan Shābi’īn yang musyrik.

    Ḥarrān merupakan kerajaan mereka sebelum al-Masīḥ. Mereka memiliki berbagai buku, tulisan, dan ilmu. Sekelompok besar dari mereka menetap di Baghdād, termasuk di antaranya Ibrāhīm bin Hilāl ash-Shābi’ī, yang memiliki banyak tulisan. Ia memeluk agama mereka dan puasa Ramadhān bersama kaum Muslimin. Kebanyakan dari mereka adalah para filsuf dan memiliki maqālāt (kumpulan perkataan atau pendapat) yang populer, sebagaimana yang disebutkan oleh para pemilik maqālāt…..

    Dengan demikian, kita telah mendapatkan bahwa Shābi’īn itu memiliki beberapa sekte dan kelompok.

    • Kelompok yang menganggap diri mereka pengikut Nūḥ a.s.
    • Kelompok yang menganggap diri mereka mengikuti Yaḥyā bin Zakariyyā.
    • Kelompok yang membuat sekte antara Yahudi dan Nasrani.
    • Kelompok yang membuat sekte antara Yahudi dan Majusi.

    Syaikh Masyhūr bin Ḥassan ‘Alī Salmān di websitenya mengatakan: “Ringkasannya bahwa Shābi’ah itu kelompok yang eksis hingga saat ini, mereka kafir dan murtad, termasuk kelompok satu dalam dasar-dasarnya. Kelompok yang ada saat ini adalah paganis. Mereka tidak diperlakukan seperti Ahli Kitab dari sisi kebolehan menikahi wanita-wanita mereka yang menjaga kesucian atau memakan sembelihan mereka. Wallāhu a‘lam.

    Lihat pula al-Mausū‘āt-ul-Muyassarati fil-Adyāni wal-Madzāhib-il-Mu‘āshirah (WAMY). (al-Malah).

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.