Agama Bangsa Arab – Ar-Rahiq-ul-Makhtum – al-Mubarakfuri (1/2)

Rangkaian Pos: Agama Bangsa Arab - Ar-Rahiq-ul-Makhtum - al-Mubarakfuri

AGAMA BANGSA ‘ARAB

 

Mayoritas bangsa ‘Arab mengikuti dakwah Ismā‘īl a.s, yaitu tatkala beliau menyeru kepada agama bapaknya, Ibrāhīm a.s.. Inti ajarannya menyembah kepada Allah, mengesakan-Nya dan memeluk agama-Nya. Waktu bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrāhīm, hingga muncul ‘Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuzā‘ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, mengeluarkan sedekah dan peka terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang disegani.

Suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syām. Di sana dia melihat penduduk Syām yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab, menurutnya Syām adalah tempat para rasul dan Kitab. Karena itulah, dia pulang sambil membawa berhala Hubal dan meletakkannya di dalam Ka‘bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Makkah untuk membuat kesyirikan terhadap Allah. Orang-orang Ḥijāz pada akhirnya banyak yang mengikuti penduduk Makkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka‘bah dan penduduk Tanah Suci. (11)

Peta Sebagian Berhala yang Disembah Bangsa ‘Arab pada Masa Jahiliyyah

Peta Sebagian Berhala yang Disembah Bangsa ‘Arab pada Masa Jahiliyyah

Berhala mereka yang tertua adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi Laut Merah di dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thā’if dan ‘Uzza di Wadi Nakhlah. Inilah tiga berhala yang paling besar. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Ḥijāz. Dikisahkan bahwa ‘Amru bin Luhay mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-hala kaum Nūḥ (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana dan mengangkatnya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. (22)

Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing-masing. Dengan demikian, di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir bisa dipastikan ada berhalanya. Selain itu, mereka memenuhi al-Masjid-ul-Ḥarām dengan berbagai macam berhala dan patung. Ketika Rasūlullāh s.a.w. menaklukkan Makkah, di sekitar Ka‘bah terdapat 360 berhala. Rasūlullāh s.a.w. menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua. Selanjutnya beliau memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar. (33)

Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah, yang menganggap dirinya berada pada agama Ibrāhīm. Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang mayoritas diciptakan oleh ‘Amru bin Luhay. Orang-orang mengira apa yang diciptakan ‘Amru itu merupakan sesuatu yang baru dan baik, serta tidak mengubah agama Ibrāhīm. Di antara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah:

  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya sambil berkomat-kamit di hadapannya. Mereka meminta pertolongan kepadanya tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
  3. Mereka mengadakan penyembahan dengan menyajikan berbagai macam korban, menyembelih hewan piaraan dan hewan korban demi berhala dan menyebut namanya. Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya:

وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ.

Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (al-Mā’idah: 3).

وَ لَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ.

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (al-An‘ām: 121).

  1. Bentuk peribadatan yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan makanan yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang piaraan mereka. Ada juga orang-orang tertentu yang mengkhususkan sebagian lain bagi Allah. Yang pasti, mereka mempunyai banyak sebab untuk memberikan sesaji kepada berhala yang tidak akan sampai kepada Allah. Apa yang mereka sajikan kepada Allah hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Allah berfirman:

وَ جَعَلُوْا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَ الْأَنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوْا هذَا للهِ بِزَعْمِهِمْ وَ هذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللهِ وَ مَا كَانَ للهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكَآئِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An‘ām: 136).

  1. Di antara jenis peribadatan yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala itu. Allah berfirman:

وَ قَالُوْا هذِهِ أَنْعَامٌ وَ حَرْثٌ حِجْرٌ لَّا يَطْعَمُهَا إِلَّا مَنْ نَّشَاءُ بِزَعْمِهِمْ وَ أَنْعَامٌ حُرِّمَتْ ظُهُوْرُهَا وَ أَنْعَامٌ لَّا يَذْكُرُوْنَ اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا افْتِرَاءً عَلَيْهِ سَيَجْزِيْهِمْ بِمَا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ

Dan mereka mengatakan: “Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki” menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. (al-An‘ām: 138).

  1. Beberapa jenis unta yang dijuluki Baḥīrah, Sā’ibah, Washīlah, dan Ḥām juga diperlakukan sedemikian rupa. Ibnu Isḥāq mengisahkan: “Baḥīrah ialah anak Sā’ibah, unta betina yang telah beranak sepuluh, yang semuanya betina dan sama sekali tidak mempunyai anak jantan. Unta ini tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, dan susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan harus mendapat perlakuan seperti induknya. Washīlah adalah domba betina yang selalu melahirkan anak kembar betina selama lima kali secara berturut-turut, tidak diselingi kelahiran anak jantan sama sekali. Domba ini dijadikan sebagai perantara untuk peribadatan. Oleh karena itu mereka berkata: “Aku mendekatkan diri dengan domba ini.” Tetapi, bila setelah itu domba tersebut melahirkan anak jantan dan tidak ada yang mati, maka domba ini boleh disembelih dan dagingnya dimakan. Ḥām adalah unta jantan yang sudah membuntingi sepuluh betina yang melahirkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Unta seperti itu tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan apa pun. Untuk itu Allah menurunkan ayat:

مَا جَعَلَ اللهُ مِنْ بَحِيْرَةٍ وَ لَا سَآئِبَةٍ وَ لَا وَصِيْلَةٍ وَ لَا حَامٍ وَ لكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya baḥīrah, sā’ibah, washīlah dan ḥām. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Mā’idah: 103)

Allah juga menurunkan ayat:

وَ قَالُوْا مَا فِيْ بُطُوْنِ هذِهِ الْأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُوْرِنَا وَ مُحَرَّمٌ عَلى أَزْوَاجِنَا وَ إِنْ يَكُنْ مَّيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكَاءُ

Dan mereka mengatakan: “Apa yang dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami,” dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (al-An‘ām: 139).

Namun, ada yang menafsirkan binatang ternak tersebut berbeda dengan yang telah disebutkan tadi. (44).

Sa‘īd bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak dipersembahkan untuk thaghut-thaghut mereka. (55) Di dalam ash-Shaḥīḥ disebutkan secara marfu‘ bahwa ‘Amru bin Luhay adalah orang pertama yang mempersembahkan unta untuk berhala. (66).

Bangsa ‘Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat di sisi-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’ān:

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَا إِلَى اللهِ زُلْفَى.

Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar: 3)

وَ يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَ لَا يَنْفَعُهُمْ وَ يَقُوْلُوْنَ هؤُلآءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah”. (Yūnus: 18).

Orang-orang ‘Arab juga mengundi nasib dengan menggunakan anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib tersebut diberi tiga tanda: anak panah pertama diberi tanda “Ya”, dan anak panah kedua diberi “Tidak”, dan anak panah ketiga tidak diberi tanda apa-apa. Mereka mengundi nasib untuk memastikan pelaksanaan suatu keinginan atau rencana, seperti bepergian atau lain-lainnya dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar panah bertanda “Ya”, mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar panah bertanda “Tidak”, mereka menangguhkannya hingga tahun depan dan berbuat hal serupa sekali lagi. Bila yang keluar anak panah yang tidak diberi tanda, mereka mengulanginya lagi.

Selain tiga anak panah bertanda seperti itu, ada jenis lain lagi yang diberi tanda air dan tebusan. Ada juga anak panah bertanda “Dari golongan kalian” atau “Bukan dari golongan kalian” atau “Anak angkat”. Jika mereka memerkarakan nasab seseorang, mereka membawa orang itu ke hadapan Hubal, sambil membawa seratus hewan korban dan diserahkan kepada pengundi anak panah. Jika yang keluar tanda: “Dari golongan kalian”, maka orang tersebut merupakan golongan mereka, dan jika yang keluar tanda “Bukan dari golongan kalian”, maka orang tersebut hanya sebagai rekan persekutuan, dan jika yang keluar tanda “anak angkat’, maka orang tersebut tak ubahnya anak angkat, bukan termasuk dari golongan mereka dan juga tidak bisa didudukkan sebagai rekan persekutuan. (77).

Perjudian dan undian tidak berbeda jauh dengan hal tersebut. Mereka membagi daging korban yang telah disembelih berdasarkan undian itu.

Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, orang pintar dan ahli nujum. Peramal adalah orang yang mengabarkan sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. Ia mengaku bisa mengetahui rahasia gaib pada masa mendatang. Di antara peramal ini ada yang mengaku memiliki pengikut dari golongan jin yang memberinya suatu pengabaran. Di antara mereka ada yang mengaku bisa mengetahui hal-hal gaib lewat suatu pemahaman yang dimilikinya. Di antara mereka ada yang mengaku bisa mengetahui berbagai masalah lewat isyarat atau sebab yang memberinya petunjuk, dari perkataan, perbuatan atau keadaan orang yang bertanya kepadanya. Orang semacam ini disebut paranormal atau orang pintar. Ada pula yang mengaku bisa mengetahui orang yang kecurian dan tempat di mana dia kecurian serta orang tersesat dan lain-lain.

Selain peramal, ada ahli nujum. Yaitu orang yang memperhatikan keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi pada masa mendatang (88). Pembenaran terhadap pengabaran ahli nujum pada hakikatnya merupakan keyakinan terhadap bintang-bintang. Sedangkan keyakinan mereka terhadap bintang-bintang merupakan keyakinan terhadap hujan. Maka mereka berkata: “Hujan yang turun kepada kami berdasarkan bintang ini dan itu.” (99)

Catatan:

  1. 1). Mukhtasharu Sīrat-ir-Rasūl, Syaikh Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb, hal. 12.
  2. 2). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, I//222.
  3. 3). Ibid, hal. 13, 50-52, dan 54.
  4. 4). Ibnu Hisyām, I/89-90.
  5. 5). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, I/499.
  6. 6). Ibid.
  7. 7). Maḥadharatu Tārīkh-il-Umam-il-Islāmiyyah, al-Khudharī, I/56; Ibnu Hisyām, I/152-153.
  8. 8). Mirqāt-ul-Mafātiḥi: Syarḥi Misykāt-ul-Mashābīḥ, II/2-3.
  9. 9). Lihat Shaḥīḥu Muslimin ma‘a Syarḥihi, Kitāb-ul-Īmān, I/59.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *