Ibnu Isḥāq berkata: “Orang-orang Tsaqīf mengutus Abū Righāl ikut bersama Abrahah dan bertugas sebagai penunjuk jalan. Abrahah meneruskan perjalanannya dengan dipandu Abū Righāl. Ketika ia tiba di al-Mughammis, Abū Righāl meninggal dunia di sana, kemudian kuburannya dilempari batu oleh orang-orang ‘Arab. Kuburan itulah yang sekarang dilempari batu oleh orang-orang ‘Arab di al-Mughammis.”
Tiba di al-Mughammis, Abrahah mengutus salah seorang Ḥabasyah, Al-Aswad bin Maqsūd dengan pasukan berkudanya terus berjalan hingga tiba di Makkah. Kekayaan Makkah milik orang-orang Quraisy dan selain orang-orang Quraisy diserahkan kepadanya, termasuk dua ratus ekor unta milik ‘Abd-ul-Muththalib. Ketika itu, ‘Abd-ul-Muththalib adalah pemimpin dan tokoh orang-orang Quraisy. Karena kejadian tersebut, orang-orang Quraisy, Kinānah, Hudzail, dan semua pihak yang berada di tanah suci ingin memerangi Abrahah. Namun karena mereka mengetahui tidak sanggup menghadapinya, mereka mengurungkan maksud tersebut.
Abrahah mengutus Ḥunāthah al-Ḥimyar pergi ke Makkah, dan berkata kepadanya: “Tanyakan siapa pemimpin dan tokoh negeri ini, kemudian katakan kepada pemimpin tersebut, bahwa sesungguhnya raja (Abrahah) berkata kepadamu: “Sesungguhnya kami datang ke tempat kalian tidak dengan maksud memerangi kalian. Kami datang untuk menghancurkan rumah ini (Ka‘bah). Jika kalian tidak menghalang-halangi kami dengan mengumumkan perang melawan kami, kami tidak butuh daerah kalian. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bermaksud memerangiku, maka bawa dia kepadaku”.”
Tiba di Makkah, Ḥunāthah menanyakan siapa pemimpin orang-orang Quraisy, kemudain dikatakan kepadanya, bahwa pemimpin orang-orang Quraisy adalah ‘Abd-ul-Muththalib bin Hāsyim bin ‘Abdu Manāf bin Qushai. Kemudian Ḥunāthah menemui ‘Abd-ul-Muththalib dan menjelaskan kepadanya apa yang diperintahkan Abrahah. ‘Abd-ul-Muththalib berkata kepada Ḥunāthah: “Demi Allah, kami tidak ada maksud untuk memerangimu, karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Rumah ini (Ka‘bah) adalah Rumah Allah yang suci dan rumah kekasih-Nya, Ibrāhīm a.s.–atau seperti yang dikatakan ‘Abd-ul-Muththalib. Jika Allah melindunginya, itu karena Ka‘bah adalah Rumah-Nya dan rumah suci-Nya. Jika Allah tidak melindunginya, demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk melindunginya.” Ḥunāthah berkata kepada ‘Abd-ul-Muththalib: “Mari ikut aku, karena aku diperintahkan pulang membawamu!”
Kemudian ‘Abd-ul-Muththalib dengan dikawal sebagian anak-anaknya pergi bersama Ḥunāthah. Tiba di barak Abrahah, ‘Abd-ul-Muththalib menanyakan Dzū Nafr, karena ia sahabatnya. Ketika berjumpa dengan Dzū Nafr di penahanannya, ‘Abd-ul-Muththalib berkata kepada Dzū Nafr: “Wahai Dzū Nafr, apakah engkau mempunyai kekuatan untuk mengatasi musibah yang menimpa kita?” Dzū Nafr berkata: “Apakah artinya kekuatan tawanan raja? Ia menunggu kapan dibunuh, pagi hari atau sore hari? Aku tidak mempunyai kekuatan sedikit pun untuk mengatasi musibah yang menimpamu. Namun Unais, pengendali unta adalah sahabat karibku. Aku akan datang kepadanya kemudian aku perintahkan dia untuk berbuat baik kepadamu, menjelaskan kepadanya bahwa hakmu amat besar, dan memintanya mempertemukanmu dengan Raja Abrahah, kemudian engkau berkata kepadanya apa saja yang engkau inginkan, serta membelamu dengan baik di sisinya, jika ia mampu melakukannya.” ‘Abd-ul-Muththalib berkata: “Itu sudah cukup bagiku.” Kemudian Dzū Nafr menemui Unais, dan berkata kepadanya: “Sesungguhnya ‘Abd-ul-Muththalib adalah pemimpin orang-orang Quraisy, dan pemilik rombongan dagang Makkah. Ia memberi makan orang-orang di dataran rendah, dan binatang buas dipuncak gunung. Sungguh, Raja Abrahah telah mengambil dua ratus ekor untanya. Oleh karena itu, mintakan idzin untuknya agar ia bisa bertemu dengan Raja Abrahah, dan berilah pembelaan kepadanya sesuai dengan kemampuanmu!” Unais berkata: “Itu akan aku kerjakan.”
Kemudian Unais berbicara kepada Abrahah. Ia berkata kepadanya: “Paduka raja, sesungguhnya pemimpin Quraisy sedang berada di pintumu untuk meminta idzin bertemu denganmu. Ia pemilik rombongan dagang Makkah, memberi makan orang-orang di dataran rendah, dan binatang buas di puncak gunung. Idzinkan ia masuk agar ia bisa mengutarakan maksudnya kepadamu!” Abrahah mengidzinkan ‘Abd-ul-Muththalib masuk kepadanya.
Ibnu Isḥāq berkata: “‘Abd-ul-Muththalib adalah orang yang paling tampan, dan paling agung. Ketika Abrahah melihatnya, ia memuliakannya, mengagungkannya, dan menghormatinya dengan tidak menyuruhnya duduk di bawahnya. Abrahah tidak suka dilihat orang-orang Ḥabasyah mendudukkan orang lain di atas singgasananya. Oleh karena itu, ia turun dari singgasananya, kemudian duduk di atas permadaninya dan mendudukkan ‘Abd-ul-Muththalib di sebelahnya. Abrahah berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya (‘Abd-ul-Muththalib): “Apa keperluanmu.” Penerjemah Abrahah menjelaskan ucapan Abrahah kepada ‘Abd-ul-Muththalib, kemudian ‘Abd-ul-Muththalib berkata: “Keperluanku ialah hendaknya raja Abrahah mengembalikan dua ratus ekor unta yang dirampasnya dariku.” Usai menerjemah Abrahah menjelaskan keperluan ‘Abd-ul-Muththalib kepada Abrahah, Abrahah berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya: “Sesungguhnya aku kagum kepadamu ketika aku melihatmu, kemudian aku tidak mau berbicara banyak kepadamu ketika engkau berkata kepadamu. “Apakah engkau membicarakan dua ratus ekor unta yang aku rampas darimu dan engkau meninggalkan rumah yang tiada lain adalah agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk menghancurkannya dan engkau sedikit pun tidak menyinggungnya?” ‘Abd-ul-Muththalib berkata kepada Abrahah: “Sesungguhnya aku adalah pemilik unta, dan rumah tersebut mempunyai Pemilik yang akan melindunginya.” Abrahah berkata: “Ia tidak layak menghalang-halangiku.” ‘Abd-ul-Muththalib berkata: “Itu terserah antara engkau dengan-Nya.”
Menurut pendapat sebagian ulama, ketika ‘Abd-ul-Muththalib menemui Abrahah bersama dengan Ḥunāthah, ‘Abd-ul-Muththalib ditemani Ya‘mur bin Nufātsah bin ‘Adī bin ad-Du’al bin Bakr bin ‘Abdu Manāt bin Kinānah pemimpin Bani Bakr, dan Khuwailid bin Wātsilah al-Hudzalī pemimpin Hudzail. Keduanya menawarkan siap memberikan sepertiga kekayaan Makkah kepada Abrahah dengan konpensasi Abrahah pulang ke negerinya dan tidak menghancurkan Baitullāh. Abrahah menolak tawaran keduanya. Allah yang lebih tahu apakah keduanya jadi memberikan sepertiga kekayaan Makkah kepadanya atau tidak. Kemudian Abrahah mengembalikan dua ratus ekor unta kepada ‘Abd-ul-Muththalib yang telah dirampasnya.
Usai ketiganya bertemu dengan Abrahah, ‘Abd-ul-Muththalib menemui orang-orang Quraisy dan menjelaskan permasalahan yang sesungguhnya. Ia perintahkan mereka keluar dari Makkah, dan berlindung diri di puncak gunung, dan sya‘af (شَعَفِ = jalan di antara dua gunung), karena khawatir mendapatkan gangguan dari pasukan Abrahah. Setelah itu, ‘Abd-ul-Muththalib mengambil rantai pintu Ka‘bah dan berdoa dengan beberapa orang Quraisy kepada Allah dan meminta pertolongan-Nya atas Abrahah dan pasukannya. ‘Abd-ul-Muththalib berkata sambil memegang rantai Ka‘bah:
Ya Allah, sesungguhnya seorang hamba telah melindungi pelananya
Maka lindungilah Rumah-Mu
Ya Tuhan, salib mereka tidak akan mengalahkan-Mu besok pagi
Karena hanya Engkaulah Yang Maha Kuat
Jika Engkau membiarkan mereka dan kiblat kami
Maka itu karena sesuatu yang telah Engkau inginkan sebelumnya
Ibnu Hisyām berkata: “Itulah perkataan yang dikatakan ‘Abd-ul-Muththalib.”
Ibnu Isḥāq berkata bahwa ‘Ikrimah bin ‘Āmir bin Hāsyim bin ‘Abdu Manāf bin ‘Abd-ud-Dār bin Qushai berkata:
Ya Allah, hinakan al-Aswad bin Mas‘ūd
Orang yang telah merampas dan memotong unta betina yang banyak
air susunya dalam keadaan terikat
Ia menahannya di antara Gunung Ḥirā’ dan Gunung Tsabīr, serta padang pasir
Padahal biasanya unta-unta tersebut bebas pergi ke mana ia suka
Kemudian ia menyatukan unta-unta tersebut kepada orang-orang Sudan
Ya Tuhan, gagalkan rencananya, karena Engkau Maha Terpuji
Ibnu Hisyām berkata: “Itulah ucapan yang benar yang diucapkan ‘Ikrimah.”
Ibnu Hisyām berkata: “Setelah berdoa, ‘Abd-ul-Muththalib melepaskan rantai pintu Ka‘bah, lalu bersama dengan beberapa orang-orang Quraisy, ia pergi ke puncak gunung untuk berlindung di dalamnya dan menunggu apa yang akan diperbuat Abrahah terhadap Makkah jika ia telah memasukinya.”
Esok harinya, Abrahah bersiap-siap untuk memasuki Makkah. Ia menyiap-kan gajah-gajahnya, dan memobilisir pasukannya. Gajah Abrahah bernama Maḥmūd. Ia membulatkan tekatnya untuk menghancurkan Ka‘bah, kemudian pulang ke Yaman. Ketika Abrahah dan pasukannya telah mengarahkan gajahnya masing-masing ke Makkah, tiba-tiba Nufail bin Ḥabīb al-Khats‘amī tiba, kemudian berdiri di samping gajah Abrahah, Mahmud dan membisikkan kepadanya: “Duduklah wahai Maḥmūd, atau pulanglah dengan damai ke tempatmu semula, karena sesungguhnya engkau sekarang berada di tanah haram!” Nufail bin Ḥabīb melepaskan telinga Gajah Maḥmūd dan gajah itu pun duduk. Setelah itu, Nufail bin Ḥabīb pergi dan naik ke gunung. Pasukan Abrahah memukul Gajah Maḥmūd agar berdiri, namun ia menolak berdiri. Mereka memukul Gajah Maḥmūd dengan mencucuk lambungnya agar berdiri, namun ia tetap menolak berdiri. Mereka memasukkan miḥjān (tongkat yang berkeluk kepalanya) ke bawah perutnya dan mengiris perutnya dengannya agar berdiri, namun gajah Maḥmūd tetap menolak berdiri. Mereka menghadapkan gajah Maḥmūd ke arah Yaman, ternyata ia langsung berdiri dan berlari. Mereka menghadapkan lagi Gajah Maḥmūd ke arah Syām, ternyata berdiri dan lari seperti sebelumnya. Mereka menghadapkannya ke Makkah, namun ia menolak berdiri.
Kemudian Allah ta‘ālā mengirim untuk Abrahah dan pasukannya burung-burung seperti burung layang-layang dan burung balasān (الْبَلَسَانِ = sejenis burung tiung) dari arah laut. Setiap burung membawa tiga batu; satu batu di paruhnya, dan dua batu di kedua kakinya. Batu-batu tersebut mirip kacang dan adas. Jika batu tersebut mengenai salah seorang dari pasukan Abrahah, ia pasti tewas, namun tidak semuanya dari mereka terkena batu tersebut. Mereka lari kocar-kacir, berebutan mencari jalan yang telah dilaluinya, dan mencari-cari Nufail agar ia menunjukkan jalan ke arah Yaman.