7-1 Penutup – Tentang Masalah-masalah Penting – Jawahir-ul-Kalamiyyah

JAWĀHIR-UL-KALĀMIYYAH
ILMU TAUḤĪD

(Diterjemahkan dari buku aslinya berbahasa
‘Arab Jawahir-ul-Kalimiyyah, karya Syaikh Thahir bin Shaleh al-Jaza’iri)
 
Penerjemah: Ustadz Ja‘far Amir
Penerbit: Raja Murah – Pekalongan

Rangkaian Pos: 007 Penutup - Tentang Masalah-masalah Penting - Jawahir-ul-Kalamiyyah

الْخَاتِمَةُ فِيْ مَسَائِلَ مُهِمَّةٍ

تَتَّبِعُ مَا سَلَفَ نُقِلَتْ عَنِ السَّلَفِ

PENUTUP

TENTANG MASALAH-MASALAH PENTING

Mengacu yang Lalu, Dikutip Dari Pendapat Ulama Salaf

 

س: هَلْ يَجُوْزُ التَّكَلَّمُ فِيْ ذَاتِهِ؟

ج: لَا يَجُوْزُ التَّكَلَّمُ فِيْ ذَاتِهِ تَعَالَى لِأَنَّ الْعَقْلَ قَاصِرٌ عَنْ إِدْرَاكِ ذَاتِ الْخَالِقِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى، فُكُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلَافِ ذلِكَ.

Soal: Apakah boleh membicarakan Dzāt Allah dengan menggunakan akal?

Jawab: Tidak boleh membicarakan tentang Dzāt Allah s.w.t. dengan akal semata. Sebab akal tidak dapat mengetahui Dzāt Allah Yang Maha Menciptakan. Apa saja yang tergerak dalam hati, maka Allah tidaklah seperti itu.

إِذَا كَانَ الْعَقْلُ لَا يُدْرِكُ ذَاتَهُ تَعَالَى فَكَيْفَ الْوُصُوْلُ إِلَى مَعْفِرَتِهِ تَعَالَى مَعَ أَنَّ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ؟

ج: إِنَّ مَعْرِفَتَهُ تَعَالَى تَحْصُلُ بِمَعْرِفَةِ صِفَاتِهِ مِنَ الْوُجُوْدِ وَ الْقِدَمِ وَ الْبَقَاءِ، وَ مُخَالَفَتِهِ لِلْحَوَادِثِ، وَ الْقِيَامُ بِنَفْسِهِ، وَ الْوَحْدَانِيَّةِ وَ الْحَيَاةِ، وَ الْعِلْمِ، وَ الْقُدْرَةِ، وَ الْإِرَادَةِ، وَ السَّمْعِ، وَ الْبَصَرِ، وَ الْكَلَامِ.

Soal: Kalau akal tidak dapat mengetahui Dzāt Allah s.w.t., maka bagaimanakah untuk sampai kepada mengenal Allah, padahal sesungguhnya mengenal kepada Allah itu wajib bagi semua orang?

Jawab: Sebenarnya mengenal Allah s.w.t. dapat tercapai dengan mengenal sifat-Nya, yakni sifat: wujūd, qidam, baqā’, mukhālafatu lil-ḥawādits, qiyāmuhu binafsih, waḥdāniyyah, ḥayāt, ilmu, qudrat, irādat, sama‘, bashar dan kalām.

 

س: بِأَيِّ شَيْءٍ عَرَفْنَا اللهَ تَعَالَى مَعَ أَنَّنَا مَا رَأَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا؟

ج: عَرَفْنَا وُجُوْدَ اللهِ تَعَالَى وَ بَاقِيَ صِفَاتِهِ بِظُهُوْرِ آثَارِ قُدْرَتِهِ مِنْ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ الْحَادِثَةِ الْمُتْقَنَةِ الْبَدِيْعَةِ الْمُحَيِّرَةِ لِلْعُقُوْلِ: كَالسَّموَاتِ وَ مَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ الشَّمْسِ وَ الْقَمَرِ وَ النَّجُوْمِ، وَ الْأَرْضِ وَ مَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ الْمَعَادِنِ وَ الْأَشْجَارِ وَ غَيْرِ ذلِكَ مِنَ أَنْوَاعِ الْحَيَوَانَاتِ الَّتِيْ مِنْهَا الْإِنْسَانُ الْمَخْلُوْقُ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ، الْمَوْصُوْفُ بِأَنْوَاعِ الْكَمَالِ وَ الْفَضْلِ، الْمُمْتَازُ بِالْعَقْلِ الْقَوِيْمِ فَكَمَا أَنَّ مَنْ شَاهَدَ بِنَاءً عَرَفَ أَنَّ لَهُ بَانِيًا. وَ مَنْ شَاهَدَ كِتَابًا عَرَفَ أَنَّ لَهُ كَاتِبًا وَ إِنْ لَمْ يَرَهُ وَ لَمْ يَسمَعْ خَبَرَهُ، فَكَذلِكَ مَنْ رَأَى هذَا الْعَالَمَ الْمُتْقَنَ الْبَدِيْعَ الْبَاهِرَ عَرَفَ أَنَّ لَهُ مُوْجِدًا قَدِيْمًا عَلِيْمًا مُرِيْدًا قَدِيْرًا حَكِيْمًا.

Soal: Dengan cara apakah kita dapat mengenal Allah s.w.t., padahal kita tidak bisa melihatnya dengan mata?

Jawab: Kita dapat mengenal sifat wujud Allah dan sifat-sifat yang lain dengan memperhatikan bekas-bekas kekuasaan-Nya terhapat makhluk-makhlukNya yang baru, yang dibuat dengan seksama, yang amat indah, yang membingungkan pikiran karena sangat menakjubkan. Seperti adanya langit dan segala isinya, seperti: matahari, bulan, bintang. Adanya bumi dengan segala isinya, seperti: tambang, pohon-pohon dan lain sebagainya, dan dari macam-macam binatang, yang mana setengah daripadanya adalah manusia. Yang disebut terakhir itu adalah makhluk yang dijadikan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yang mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, dan keutamaan yang diistimewakan dengan akalnya yang lurus.

Seperti halnya seseorang yang melihat bangunan, ia mengerti bahwa bangunan tadi tentu ada yang mendirikannya. Orang yang melihat sebuah kitab, ia akan mengerti bahwa sesungguhnya ada penulisnya, sekalipun ia tidak melihat dan tidak mendengar beritanya. Maka demikian juga halnya orang yang melihat alam ini, berjalan dengan seksama, indah dan menakjubkan, niscaya dia mengerti bahwa sesungguhnya alam tadi ada Dzāt yang menciptakannya, yang Terdahulu, yang Maha Mengetahui, yang Maha Berkehendak, Maha Kuasa, dan Maha Bijaksana.

 

س: هَلْ لِهذِهِ الْمَسْئَلَةِ نَظِيْرٌ في الْمَخْلُوْقَاتِ: أَيْ هَلْ يُوْجَدُ فِي الْمَخْلُوْقَاتِ شَيْئٌ نَتَحَقَّقُ وُجُوْدَهُ مَعَ أَنَّا لَا نَرَاهُ؟

ح: نَعَمْ وَ ذلِكَ كَالرُّوْحِ فَإِنَّا نَحْكُمُ بِوُجُوْدِهَا وَ أَنْ لَمْ نَحْظَ بِشُهُوْدِهَا حَيْثُ نَرَى مَا لَهَا مِنَ الْآثَارِ مَعَ أَنَّا لَا نَرَاهَا بِالْأَبْصَارِ وَ لَا نُدْرِكُ حَقِيْقَتَهَا بِالْأَفْكَارِ وَ كَذلِكَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى فَإِنَّهُ وَ إِنْ لَمْ نَرَهُ بِأَبْصَارِنَا وَ لَمْ نُدْرِكْ حَقِيْقَةَ ذَاتِهِ بِأَفْكَارِنَا. نَجْزِمُ بِوُجُوْدِ ذَاتِهِ الْمَوْصُوْفَةِ بِصِفَاتِ الْكَمَالِ نَظَرًا لِمَا نَرَى مِنْ آثَارِ صُنْعِهِ الْبَدِيْعِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى الشَّاهِدِ لَهُ بِلِسَانِ الْحَالِ وَ الْمَقَالِ.

Soal: Apakah masalah ini ada contohnya pada makhluk Allah? Maksudnya, apakah ada sesuatu dari makhluk Allah yang kita tetapkan adanya padahal kita tidak bisa melihatnya.

Jawab: Ya, ruh, misalnya. Sesungguhnya kita menetapkan tentang adanya ruh itu, sekalipun kita tidak dapat melihatnya. Yang kita lihat hanyalah bekas-bekasnya, kita tidak dapat melihatnya dengan mata dan tidak dapat mengetahui hakikat ruh itu dengan pikiran kita.

Dan begitu juga halnya dengan Allah s.w.t. Sesungguhnya meskipun kita tidak dapat melihat dan tidak dapat mengetahui tentang hakikat wujud-Nya dengan pikiran kita, kita dapat menetapkan tentang wujud-Nya Dzāt Allah yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan karena memperhatikan kepada apa yang kita saksikan dari bekas perbuatan-Nya yang indah yang menjadi saksi dalam kenyataan maupun perkataan tentang adanya Allah itu.

س: هَلْ يَجُوْزُ الْخَوْضُ فِيْ حَقِيْقَةِ ذاتِهِ تَعَالَى وَ الْبَحْثُ عَنْ مَاهِيَّتِهَا؟

ج: لَا يَجُوْزُ ذلِكَ لِأَنَّ الْعَقْلَ قَاصِرٌ عَنْ إِدْرَاكِ حَقِيْقَتِهَا، فَالْبَحْثُ عَنْهَا إِضَاعَةُ وَقْتٍ وَ هذَا أَكْبَرُ دَلِيْلٍ عَلَى قَصْرٍ عَقْلِ الْإِنْسَانِ فَإِنَّهُ لَمْ يُدْرِكْ حَقِيْقَةَ رُوْحِهِ مَعَ كَوْنِهَا مَخْلُوْقَةً وَ غَيْرَ خَارِجَةٍ عَنْهُ. لِيَقْطَعَ الْأَمَلَ عَنْ إِدْرَاكِ حَقِيْقَةِ خَالِقَةِ الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ شِبْهٌ.

Soal: Apakah boleh menyelami dan membahas tentang hakikat ruh itu?.

Jawab: Jelas kalau hal itu tidak boleh. Karena sesungguhnya akal kita tidak akan sampai untuk mengetahui hakikatnya. Oleh karena itu, membahas tentang hakikat ruh hanyalah membuang-buang waktu. Inilah sekuat-kuat dalil yang menunjukkan atas ketidakmampuan akal manusia, dikarenakan ia tidak akan dapat mengetahui hakikat ruhnya, padahal ruh itu adalah ciptaan Allah dan tidak keluar dari diri manusia itu sendiri. Maka dari itu, hendaklah manusia menghentikan lamunannya untuk mengetahui hakikat Dzāt Allah yang menciptakan ruh itu, yang tidak ada yang menyamai-Nya.

 

س: هَلْ تُمْكِنُ رُؤْيَةُ اللهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى بِالْبَصَرِ؟

ج: رُؤْيَةُ اللهِ تَعَالَى بِالْبَصَرِ مُمْكِنَةٌ عَقْلًا وَاقِعَةٌ فِي الْجَنَّةِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ نَقْلًا قَالَ اللهُ تَعَالَى: “وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ” فَيَرَوْنَهُ بِالْأَبْصَارِ بِغَيْرِ كَيْفٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَ يُحْجَبُ عَنْهُ الْكَافِرُوْنَ زِيَادَةً لَهُمْ فِي الْحَسْرَةِ وَ النَّدَامَةِ.

Soal: Apakah mungkin melihat Allah s.w.t. dengan mata?

Jawab: Melihat Allah s.w.t. dengan mata adalah termasuk hal yang mungkin terjadi menurut akal. Dan hal ini dapat terjadi di surga bagi orang-orang mu’min menurut akal.

Sebab Allah s.w.t. itu berwujud, padahal segala yang berwujud itu dapat dilihat. Allah berfirman: “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (al-Qiyāmah: 22-23)

Maka dari itu, kelak, ahli surga akan melihat Allah dengan penglihatan mata sedangkan tidak dapat diketahui bagaimana caranya. Dan bagi orang-orang kafir, mereka terhalang untuk dapat melihat. Yang demikian adalah untuk menambah kesedihan dan penyesalan mereka.

 

س: هَلْ إِصَابَةُ الْعَيْنِ حَقٌّ؟

ج: نَعَمْ، وَ ذلِكَ لِأَنَّ بَعْضَ النُّفُوْسِ مِنْ شَأْنِهَا وَ خَوَاصِّهَا أَنَّهَا إِذَا نَظَرَتْ إِلَى شَيْءٍ نَظَرًا اسْتِحْسَانٍ وَ تَعَجُّبٍ يُصَابُ الْمَنْظُوْرُ إِلَيْهِ وَ يَلْحَقُهُ الضَّرَرُ. لكِنَّ هذِهِ النَّفُوْسَ قَلِيْلَةٌ جَدًّا فَلَا يَنْبَغِيْ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُشْغِلَ أَفْكَارَهُ بِذلِكَ، وَ يَنْسِبُ أَكْثَرَ مَا يُصَابُ بِهِ إِلَى إِصَابَةِ الْعَيْنِ أَوْ إِلَى السِّحْرِ كَمَا يَفْعَلُهُ كَثِيْرٌ.

Soal: Apakah terkena penyakit “‘ain” itu benar?

Jawab: Ya. Sebab, sebagian dari jiwa menurut keadaan dan keistimewaannya apabila melihat sesuatu dengan pandangan yang kagum dan menakjubkan, maka yang dipandang itu akan terkena dan selanjutnya terjadi kemudharatan atau bahaya. Tetapi, jiwa yang seperti itu sedikit sekali. Dari itu, tidak pantas bagi manusia bila pikirannya tertuju ke arah itu, dan menggolongkan orang yang tertimpa itu dengan sebutan terkena “‘ain” atau sihir, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan wanita. Karena perbuatan itu benar-benar tergolong tindakan yang tidak terpuji.

 

س: كَيْفَ تُؤَثِّرُ الْعَيْنُ مَعَ كَوْنِهَا أَلْطَفَ أَجْزَاءِ الْإِنْسَانِ وَ عَدَمِ اتِّصَالِهَا بِالْمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ وَ عَدَمِ خُرُوْجِ شَيْءٍ مِنْهَا يَتَّصِلُ بِهِ؟

ج: لَا مَانِعَ أَنْ يَكُوْنَ لِلشَّيْءِ اللَّطِيْفِ تَأْثِيْرٌ قَوِيٌّ، وَ لَا يُشْتَرَطُ فِي التَّأْثِيْرِ الْاِتِّصَالُ فَإِنَّا نَرَى بَعْضَ النَّاسِ مِنْ أَصْحَابِ الْهَيْئَةِ وَ الْاِقْتِدَارِ، إِذَا نَظَرَ إِلَى أَحَدٍ نَظَرَ مُغْضَبٍ، رُبَّمَا يَعْتَرِيْ الْمَنْظُوْرَ إِلَيْهِ الدَّهْشَةُ وَ الْاِرْتِبَاكُ، وَ قَدْ يُفْضِيْ بِهِ الْأَمْرُ إِلَى الْهَلَاكِ. مَعَ أَنَّهُ لَمْ يَتَسَلَّطْ عَلَيْهِ فِيْ ظَاهِرِ الْحِسِّ، وَ لَا حَصَلَ بَيْنَ الْمُؤَثِّرِ وَ الْمُتَأَثِّرِ اتِّصَالٌ وَ مَسٌّ، وَ الْمِغْنَاطِيْسُ يَجْذِبُ الْحَدِيْدَ مَعَ عَدَمِ اتِّصَالِهِ وَ عَدَمِ خُرُوْجِ شَيْءٍ مِنْهُ يُوْجِبُ صُدُوْرَ التَّأْثِيْرُ عَنْهُ، بَلِ الْأُمُوْرُ اللَّطِيْفَةُ أَعْظَمُ آثَارًا مِنَ الْأُمُوْرِ الْكَثِيْفَةِ، فَإِنَّ الْأُمُوْرَ الْجَسِيْمَةَ إِنَّمَا تَصْدُرُ مِنَ الْإِرَادَةِ وَ النِّيَّةِ، وَ هِيَ مِنَ الْأُمُوْرِ الْمَعْنَوِيَّةِ. فَلَا يُسْتَغْرَبُ حِيْنَئِذٍ أَنْ تُؤَثِّرَ الْعَيْنُ فِي الْمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ مَعَ لَطَافَتِهَا وَ عَدَمِ اتِّصَالِهَا بِهِ وَ عَدَمِ خُرُوْجِ شَيْءٍ مِنْهَا.

Soal: Bagaimanakah mata mempunyai pengaruh, padahal mata itu hanya termasuk bagian badan manusia yang lembut dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang dilihat, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari mata itu yang berhubungan dengan sesuatu yang dilihat?

Jawab: Tidak ada yang mengahalangi jika sesuatu yang lembut itu mempunyai pengaruh yang kuat, dan tidak diisyaratkan bahwa adanya pengaruh itu harus ada hubungannya, karena sesungguhnya kita lihat sebagian manusia yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan bila melihat kepada seseorang dengan pandangan yang mengandung amarah, kadang-kadang menyebabkan yang dipandang itu ketakutan dan gemetar, malah bisa menyebabkan kematiannya. Padahal pada lahirnya ia tidak memasukkan sesuatu pada yang dilihatnya dan tidak terjadi antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi hubungan ataupun sentuhan.

Kalau magnit mempunyai kekuatan dapat menarik besi padahal tidak ada hubungan antara magnit dan besi yang ditariknya itu dan tidak keluar sesuatu yang dapat menyebabkan menariknya itu.

Bahkan benda-benda yang lembut lebih besar pengaruhnya daripada benda-benda yang kasar. Karena sesungguhnya perkara-perkara yang besar adalah timbul dari kuatnya kehendak dan niat, sedangkan kehendak dan niat itu termasuk hal yang tidak tampak.

Maka tidak mengherankan kalau mata mempunyai pengaruh terhadap yang dipandangnya sekalipun mata itu sangat lembut, dan tidak ada hubungan atau sesuatu yang keluar dari mata itu.

 

س: مَنْ أَفْضَلُ الْأُمَمِ جَمِيْعًا بَعْدَ الْأَنْبِيَاءِ (ع)؟

ج: أَفْضَلُ الْأُمَمِ جَمِيْعًا بَعْدَ الْأَنْبِيَاءِ هِيَ الْأُمَّةُ الْمُحَمَّدِيَّةُ، وَ أَفْضَلُهَا الصَّحَابَةُ الْكِرَامُ، وَ هُمُ الَّذِيْنَ اجْتَمَعُوْا بِنَبِيِّنَا عَلِيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ وَ آمَنُوْا بِهِ، وَ اتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْ أُنْزِلَ مَعَهُ، وَ أَفْضَلُهُمُ الْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ.

Soal: Umat manakah yang lebih utama sesudah para nabi a.s.?

Jawab: Umat yang lebih utama sesudah para nabi a.s. umat Muḥammad. Dan seutama-utama umat Muḥammad ialah para sahabat Nabi yang mulia. Mereka itulah orang-orang yang langsung bertemu dengan Nabi Muḥammad s.a.w. dan beriman kepadanya. Dan seutama-utamanya para sahabat Nabi ialah empat khalifah (Abū Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān, ‘Alī).

 

س: مَا الْإِسْرَاءُ وَ الْمِعْرَاجُ؟

ج: الْإِسْرَاءُ هُوَ سِيْرُ النَّبِيِّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ مِنْ مَسْجِدِ مَكَّةَ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى فِي الْقُدْسِ فِيْ لَيْلَةٍ. وَ هذَا ثَابِتٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ. وَ الْمِعْرَاجُ هُوَ صُعُوْدُهُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى إِلَى السَّموَاتِ وَاجْتِمَاعُهُ بِالْمَلَلأِ الْأَعْلَى تَشْرِيْفًا لَهُمْ بِهِ، وَ إِكْرَامًا لَهُ. وَ قَدْ ثَبَتَ ذلِكَ بِالْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ، وَ هذَا أَمْرٌ مُمْكِنٌ أَخْبَرَ بِهِ الصَّادِقُ فَيَجِبُ حَمْلُهُ عَلَى ظَاهِرِهِ، وَ لَا يُسْتَغْرَبُ مِمَّنْ سَيَّرَ الطَّيْرَ فِي الْهَوَاءِ، وَ جَعَلَ الْكَوَاكِبَ تَقْطَعُ بِحَرَكَتِهَا فِيْ دَقِيْقَةٍ مَسَافَةً لَا يَقْطَعُهَا النَّاسُ فِيْ مِائَةِ عَامٍ، أَنْ يَرْفَعَ إِلَى السَّمَاءِ فِيْ سَاعَةٍ حَبِيْبَهُ الَّذِي اصْطَفَاهُ عَلَى الْأَنَامِ، فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ وَ بِكُلِّ شَيْءٍ خَبِيْرٌ.

Soal: Apakah yang dimaksud “Isrā’” dam “Mi‘rāj” itu?

Jawab: Isrā’ ialah perjalanan Nabi Muḥammad s.a.w. dari Masjid-il-Ḥarām di Makkah, ke Masjid-il-Aqsā, di Palestina. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’ān-ul-Karīm. Mi‘rāj ialah naiknya Nabi Muḥammad s.a.w. pada malam itu dari Masjid-il-Aqshā ke langit dan berkumpul dengan Malaikat dan para nabi untuk penghormatan bagi mereka dan untuk memuliakan Nabi.

Dan hal itu telah ditetapkan berdasarkkan Hadits shaḥīḥ. Hal ini adalah perkara yang mungkin terjadi yang telah diberitahukan oleh seorang nabi yang selalu benar, yakni Nabi Muḥammad s.a.w. Oleh karena itu, Isrā’ dan Mi‘rāj harus diartikan menurut lahirnya. Dan tidak aneh bahwa Tuhan yang telah menjalankan burung di udara, menjadikan bintang-bintang bergerak cepat dalam tiap detik, sehingga tidak dapat ditempuh oleh manusia dalam seratus tahun, maka Dia mengangkat ke hadirat-Nya seorang yang dikasihi dan telah dipilih melebihi sekalian manusia, ke langit dalam waktu sekejap. Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu dan dengan segala sesuatu, Dia Maha Waspada.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *