6 Tentang Iman Kepada Qadha’ dan Qadar – Jawahir-ul-Kalamiyyah

JAWĀHIR-UL-KALĀMIYYAH
ILMU TAUḤĪD

(Diterjemahkan dari buku aslinya berbahasa
‘Arab Jawahir-ul-Kalimiyyah, karya Syaikh Thahir bin Shaleh al-Jaza’iri)
 
Penerjemah: Ustadz Ja‘far Amir
Penerbit: Raja Murah – Pekalongan

الْمَبْحَثُ السَّادِسُ

فِي الْإِيْمَانِ بِالْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ وَ يَشْتَمِلُ عَلَى سَبْعِ مَسَائِلٍ

PEMBAHASAN KEENAM

Tentang Iman Kepada Qadhā’ dan Qadar

 

س: كَيْفَ الْاِعْتِقَادُ بِالْقَضَاءِ وَ الْقَدَرِ؟

ج: هَوَ أَنْ نَعْتَقِدَ أَنَّ جَمِيْعَ أَفْعَالِ الْعِبَادِ سَوَاءٌ كَانَ إِخْتِيَارِيَّةً مِثْلَ الْقِيَامِ وَ الْقُعُوْدِ وَ الْأَكْلِ وَ الشُّرْبِ، وَ اضْطِرَارِيَّةً مِثْلَ الْوَقُوْعِ كَائِنَةٌ بِإِرَادَةِ اللهِ تَعَالَى وَ تَقْدِيْرِهِ لَهَا فِي الْأَزَلِ وَ عِلْمِهِ بِهَا قَبْلَ وَقْتِهَا.

Soal: Bagaimanakah meyakini tentang qadhā’ dan qadar?

Jawab: Dengan meyakini sesungguhnya semua perbuatan manusia, baik perbuatan itu termasuk ikhtiar, seperti: berdiri, duduk, makan dan minum, maupun karena terpaksa, seperti: jatuh, dan sebagainya, itu terjadi karena irādat (kehendak) dan taqdir Tuhan sejak zaman azali, dan Allah mengetahuinya sebelum waktu terjadinya.

س: إِذَا كَانَ اللهُ تَعَالَى هُوَ الْخَالِقُ لِجَمِيْعِ أَفْعَالِ الْعَبْدِ أَفَلَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ حِيْنَئِذٍ مَجْبُوْرًا فِيْ جَمِيْعِ أَفْعَالِهِ وَ الْمَجْبُوْرُ لَا يَسْتَحِقُّ الثَّوَابَ وَ الْعِقَابَ؟

ج: كَلَّا، لَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مُحْبُوْرًا. لِأَنَّ لَهُ إِرَادَةً جُزْئِيَّةً يَقْدِرُ عَلَى صَرْفِهَا إِلَى جَانِبِ الْخَيْرِ وَ إِلَى جَانِبِ الشَّرِّ وَ لَهُ عَقْلٌ يُمَيِّزُ بِهِ بَيْنُهُمَا. فَإِذَا صَرَفَ إِرَادَتَهُ إِلَى الْخَيْرِ. ظَهَرَ ذلِكَ الْخَيْرُ الَّذِيْ أَرَادَهُ. وَ أُثِيبُ عَلَيْهِ لِظُهُوْرِهِ عَلَى يَدِهِ، وَ تعَلُّقِ إِرَادَتِهِ الْجُزْئِيَّةِ بِهِ. وَ إِنْ صَرَفَهَا إِلَى جَانِبِ الشَّرِّ. ظَهْرًا ذلِكَ الشَّرِّ، وَ عُوْقِبَ عَلَيْهِ لِظُهُوْرِهِ عَلَى يَدِهِ، وَ تَعَلُّقِ إِرَادَتِهِ الْجُزْئِيَّةِ.

Soal: Apabila Allah s.w.t. itu menjadikan semua perbuatan hamba, apakah tidak berarti bahwa yang demikian itu hamba dipaksa dalam melakukan semua perbuatannya, padahal orang yang dipaksa itu tidak berhak mendapatkan pahala atau siksa?

Jawab: Sekali-kali tidak, hamba tidak dipaksa melakukan perbuatannya karena ia juga mempunyai kehendak (irādah juz’iyyah), yang dapat digunakan untuk menuju ke arah kebaikan atau keburukan. Dan ia mempunyai akal sebagai pembeda antara yang baik dan yang buruk.

Maka apabila kehendak itu ditujukan ke arah kebaikan, maka kebaikan yang dikehendakinya itu akan tampak, dan ia diberi pahala karena kebaikan yang tampak pada dirinya dan karena hubungan antara kehendaknya dengan kebaikan yang dikehendakinya itu. Apabila kehendakannya itu ditujukan ke arah keburukan, maka akan tampaklah keburukan yang dikehendakinya itu, dan ia akan disiksa karena hal itu dan karena adanya hubungan antara kehendaknya dengan kejelekan yang dikehendakinya itu.

س: اُذْكُرْ لِيْ مِثَالًا قَرِيْبًا لِلذِّهْنِ يُوَضِّحُ لِيْ أَنَّ الْعَبْدَ لَيْسَ بِمَجْبُوْرٍ عَلَى أَفْعَالِهِ؟

ج: كُلُّ إِنْسَانٍ يُمْكِنُهُ أَنْ يَعْرِفَ بِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَجْبُوْرٍ عَلَى جَمِيْعِ أَفْعَالِهِ وَ ذلِكَ لِتَمْيِيْزِهِ بَيْنَ تَحَرُّكَ يِدِهِ وَقْتَ الْكِتَابِةِ، وَ بَيْنَ تَحَرُّكِ يَدِهِ وَقْتَ الْاِرْتِعَاشِ مَثَلًا، فَإِنَّ تَحَرُّكَ يَدِهِ حَالُ الْكِتَابَةِ يَنْسِبُهُ لِنَفْسِهِ، فَيَقُوْلُ كَتَبْتُ بِاخْتِيَارِيْ وَ بِإِرَادَتِيْ، وَ أَمَّا تَحَرُّكُ يَدِهِ مِنَ الْاِرْتِعَاشِ فَلَا يَنْسِبُهُ لِنَفْسِهِ، وَ لَا يَقُوْلُ أَنَا حَرَّكْتُ يَدِيْ، بَلْ يَقُوْلُ: إِنَّ ذلِكَ وَقَعَ بِغَيْرِ اخْتِيَارِيْ.

Soal: Berikan suatu contoh yang mudah dipikirkan yang mana menjelaskan kalau hamba itu tidak terpaksa dalam melakukan perbuatannya?

Jawab: Tiap-tiap manusia dapat mengerti bahwa ia tidak terpaksa dalam melakukan perbuatannya. Sebagai contoh: ia dapat membedakan antara geraknya tangan sewaktu menulis dan geraknya tangan ketika gemetar. Gerakan tangan sewaktu menulis adalah disandarkan kepada dirinya, sehingga ia dapat berkata: “Saya menulis atas ikhtiar dan kehendakku.” Adapun geraknya tangan ketika gemetar, maka hal itu tidak disandarkan kepada dirinya, hingga ia tidak dapat mengatakan: “Saya gerakkan tanganku,” tetapi ia akan berkata: “Sesungguhnya gerakan tangan itu terjadi tidak dengan ikhtiarku.”

س: مَاذَا يُسْتَفَادُ مِنْهُ أَنَّ كُلَّ إِنْسَانٍ يُدْرِكُ بِأَدْنَى مُلَاحَظَةٍ أَنَّ أَفْعَالَهُ قِسْمَانِ: قِسْمٌ يَكُوْنُ بِاحْتِيَارِهِ وَ إِرَادَتِهِ: مِثْلُ أَكْلِهِ وَ شُرْبِهِ وَ ضَرْبِهِ لِزَيْدٍ وَ نَحْوُ ذلِكَ. وَ قِسْمٌ يَكُوْنُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ مِثْلُ وُقُوْعِهِ.

Soal: Feadah apa yang dapat diambil dari contoh di atas?

Jawab: Feadah yang dapat diambil dari contoh di atas adalah tiap manusia dengan sepintas lalu saja sudah dapat mengerti kalau perbuatan manusia itu ada dua macam: Sebagian karena ikhtiar dan kehendaknya, seperti: makan, minum, memukul Zaid dan lain sebagainya. Dan yang lain bukan karena ikhtiar dan kehendaknya, seperti, terjatuh dan sebagainya.

س: أَيُّ شَيْءٍ يَتَرَتَّبُ عَلَى أَفْعَالِ الْعَبْدِ إِذَا كَانَتْ اِخْتِيَارَيِّةً؟

ج: أَفْعَالُ الْعَبْدِ الْاِخْتِيَارِيَّةُ إِذَا كَانَتْ خَيْرًا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا الثَّوَابُ، وَ إِنْ كَانَ شَرًّا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا الْعِقَابُ. وَ أَمَّا أَفْعَالُهُ الْاِضْطِرَارِيَّةُ فَلَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا شَيْءٌ مِنْ ذلِكَ.

Soal: Apakah sesuatu yang dihasilkan dari perbuatan hamba bila yang dilakukannya terjadi karena ikhtiarnya?

Jawab: Perbuatan hamba atas dasar ikhtiarnya itu bilamana keadaannya baik, maka akan memperoleh pahala. Dan jika keadaannya buruk, maka akan memperoleh siksa. Adapun perbuatan-perbuatannya yang dilakukan karena terpaksa, maka tidak membawa akibat pahala atau siksa.

س: إِذَا ضَرَبَ إِنْسَانٌ غَيْرَهُ ظُلْمًا وَ عُدْوَانًا أَوْ فَعَلَ نَحْوَ ذلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الشَّرِّ وَ الْمَعَاصِيْ ثُمَّ اعْتَذَرَ بِكُوْنِ ذلِكَ مُقَدَّرًا عَلَيْهِ فَهَلْ يُقْبَلُ مِنْهُ ذلِكَ الْاِعْتِذَارُ؟

ج: إِنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنَ الْعَبْدِ الْاِعْتِذَارُ بِالْقَدَرِ لَا عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى. وَ لَا عِنْدَ الْخَلْقِ لِوُجُوْدِ الْإِرَادَةِ الْجُزْئِيَّةِ لَهُ، وَ الْقُدْرَةِ وَ الْاِخْتِيَارِ وَ الْعَقْلِ.

Soal: Apakah seseorang memukul orang lain dengan aniaya atau berbuat semisal itu dari bermacam-macam kejelekan dan kemaksiatan, kemudian dia berpendapat bahwa itu karena telah ditaqdirkan atasnya, apakah alasan itu bisa diterima?

Jawab: Sesungguhnya tidak bisa diterima alasan seorang hamba atas dasar telah ditaqdirkan, baik di sisi Allah s.w.t. ataupun sesama makhluk, karena adanya kehendak yang nyata, juga karena adanya kemampuan mengerjakan; ikhtiar dan akal.

س: اُذْكُرْ خُلَاصَةَ هذَا الْمَبْحَثِ.

ج: إِنَّهُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ إِنْسَانٍ مُكَلَّفٍ أَنْ يَعْتَقِدَ وَ يَجْزِمَ بِأَنَّ جَمِيْعَ أَفْعَالِهِ وَ أَقْوَالِهِ وَ جَمِيْعَ حَرَكَاتِهِ سَوَاءٌ كَانَتْ خَيْرًا أَوْ شَرًّا هِيَ وَاقِعَةٌ بِإِرَادَةِ اللهِ وَ تَقْدِيْرِهِ وَ عِلْمِهِ، لِكِنَّ الْخَيْرَ بِرِضَاهُ، وَ الشَّرَّ لَيْسَ بِرِضَاهُ، وَ أَنَّ لِلْعَبْدِ إِرَادَةً جُزْئِيَّةً فِيْ أَفْعَالِهِ الْاِخْتِيَارِيَّةِ، وَ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى الْخَيْرِ، وَ يُعَاقَبُ عَلَى الشَّرِّ، وَ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ عُذْرٌ فِيْ فِعْلِهِ الشَّرَّ، وَ أَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيْدِ.

Soal: Kesimpulan apakah yang didapat dari pembahasan ini?

Jawab: Sesungguhnya tiap-tiap manusia mukallaf wajib meyakini dan memastikan bahwa sesungguhnya perbuatan, perkataan dan gerak-geriknya, yang baik maupun yang buruk adalah terjadi dengan kehendak Allah, taqdir-Nya dan pengetahuan-Nya. Akan tetapi yang baik diridha’i-Nya dan yang jelek tidak diridha’i-Nya. Dan setiap hamba itu mempunyai kehendak dalam perbuatannya yang tergolong perbuatan ikhtiar, dan sesungguhnya ia diberi pahala karena menjalankan yang baik dan disiksa karena menjalankan yang buruk.

Perlu diketahui bahwa ia tidak bisa mengajukan alasan dalam perbuatannya yang jelek. Dan sesungguhnya Allah tidak menganiaya terhadap hamba-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *