6 Keutamaan Memberi Makan Kepada Orang yang Berbuka Puasa & Malam Lailat-ul-Qadar – Sudah Sahkah Puasa Anda?

SUDAH SAHKAH PUASA ANDA?
 
Penulis: Ust. Segaf Hasan Baharun, S. HI.

 
Penerbit: YAYASAN PONDOK PESANTREN DARULLUGHAH WADDA‘WAH

BAB VI

KEUTAMAAN MEMBERI MAKAN KEPADA ORANG YANG BERBUKA PUASA DAN KEUTAMAAN MALAM LAILAT-UL-QADAR.

A. Keutamaan Memberi Makan Kepada Orang Yang Berbuka Puasa.

Sabda Rasūlullāh s.a.w.:

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِّيْ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلَ أَجْرِهِ. (رواه الترمذي).

Yang artinya:

Barang siapa memberi makan (berbuka) bagi orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahalanya.” (HR. Tirmidzī).

B. Keutamaan Malam Lailat-ul-Qadar.

Malam itu dinamakan malam Lailat-ul-Qadar karena di sisi Allah s.w.t. nilai malam ini sangat agung, juga karena pada malam itu Allah menentukan setiap rizki bagi hambanya dan membaginya.

Berkata Imām Nawawī, bahwa malam Lailat-ul-Qadar paling utamanya malam-malam Allah s.w.t. Allah s.w.t. menjadikan malam itu khusus bagi ummat Nabi Muḥammad s.a.w. Dan malam itu akan tetap bersama ummat ini sampai hari kiamat tiba.

Mengenai keutamaan malam yang agung ini Allah s.w.t. berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. (القدر: 3)

Yang artinya:

Malam Lailat-ul-Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (al-Qadr: 3).

Segala amal baik yang dilakukan pada malam itu dilipat-gandakan pahalanya sehingga seakan-akan seorang hamba beramal selama 1000 bulan, oleh karenanya disunnahkan untuk berusaha mendapatkan malam itu dan banyak melakukan ibadah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (متفق عليه).

Yang artinya:

“Telah bersabda Rasūlullāh s.a.w.: Barang siapa menghidupkan malam Lailat-ul-Qadar dengan ibadah karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah s.w.t., maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Akan tetapi Allah s.w.t. merahasiakan malam itu di antara malam-malam pada bulan Ramadhān, supaya hamba-hambaNya senantiasa giat beribadah setiap malam dengan harapan akan mendapatkan malam Lailat-ul-Qadar, bukan pada malam-malam tertentu saja.

Dan ‘Ulamā’ berbeda pendapat tentang malam itu ada yang mengatakan malam 21, ada yang mengatakan malam 23, dan ada yang mengatakan malam 27 dan lain-lain. Akan tetapi banyak di antara ‘Ulamā’ yang mengatakan bahwa malam itu berada pada malam-malam 10 hari yang terakhir (dari tanggal 21 sampai dengan tanggal 30 Ramadhān).

Dan ada pula yang mengatakan bahwa malam itu berpindah-pindah pada malam yang yang ganjil di antara malam-malam 10 yang terakhir, seperti yang dikatakan oleh Imām Qalyūbī yaitu dengan melihat awal hari dari bulan Ramadhān. Jika awal Ramadhān hari Aḥad (Minggu) atau hari Rabu, maka kemungkinan malam Lailat-ul-Qadar pada malam 29. Atau awal Ramadhān pada hari Jum‘at dan Selasa maka kemungkinan malam Lailat-ul-Qadar pada malam 27. Dan jika awal Ramadhān hari Kamis maka kemungkinan malam Lailat-ul-Qadar pada malam 25, atau jika awal Ramadhān hari Sabtu maka kemungkinan malam Lailat-ul-Qadar pada malam 23 dan jika awal Ramadhān pada hari Senin maka kemungkinan malam Lailat-ul-Qadar pada malam 21.

Adapun tanda-tanda malam Lailat-ul-Qadar adalah udara pada malam itu tidak panas dan tidak dingin dan sinar matahari keesokan harinya tidak terlalu panas.

Faedah mengetahui tanda tersebut, supaya orang yang mengharap Lailat-ul-Qadar masih dapat beribadah pada hari itu dan supaya menjadi pegangan pada tahun yang akan datang, karena sebagian ‘Ulamā’ mengatakan bahwa malam Lailat-ul-Qadar itu tidak berpindah-pindah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *