Para pengikut madzhab Syī‘ah banyak meriwayatkan hadits dari Rasūlullāh Saw melalui jalur para Imām Ahl-ul-Bait a.s. Sebagaimana mereka memiliki peninggalan hadits-hadits yang begitu banyak jumlahnya, dari Imām ‘Alī a.s. dan Imām-Imām yang lain, di mana peninggalan itu menjadi sandaran utama setelah al-Qur’ān dan Sunnah Rasūl Saw bagi segala permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan keislaman dan fiqih menurut madzhab Syī‘ah. Salah satu kitab kumpulan hadits-hadits itu adalah empat kitab yang terkenal: Al-Kāfī, Man Lā Yaḥdhuruh-ul-Faqīh, At-Tahdzīb, dan Al-Istibshār.
Penting sekali untuk ditekankan di sini bahwa keberadaan hadits tertentu dalam salah satu kitab sandaran yang terkenal itu ataupun kitab-kitab standar lainnya tidak dengan otomatis bahwa hadits tersebut dapat dipastikan telah dapat menjadi sandaran. Akan tetapi, setiap hadits memiliki mata rantai sanad yang terlebih dahulu harus dipelajari setiap pribadi yang terlibat dalam penukilan hadits tersebut. Jika terbukti bahwa seluruh pembawa hadits tadi termasuk kategori orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan kepribadiannya, maka hadits tersebut termasuk dalam kategori hadits shaḥīḥ. Jika tidak, maka hadits tersebut termasuk dalam kelompok hadits yang diragukan atau lemah. Permasalahan penting semacam ini sangat dipegang erat oleh para spesialis di bidangnya dan para ulama ilmu Hadits serta ilmu tentang periwayat hadits (rijāl).
Dari sini, jelaslah adanya perbedaan antara pengategorian hadits menurut Syī‘ah dan Ahl-us-Sunnah. Hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab Shaḥīḥ yang terkenal khususnya yang tercantum dalam Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Shaḥīḥ-ul-Muslim merupakan hadits-hadits yang telah dapat dipastikan ke-shaḥīḥ-annya menurut penulis dua kitab hadits itu. Oleh karenanya, secara mutlak seseorang boleh menyandarkan segala yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan Ahl-us-Sunnah dari hadits-hadits manapun yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Adapun para perawi Hadits Syī‘ah hanya berkonsentrasi untuk mengumpulkan hadits-hadits yang dinyatakan sebagai hadits Ahl-ul-Bait a.s. Adapun penentuan ke-shaḥīḥ-an ataupun tidaknya, mereka serahkan tanggung jawab itu kepada disiplin ilmu rijāl yang ada.
Ada dua kitab yang termasuk sandaran terpenting dan merupakan warisan Agung dalam madzhab Syī‘ah, yang pertama adalah kitab Nahj-ul-Balāghah. Kitab ini disusun oleh Syarīf Rādhī pada lebih dari seribu tahun yang lalu. Kitab ini tersusun dari tiga bagian utama: ceramah-ceramah Imām ‘Alī bin Abī Thālib a.s., surat-surat, dan ungkapan ringkasan mutiara-mutiara hikmah beliau. Kitab ini memiliki kapasitas yang luhur, indah dari sisi penyampaiannya dan dengan metode yang sangat ideal. Siapa saja membacanya, niscaya akan terpesona dengan kandungannya yang begitu menarik; apapun agama dan madzhab si pembaca. Andai bukan hanya kaum muslimin saja yang membacanya, bahkan non-muslim sekalipun, jika mereka mengenalnya, niscaya mereka akan mengetahui pandangan Islam yang begitu agung tentang tauhid, asal penciptaan (mabda’), kebangkitan (ma‘ād), segala permasalahan politik, etika dan kemasyarakatan.
Dan yang termasuk peninggalan penting dalam madzhab Syī‘ah, yang kedua, adalah kitab Shaḥīfat-us-Sajjādiyyah. Kitab ini mencakup sekumpulan doa yang paling utama, paling fasih, dan paling indah, di mana kandungannya begitu tinggi dan dalam. Sebenarnya, buku ini mirip dengan apa yang tercantum dalam Nahj-ul-Balāghah, namun berbeda dari sisi metode dan jalur pengungkapannya. Setiap kalimatnya mengajarkan sesuatu yang baru bagi umat manusia. Ia mempersembahkan kepada manusia tata cara berdoa dan bermunajat yang baik kepada Allah SWT. Juga, memberikan pancaran kepada ruh dan jiwa manusia dengan cahaya yang dapat memberikan kejernihan khusus padanya.
Jelaslah, sebagian judul kitab tersebut, kitab kumpulan doa ini diajarkan oleh Imām keempat Syī‘ah, yaitu Imām ‘Alī bin Ḥusain bin ‘Alī bin Abī Thālib a.s., yang terkenal dengan bergelar as-Sajjād. Jika kita kembali kepada kumpulan doa ini, niscaya kita akan dapat menyelami ke dasar makna doa dan merendahkan diri di hadapan Allah SWT dengan jiwa yang dipenuhi dengan cinta kepada Dzāt yang Mahasuci, sehingga kita akan dapat merasakan kepuasan, sebagaimana tumbuh-tumbuhan merasa puas dengan siraman air pada musim hujan.
Hadits-hadits agung Syī‘ah yang mencapai puluhan ribu hadits, banyak diriwayatkan dari Imām kelima dan keenam Syī‘ah, yaitu Imām Muḥammad bin ‘Alī al-Bāqir a.s. dan Imām Ja‘far bin Muḥammad ash-Shādiq a.s., sebagaimana sebagian lagi diriwayatkan dari Imām kedelapan Syī‘ah, yaitu Imām ‘Alī bin Mūsā ar-Ridhā a.s. Hal itu dikarenakan pada masa ketiga Imām di atas, tekanan dinasti Umayyah dan ‘Abbāsiyyah terhadap mereka agak mereda.
Itu merupakan kesempatan untuk mengajarkan hadits-hadits yang didapat dari datuk-datuk mereka, dari Rasūlullāh Saw, yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu dan hukum-hukum Islam. Madzhab Syī‘ah disebut juga madzhab Ja‘farī, dikarenakan banyak hadits-hadits Syī‘ah diriwayatkan dari beliau. Lantaran beliau hidup pada masa peralihan antara Dinasti Umayyah kepada Dinasti ‘Abbāsiyyah, maka tekanan terhadap Syī‘ah agak berkurang.
Telah Masyhur pula bahwa Imām Ja‘far ash-Shādiq a.s. telah menghasilkan empat ribu murid dalam bidang hadits, pengetahuan umum, dan fikih. Bahkan, Imām madzhab Ḥanafī, yang dikenal dengan sebutan Abū Ḥanīfah, dalam ungkapan ringkasannya saat menjelaskan sifat beliau, berkata: “Aku tidak melihat pribadi yang lebih dalam ilmunya dibandingkan Ja‘far bin Muḥammad.”
Sebagaimana, Imām Mālik bin Anas juga pernah mengatakan tentang beliau dengan ungkapan berikut, “Sejak lama aku selalu mondar-mandir menemuinya; aku tidak melihatnya kecuali dia dalam keadaan tiga hal; sedang melakukan shalat, berpuasa, atau sedang membaca al-Qur’ān. Dan tidak pernah aku melihatnya berbicara, kecuali dalam keadaan suci (dari ḥadats).”
Dan masih banyak lagi kesaksian-kesaksian dari para pemuka ulama Islam mengenai keutamaan para imam suci Ahl-ul-Bait as yang tidak mungkin kita sebutkan seluruhnya di sini.
Kita meyakini, Syī‘ah memiliki peran penting dalam kemunculan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Bahkan, sebagian kalangan menganggap bahwa kaum Syī‘ah merupakan sumber berbagai ilmu keislaman. Hal itu dikarenakan Syī‘ah telah mengeluarkan banyak karya tulis yang dapat dijadikan sandaran, sebagai bukti pendapat di atas. Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa paling tidak, peran aktif yang diberikan oleh kelompok ini dalam memunculkan berbagai disiplin ilmu tidak dapat digantikan oleh siapapun.
Sebagai bukti, dapat disaksikan betapa banyak karya dari berbagai disiplin ilmu keislaman yang dikarang oleh para pemuka ulama Syī‘ah. Ribuan karya tulis dalam bidang ilmu fikih maupun ilmu ushul fikih yang tak terhitung jumlahnya, sebagaimana juga ribuan Kitāb Tafsīr dan disiplin ilmu al-Qur’ān (‘ulūm al-Qur’ān). Ribuan kitab telah ditulis berkenaan dengan akidah dan kalām (teologi), coba ribuan bidang ilmu ilmu lainnya. Banyak di antara buku-buku dari bidang-bidang yang telah kita sebutkan tersebut masih tersimpan dan tertata rapih dalam banyak perpustakaan kita maupun perpustakaan terkenal lainnya di seluruh penjuru dunia, yang dapat dikunjungi setiap saat, untuk membuktikan kebenaran apa yang telah kita sebutkan. Salah seorang ulama terkemuka Syī‘ah berhasil mengumpulkan data-data tentang kumpulan kitab-kitab yang pernah ditulis, di mana kumpulan data tentang buku-buku tersebut telah ditulis dalam 26 (dua puluh enam) jilid tebal.
Dapat kita sebutkan di sini bahwa jerih payah ini membutuhkan waktu yang relatif panjang. Selang waktu sekian lama itu memerlukan konsentrasi penuh dalam mencurahkan daya upaya guna menghidupkan kembali warisan keilmuan Syī‘ah dan menyingkap kitab-kitab mereka, baik yang telah dicetak maupun yang masih berupa tulisan tangan. Sebagaimana ratusan, atau bahkan ribuan, kitab-kitab baru telah ditulis dari berbagai disiplin ilmu, selama selang waktu yang ada.
Kita meyakini, kejujuran, memegang amanat, dan keikhlasan merupakan tonggak utama Islam.
Allah SWT berfirman:
Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (Al-Mā’idah: 119)
Dari ayat-ayat al-Qur’ān dapat diambil pelajaran bahwa manusia akan dibalas pada hari kiamat kelak sesuai dengan kejujuran dan keikhlasannya (dalam keimanan, perilaku, semua perjanjiannya dengan Allah, dan semua perkara yang berkaitan dengan kehidupannya):
Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya. (al-Aḥzāb: 24)
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan yang telah lalu, al-Qur’ān mengharuskan kita untuk berlaku jujur dan benar, juga mewajibkan kita untuk bersama orang-orang yang suci dan benar:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Derajat penting perkara ini mencapai taraf bahwa perintah itupun tertuju pada Nabi-Nya, sehingga Allah menyuruh untuk masuk dan keluar dari suatu perbuatan melalui kebenaran:
Dan katakanlah, “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar.” (al-Isrā’: 80)
Juga, tentang pentingnya kebenaran, dalam banyak riwayat disebutkan:
“Sesungguhnya Allah tiada mengutus seorang nabi kecuali dengan dasar kebenaran ucapan dan penyampaian amanat kepada orang baik maupun yang buruk.”
Sebagaimana yang tercantum dalam banyak ayat maupun riwayat, maka kita telah berusaha secara optimal untuk menerapkan kebenaran, kejujuran, dan ketelitian pada setiap bagian pembahasan buku ini serta menjauhkan diri dari segala hal yang bertentangan dengan kebenaran dan amanat. Dengan harapan, semoga kasih sayang Allah tertuju kepada kita dalam menyampaikan amanat ajaran ini. Hanya Allah SWT saja yang dapat menganugerahkan segala bentuk pertolongan.