6-5 Masalah Umum – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 006 Masalah Umum | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

Pernikahan Temporer (Mut‘ah)

Kita meyakini, perkawinan temporer merupakan jenis pernikahan yang legal (masyrū‘). Pernikahan jenis ini dalam fikih Islam lebih dikenal dengan sebutan nikah mut‘ah. Karena itu, pernikahan dalam Islam terdapat dua jenis, pertama, nikah permanen (dā’im) yang tidak memiliki batasan waktu dan, kedua, nikah temporer (mut‘ah) yang memiliki batasan waktu sesuai kesepakatan kedua belah pihak lelaki dan perempuan.

Pernikahan mut‘ah memiliki kesamaan dengan nikah dā’im dalam banyak hal, seperti adanya mahar, tidak adanya penghalang bagi pihak wanita untuk melaksanakan pernikahan, hukum-hukum yang berhubungan dengan anak yang dihasilkan dari pernikahan, dan keharusan melaksanakan masa ‘iddah selepas perpisahan dengan suami.

Dengan kata lain, nikah mut‘ah memiliki berbagai syarat dan kekhususan, sebagaimana lazimnya sebuah pernikahan. Tentu saja, terdapat hal-hal yang membedakan antara nikah mut‘ah dengan nikah dā’im. Seperti, dalam nikah mut‘ah, lelaki tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada pihak istri dan tidak ada ketentuan untuk saling mewarisi antara keduanya (akan tetapi, anak hasil pernikahan ini tetap mewarisi kedua orang tuanya, begitu pula sebaliknya, orang tua mewarisi sang anak).

Semua hukum yang ada mengenai jenis pernikahan mut‘ah ini berdasarkan kepada ayat al-Qur’ān, di mana Allah SWT berfirman:

Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka bayaran (mahar).(An-Nisā’: 24)

Banyak di antara para pemuka ahli tafsir dan periwayat Hadits terkenal menyatakan secara jelas bahwa ayat ini berkaitan dengan perkawinan mut’ah. Dalam Tafsīr ath-Thabarī dikemukakan banyak sekali riwayat, yang semuanya menjelaskan tentang permasalahan tersebut sebagai penjelas ayat di atas. Dan banyak pula kesaksian dari para sahabat perihal masalah tersebut.

Sebagaimana, Anda dapat menemukan banyak riwayat yang menjelaskan tentang makna ayat di atas berkaitan dengan dibolehkannya nikah mut‘ah dalam kitab Tafsir ad-Durr al-Mantsūr dan Sunan al-Baihaqī.

Kitab Shaḥīḥ al-Bukhārī, Musnad Aḥmad bin Ḥanbal, Shaḥīḥ Muslim dan kitab-kitab standar lainnya telah menjelaskan tentang dilakukannya nikah mut‘ah pada zaman Rasūlullāh Saw, sebagaimana juga terdapat hadits lain yang menentangnya.

Sebagian pakar fiqih Ahl-us-Sunnah meyakini bahwa pernikahan mut‘ah pernah diberlakukan pada zaman Nabi Saw, namun lantas dihapus (naskh) hukum kebolehannya. Padahal, sebagian lagi meyakini bahwa yang menghapus hukum nikah mut‘ah adalah ‘Umar bin Khaththāb di akhir-akhir hayatnya. Mereka berdalih dengan ungkapan ‘Umar: “Ada dua jenis mut‘ah yang terdapat (dan diperbolehkan) pada zaman Rasūl Saw, namun Aku mengharamkan keduanya dan menghukum pelakunya; mut‘ah perempuan dan mut‘ah haji.

Tidak diragukan lagi, terdapat perbedaan pendapat tentang hukum Islam ini di antara para perawi hadits dari kalangan Ahl-us-Sunnah sendiri, sebagaimana juga hukum-hukum lainnya. Sebagian di antara mereka menyangka bahwa hukum itu telah dihapus semenjak zaman Rasūl Saw. Sebagian lainnya menyangka bahwa proses penghapusan itu terjadi setelah zaman kekhalifahan ‘Umar. Sementara itu, bagaimana mungkin sebagian kelompok kecil dapat mengingkari hukum itu secara keseluruhan?

Tentu saja, perbedaan semacam itu merupakan hal yang lumrah dalam banyak persoalan hukum fikih. Namun, seluruh ulama Syī‘ah sepakat bahwa pernikahan jenis ini memiliki legalitas hukum yang jelas, tidak pernah dihapus oleh Nabi Saw, dan tidak mungkin pula dihapus pasca Rasūlullāh Saw, dikarenakan tidak ada seorang pun yang berhak menghapus hukum syariat.

Alhasil, kita berkeyakinan bahwa pernikahan mut’ah mampu menjawab dengan syarat, jika tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semua problema dan kebutuhan masyarakat. Khususnya, bagi para pemuda yang belum beroleh kesempatan atau kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dā’im. Atau, bagi para musafir yang meninggalkan keluarganya hingga jangka waktu yang agak lama guna melakukan tugas perdagangan, belajar, atau semisalnya.

Pengharaman nikah jenis ini akan menyebabkan terbukanya pintu perzinaan dan kekejian. Teristimewa, di zaman kita sekarang ini, di mana telah terjadi peningkatan (penundaan) usia pernikahan dā’im dikarenakan berbagai sebab, sementara di sisi lain, banyak faktor yang menyebabkan bangkitnya gairah seksual. Apabila pintu penghalalan nikah mut‘ah ditutup rapat-rapat, niscaya tanpa diragukan lagi akan terbukalah lebar-lebar pintu perbuatan keji.

Perlu ditekankan kembali bahwa kita sangat menentang keras pelaku dan pihak-pihak yang menyalahgunakan hukum syariat tersebut serta menjadikannya sebagai sarana untuk mengumbar dan menuhankan hawa nafsu seksual. Juga, sebagai alat untuk menjerumuskan para wanita ke dalam jurang kerusakan dan kehinaan. Tentu saja, penyalahgunaan yang dilakukan sebagian oknum tidaklah pantas dapat dijadikan sebagai sebab pelarangannya secara keseluruhan. Sebaliknya, perlu diberlakukan tindakan tegas terhadap orang-orang yang menyalahgunakan jenis pernikahan ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *