Kita meyakini bahwa sewaktu melakukan shalat, kita diwajibkan untuk sujud di atas tanah atau segala hal yang termasuk bagian dari tanah atau juga sesuatu yang tumbuh dari tanah, seperti dedaunan, ranting, dan semua tumbuh-tumbuhan “kecuali yang dapat dimakan atau dikenakan.”
Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa kita tidak boleh sujud di atas sajadah (alat shalat). Ya, kita lebih mengutamakan untuk sujud di atas tanah dibanding sujud di atas apapun jua. Untuk dapat mempermudah melaksanakan hal tersebut, kebanyakan para pengikut Syī‘ah kemudian selalu menyimpan sepotong tanah kering yang telah dicetak dan suci dari najis. Mereka mengistilahkan tanah jenis itu dengan turbah, untuk digunakan sujud di atasnya sewaktu melakukan shalat.
Pendapat tersebut kita sandarkan kepada hadits Nabi Saw, di mana beliau bersabda: “Dijadikan tanah bagiku untuk masjid (tempat sujud dan bersuci).”
Yang dimaksud dengan masjid di sini adalah tempat sujud. Hadits semacam ini telah dinukil di berbagai kitab shaḥīḥ dan selainnya.
Adakalanya, orang mengartikan bahwa masjid dalam hadits tersebut bukanlah berarti tempat sujud, namun tempat shalat sebagai lawan dari makna orang yang melakukan shalat hanya di tempat terbatas. Akan tetapi, jika dilihat dari pengertian thahūr dalam hadits tersebut yang berarti “tanah untuk bertayammum”, maka masjid berarti tempat untuk bersujud. Jadi, selain merupakan sarana untuk bersuci, tanah sekaligus juga merupakan tempat bersujud.
Itu sesuai dengan hadits-hadits yang telah diriwayatkan dari para Imām Ahl-ul-Bait a.s. yang berkaitan dengan topik tersebut; terdapat penekanan bahwa tempat sujud haruslah berbentuk tanah, batu, atau semisalnya.
Kita meyakini bahwa ziarah ke makam Nabi Saw, para Imām Ahl-ul-Bait a.s., dan pemuka ulama yang gugur di jalan Allah merupakan perbuatan yang sangat ditekankan.
Hal itu telah disebutkan dalam berbagai kitab ulama Ahl-us-Sunnah, di mana banyak dinukil berbagai riwayat dengan jumlah tidak sedikit yang membahas tentang keutamaan berziarah ke makam Nabi Saw. Sebagaimana, hal itu pun banyak disebutkan dalam kitab-kitab Syī‘ah. Bahkan, jika riwayat-riwayat tersebut dikumpulkan, maka hal itu akan menjadi sebuah buku tersendiri yang membahas perihal tersebut.
Para pemuka ulama Islam beserta pengikutnya dari berbagai kelompok dan di sepanjang sejarah sangat memperhatikan pentingnya perbuatan itu. Banyak hal yang dapat diungkap dari kitab-kitab yang ada berkaitan dengan penjelasan tentang keadaan dan pengalaman pribadi yang beroleh kesempatan untuk ziarah kubur Nabi Saw, para Imām Ahl-ul-Bait a.s., dan para pemuka ulama Islam. Sehingga, dapat dikatakan bahwa menziarahi makam merupakan hal yang telah menjadi kesepakatan umat Islam.
Dengan demikian, harus dibedakan antara melakukan ziarah dengan melakukan peribadahan. Ibadah hanya dikhususkan untuk Allah SWT semata. Adapun ziarah adalah untuk menghormati dan mengenang pribadi-pribadi muslim yang agung serta meminta syafa‘at mereka di sisi Allah SWT. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi Saw selalu memarahi pemakaman Baqī’ serta mengucapkan salam kepada penghuni kubur.
Oleh karena itu, tidak layak bagi siapapun untuk meragukan legalitas perbuatan ini dari sisi hukum fiqih.
Kita meyakini bahwa mengadakan acara duka untuk para pejuang Islam yang telah gugur (syuhadā’) khususnya para syuhadā’ dalam peristiwa Karbalā’ merupakan bentuk upaya untuk mengenang pengorbanan mereka dalam perjuangan untuk meneruskan dan mengabdikan berdirinya agama Islam.
Atas dasar itulah, maka kita pun mengadakan acara-acara tersebut pada hari-hari peringatan di setiap tahun, khususnya pada hari hari ‘Āsyurā’ (sepuluh hari pertama bulan Muḥarram), guna memperingati kesyahidan Ḥusain bin ‘Alī a.s., penghulu para pemuda surga, Putra Fāthimah al-Zahrā’ binti Rasūlullāh Saw. Dalam acara itu, kita menganalisa sejarah hidup, perjuangan, dan gerakan para syuhadā’ tersebut. Kita juga membahas tentang Tujuan perjuangan mereka dan memberikan penghormatan kepada ruh-ruh suci mereka.
Kita juga meyakini bahwa Bani Umayyah telah banyak mengubah sunnah-sunnah Rasūlullāh Saw, sebagaimana mereka telah bergegas untuk menguasai kepemimpinan Islam.
Pada tahun 61 Hijriyah, Imām Ḥusain bin ‘Alī a.s. telah melakukan revolusi melawan Yazīd sang durjana, yang telah keluar dari Islam. Akan tetapi sangat disayangkan Yazīd telah berhasil merampas kursi kekhalifahan dalam Islam. Kendati Imām Ḥusain a.s. beserta para sahabat setia beliau semuanya gugur di daerah yang bernama Karbalā’ dan seluruh anggota keluarga beliau ditawan, namun darah suci beliau telah menyebar dan memberikan semangat baru bagi kaum muslimin saat itu. Berkat gerakan itulah maka semangat untuk melakukan revolusi akhirnya bermunculan guna menentang Bani Umayyah.
Semangat-semangat juang datang silih berganti untuk menentang kezhaliman, keangkaramurkaan dan kesewenang-wenangan, sehingga mampu membinasakan dan menggulung kegelapan yang telah meliputi zaman itu. Perlu digarisbawahi bahwa segenap gerakan yang terjadi pasca peristiwa ‘Āsyurā’ dalam melawan Bani Umayyah memiliki semangat dan pesan “demi meraih keridhaan keluarga Muḥammad” atau “demi meneruskan perjuangan al-Ḥusain.” Semangat dan pesan tersebut terus ditumbuhkan hingga masa ketika kekhalifahan dirampas oleh dinasti ‘Abbāsiyyah yang zhalim dan semena-mena.
Saat ini, kebangkitan heroik yang dilakukan oleh Imām Ḥusain a.s. menjadi dasar gerakan Syī‘ah dalam menghadapi berbagai bentuk kezhaliman, kesewenang-wenangan, dan keangkaramurkaan. Slogan-slogan seperti “jauhkan diri dari kehinaan” dan “hidup tiada lain adalah berkeyakinan dan berjihad” yang terilhami oleh peristiwa berdarah di Padang Karbalā’ telah terjadi penyemangat dalam menghadapi penguasa zhalim dan melepaskan diri dari cengkraman para pezhalim; meniru apa yang telah dilakukan al-Ḥusain beserta sahabat-sahabat beliau (pesan-pesan semacam itu juga telah digunakan dalam revolusi Islam di Iran untuk menghadapi kezhaliman dan keangkaramurkaan).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan selalu mengingat para syuhadā’ Islam khususnya para syuhadā’ di Medan Karbalā’ akan dapat memperbaharui dan menghidupkan kembali ruh perjuangan, kesyahidan, dan pengorbanan dalam diri kita, demi akidah dan keimanan. Mengenang para syuhadā’ juga akan mampu memberikan pelajaran penting kepada diri kita tentang kedudukan tinggi, kemuliaan, dan tidak merendah di hadapan pelaku zhalim. Semua itu merupakan tujuan utama dalam menghidupkan dan mengadakan acara peringatan-peringatan kesedihan serta pengulangan hal-hal seperti itu di setiap tahun.
Boleh jadi, banyak sekali orang yang tidak memahami apa sebenarnya yang dilakukan dalam acara-acara tersebut. Sebagian menyangka, peringatan itu hanya sekedar mengingat kembali peristiwa sejarah yang telah lama terkubur dalam ingatan. Namun, kita sangat menghargai dengan baik apapun yang telah dan akan ditinggalkan oleh pesan dan semangat semacam itu, di mana sangat berpengaruh dalam sejarah kehidupan kita, baik yang telah, sedang maupun yang akan terjadi.
Semua orang mengetahui pesan-pesan kesedihan yang pernah diungkapkan oleh Rasūlullāh Saw di awal kemunculan Islam sekaitan dengan mendiang pamannya, Ḥamzah penghulu para Syahīd yang gugur dalam peperangan di Uhud. Semua kejadian itu telah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah terkemuka.
Secara ringkas disebutkan bahwa sewaktu Rasūlullāh Saw berjalan di dekat salah satu rumah kaum Anshār, di situ beliau mendengar suara isak tangis. Kemudian, tampaklah mata Suci beliau berkaca-kaca seraya bersabda:
“Namun Ḥamzah tiada yang menangisinya.”
Mendengar itu, Sa‘ad bin Mu‘ādz bergegas menuju Bani Abd-ul-Asyhal, kemudian memerintahkan para wanita mereka untuk pergi menuju rumah Ḥamzah, paman Rasūl Saw untuk mengadakan acara duka.
Tentu saja, pelaksanaan acara-acara kesedihan bukanlah hanya dikhususkan untuk Ḥamzah r.a. saja. Namun, hal itu harus dilaksanakan bagi segenap Syuhadā’, untuk menjaga apa yang telah mereka bangun bagi generasi mendatang, dan untuk mentransfusikan darah semangat baru pada nadi setiap umat.
Sebagaimana, yang terjadi pada saat saya menuliskan paragraf ini di hari ‘Āsyurā’ (tanggal 10 bulan Muḥarram) pada tahun 1417 Hijriah. Saat itu, dunia Syī‘ah tengah dipenuhi oleh gelombang gelora yang membara, warna hitam yang membalut tubuh orang tua, muda, lelaki, dan perempuan untuk mengikuti upacara kesedihan; mengenang gugurnya Imām Ḥusain a.s. beserta para syuhadā’ lain yang gugur di Padang Karbalā’.
Dalam jiwa dan pikiran mereka berlangsung perubahan yang begitu dalam, sehingga apabila mereka diseru untuk memerangi musuh-musuh Islam, maka dalam waktu yang relatif singkat mereka akan siap memanggul senjata guna menghadapi musuh di medan perang mengorbankan apapun yang mereka miliki. Seakan-akan, darah para syuhadā’ telah mengaliri semua urat nadi manusia. Mereka seolah-olah melihat Imām Ḥusain a.s. beserta seluruh sahabat beliau berjuang di medan pengorbanan guna menegakkan agama Islam dan meniti jalan Allah SWT.
Adapun pesan perjuangan yang didengung-dengungkan dalam peringatan agung itu dipenuhi dengan makna dan kehidupan, yang menyerukan perlawanan terhadap kolonialisme dan penjajah, serta menyuruh agar tidak tunduk di hadapan pelaku zhalim dan lebih mengutamakan mati dengan penuh kemuliaan dibanding hidup dalam kehinaan.
Kita meyakini, pesan-pesan itu merupakan harta sangat berharga yang harus dijaga agar dapat diambil hasilnya dalam menghidupkan kembali semangat keislaman, keimanan, dan ketaqwaan.