6-3 Batas Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan – Desain Ilahi

DESAIN ILAHI
Dalil Keterciptaan Alam

Diterjemahkan dari Chance or Creation: God’s Design in the Universe
Karangan: Abū ‘Utsmān al-Jāhiz

Penerjemah: Satrio Wahono
Penerbit: PT SERAMBI ILMU SEMESTA

(Diketik oleh: IBU DWI WIDY)

Rangkaian Pos: 006 Argumen Filosofis - Desain Ilahi

BATAS PENGETAHUAN MANUSIA TENTANG TUHAN

Yang lebih mengejutkan lagi adalah orang yang mengingkari Tuhan karena mereka ingin mengindrai langsung sesuatu yang tak bisa dijangkau pikiran. Ketika tidak bisa melakukan ini, mereka melakukan penolakan dan pengingkaran dengan berkata, “Mengapa pikiran tidak bisa menjangkau Tuhan?” kami menjawab, “Dia berada di luar jangkauan pikiran. Penglihatan tidak bisa memandang apa yang ada di luar jangkauannya. Jika Anda melihat batu melayang di udara, Anda tahu seseorang telah melemparnya, sedangkan fakta ada seorang pelempar bukanlah satu kesimpulan visual, melainkan kesimpulan mental. Hal ini karena pikiran tidak bisa secara benar memutuskan batu itu melayang sendiri. Tidakkah Anda memahami betapa penglihatan tidak bisa melampaui batas kemampuannya? Sama pula, pikiran tidak bisa menjangkau hal di luar tataran pengetahuannya tentang Tuhan.” Kemudian mereka berhujah, “Jadi, kita tak dapat menjangkau Tuhan?” kami menjawab, “Dapat! Tataran pemahaman kita adalah tataran penegasan, bukan tataran pemahaman penuh. Ini ibarat seseorang mengetahui bahwa dalam dirinya ada roh, meskipun ia tidak dapat melihatnya atau mengindrainya.

Contoh lainnya adalah dalam ketidakterbagian sebuah titik. Pikiran meneguhkan eksistensi titik dengan melihat sebuah garis harus bermula dari titik, padahal titik ini tidak bisa di indrai, karena sebuah titik yang bisa diamati indra pastilah sesuatu yang bisa terbagi. Pakar geometri mengajarkan bahwa segitiga adalah satu abstraksi mental. Tetapi, gambar segitiga yang terdiri dari garis-garis yang bisa diamati indra tidaklah lepas dari ketidak sempurnaan, meskipun kita berupaya sekuat mungkin untuk itu. Berdasarkan ini, kita mengatakan bahwa pikiran mengenal Sang Pencipta dan deduksi dan bukti. Bukan dari indra dan pemahaman. Pendek kata, pikiran mengenal Tuhan melalui kebutuhan untuk meneguhkan-Nya. Bukan melalui kebutuhan untuk memahami sifat-sifat-Nya. Orang kafir kemudian berkata, “Bagaimana mungkin seorang budak rendah menuntut mengenal-Nya jika pikiran subtil tidak bisa menjangkau-Nya?” kami menjawab, “Budak dituntut hanya sebatas kemampuannya, yaitu untuk mempercayai Tuhan dan beramal menurut perintah-Nya. Demikian pula, seorang raja tidak memerintahkan rakyatnya untuk mengetahui apakah sang raja itu tinggi atau pendek, berkulit putih atau gelap. Sang raja hanya memerintahkan rakyat untuk tunduk kepada kekuasaannya dan tidak melanggar batas-batas yang ia tetapkan, jika seseorang datang ke istana raja dan menuntut, “hadirkanlah diri paduka kepada hamba, supaya hamba bisa mengenal paduka lebih dalam. Kalau tidak, hamba tidak akan mendengarkan kata-kata paduka.” Maka tidakkah Anda akan sepakat bahwa sang hamba ini patut dihukum? Begitu pula seseorang yang tidak mau mempercayai Sang Pencipta sebelum dia memahami hakikat-Nya: ia juga patut mendapatkan murka-Nya.

Kaum kafir terus berhujah, “Bukankah dengan menggambarkan Tuhan sebagai Mahakuat, Mahabijaksana, Mahapemurah, juga bisa dikatakan upaya pemahaman?”. Kami menjawab, “Ini adalah kata-kata peneguhan, pengakuan, dan kesaksian, bukan kata-kata pemahaman. Kita tahu, Dia Mahabijaksana, tapi kita tidak memahami hakikat kebijaksanaan-Nya. kita juga tidak memahami makna “berkuasa” dan “pemurah” dan makna sifat-sifat yang lain. Kita bisa melihat langit, samudera namun tidak tahu kemana ia bermuara, sedangkan Tuhan berada di luar segala perbandingan. Semua analogi, meskipun bisa menuntun pikiran untuk mengenal-Nya, tetap saja mengandung cacat.”

Kemudian, kaum kafir berkata, “Lalu, mengapa ada perbedaan pendapat tentang-Nya?” kami menjawab, “Karena daya duga kita tidak mampu memahami kebesaran-Nya, dan daya duga itu mencoba melangkah melampaui sekadar penegasan untuk mengenal-Nya; kita berusaha memahami-Nya padahal kita bahkan tidak mampu menangkap realitas yang lebih kecil. Mengapa, misalnya: begitu banyak pendapat mengenai matahari, yang kita lihat setiap hari menyinari dunia tapi tanpa mengetahui hakikatnya? Kaum filsuf berbeda pendapat, ketika menggambarkan matahari. Anaximenes mengatakan, matahari itu adalah lapisan langit yang berlubang, penuh dengan api, dan memiliki mulut yang menghembuskan panas dan cahaya; xenophenes menyatakan, matahari adalah campuran unsur-unsur api yang dipantik oleh uap basah, sedangkan Anaximenes mengatakan, matahari itu adalah awan yang berkobar. Philolaus yang Pytahagoeran, di sisi lain mengatakan, matahari adalah kaca yang menyerap inti panas alam semesta dan memantulkan cahaya panas itu ke bumi. Kaum Stoa mengatakan, matahari sebagai esensi lembut yang muncul dari laut; Plato mengatakan, matahari adalah kumpulan kepingan-kepingan api; adapun Aristoteles mengatakan, matahari sebagai unsur kelima, tambahan dari empat unsur yang biasa kita kenal. Para filsuf juga tidak punya kata sepakat mengenai bentuk matahari. Anaximenes mengatakan, matahari seperti lempengan luas, kaum Stoa mengatakan seperti bola yang bergulir, dan Aristoteles mengatakan hal serupa. Para filsuf juga berbeda pendapat mengenai ukuran matahari. Anaximandros mengatakan, matahari itu sama besar dengan bumi. Anaximenes mengatakan lebih kecil, sedangkan Anaxagoras mengatakan matahari itu sebesar kaki manusia, sementara ahli geometri menyatakan matahari itu 170 kali lebih besar daripada bumi. Perbedaan pendapat tentang matahari ini, yang bisa diindrai dan dilihat mata, adalah bukti para filsuf itu tidak mengetahui hakikat matahari. Jadi, jika matahari saja, yang bisa dilihat dan diindrai itu, sudah membingungkan pikiran dan membuat para filsuf kesulitan memahami sifatnya, apalagi dengan sesuatu yang tidak bisa diindrai dan berada di luar jangakauan daya duga?”

Kaum kafir berkata lebih lanjut, “Mengapa Dia menutupi diri-Nya?” Kami menjawab, “Dia tidak menutupi diri-Nya dengan sesuatu yang Dia buat, sebagaimana seserang menutupi dirinya dari orang luar dengan pintu dan tirai. Yang kami maksudkan dengan “tersembunyi” adalah Tuhan itu selalu subtil untuk bisa dilihat.” Jika kita menanyakan mengapa Dia selalu subtil dan terlalu tinggi, hal itu adalah pertanyaan tak bermakna, karena sudah jelas bahwa penyebab segala sesuatu (Prima Causa) itu haruslah melampaui dan melebihi segala sesuatu itu. Hanya ada emapat cara bagi kita untuk mengetahui sesuatu: pertama, adalah rasa ingin tahu, “Apakah sesuatu itu ada atau tidak?” Kedua, adalah mengetahui hakikatnya; ketiga, adalah mengetahui struktur dan sifatnya; dan keempat, adalah mengetahui penyebabnya. Makhluk tidak dapat benar-benar mengetahui Penciptanya lewat keempat cara ini, melainkan hanya mengetahui bahwa Dia itu ada. Pengetahuan penuh tentang hakikat Tuhan – apa dan bagaimana Dia sebenarnya – tidak bisa dicapai makhluk. Dia tidak mempunyai penyebab eksistensi, karena Dia adalah penyebab segala sesuatu dan tidak disebabkan oleh sesuatu. Bagi manusia, mengetahui bahwa Tuhan itu ada tidak perlu sampai mereka harus mengetahui apa dan bagaimana Dia. Sama pula, pengetahuan mereka bahwa roh itu ada tidak menuntut mereka mengetahui apa dan bagaimana roh itu. Hal yang sama juga berlaku buat benda-benda spiritual dan imaterial lainnya.

Kaum kafir kemudian mengeluh, “Anda begitu berlebihan menggambarkan bagaimana pengetauan itu tak menjangkau Tuhan, sehingga seakan-akan Dia tidak bisa kita mengetahui sama sekali.” Kami menjawab, “Itu benar jika yang Anda maksudkan bahwa pikiran ingin mengetahui esensi-Nya dan ingin mencerap-Nya. Di sisi lain, ketika Anda mencari pengetahuan tentang-Nya melalui bukti dan petunjuk yang cukup, Dia lebih dekat dari segala sesuatu yang terdekat dengan Anda. Aristoteles memberikan solusi serupa dalam bukunya, Metaphysics. Dia menggambarkan Tuhan dengan mengatakan, Dia dekat sekaligus jauh. Di satu sisi, Tuhan tidak tersembunyi dari orang manapun; di sisi lain, Dia seperti misteri yang tidak bisa dipecahkan oleh semua orang. Pikiran persis seperti ini. Kita tahu persis pikiran itu bekerja, tapi kita tidak tahu esensinya. Jika pikiran saja seperti itu, apalagi Sang Pencipta dan Pembuat Pikiran.

Ini menjadi akhir dari bukti penciptaan dan rencana yang telah kami kupas dalam buku ini. Ia hanyalah tepian kecil dari lautan bukti yang ada pengetahuan sempurna. Hanyalah ada pada Sang Pencipta yang Mahabijaksana dan Mahamengetahui. Segala puji saya haturkan kepada-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *