6-1 Masalah Umum – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 006 Masalah Umum | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

BAB V1

MASALAH UMUM

 

Dapat ditambahkan di sini, dari semua permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab yang telah lalu, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam asas-asas akidah kita, dalam pembahasan-pembahasaan landasan agama Islam, bahwa aqidah kita juga mencakupi beberapa kekhasan lain yang akan kita jelaskan dalam bab ini:

 

Rasionalitas Baik-Buruk

Kita meyakini bahwa akal kita mengetahui berbagai macam kebaikan dan keburukan. Ini berkat potensi penentuan baik buruk yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.

Benar, manusia dengan akal yang dimilikinya mampu untuk menentukan sebagian perkara baik-buruk semenjak pra diturunkannya syariat langit. Sejak dahulu kala, manusia telah memahami tentang baiknya berlaku adil dan berbuat baik, buruknya berlaku zhalim dan berperilaku jahat, serta baiknya banyak sifat-sifat akhlaki mulia, seperti kejujuran, berlaku amanah, berani, dermawan, dan semisalnya. Manusia juga mengetahui buruknya berbohong, berkhianat, berbuat kikir, dan sebagainya.

Akan tetapi, akal manusia tidak mampu untuk mengetahui kebaikan maupun keburukan semua hal. Itu dikarenakan keterbatasan ilmu mereka dalam banyak kesempatan. Oleh karena itulah Allah SWT mengutus para nabi a.s. dan menurunkan berbagai Kitāb Samāwī sebagai penyempurna perkara tersebut. Tujuan utama Allah SWT dalam hal ini adalah, pertama, untuk memberikan penegasan atas pengetahuan akal dan, kedua, untuk menyinari sisi-sisi kegelapan di mana akal tidak mampu untuk meraihnya.

Jika kita mengingkari secara menyeluruh kemampuan akal dalam menentukan berbagai hakikat yang ada, niscaya kita tidak akan mampu untuk menetapkan (membuktikan) keberadaan Allah, mengenal-Nya, dan menerima legalitas dakwah para nabi. Dan tentu saja, penerimaan atas ajaran-ajaran syariat tidak mungkin dapat diterapkan, kecuali terlebih dahulu akal kita menerima asas tauhid dan kenabian. Jelas sekali, penerimaan akan dua hal itu tidak dapat hanya dibatasi pada argumentasi yang bersifat teks keagamaan saja.

 

Keadilan Tuhan

Oleh karena itu, kita meyakini konsep keadilan Ilahi. Kita pun mengatakan bahwa mustahil bagi Allah SWT untuk berlaku zhalim kepada hamba-Nya, menyiksa atau mengampuni mereka tanpa alasan yang jelas. Tentu mustahil pula bagi Allah SWT untuk mengingkari janji-Nya atau memilih seseorang yang suka melakukan kejahatan, banyak berbuat kesalahan, dan suka berbohong sebagai nabi dan rasul.

Benar, mustahil pula bagi Allah SWT untuk membiarkan hamba-hambaNya yang diciptakan agar meraih kebahagiaan mengatur kehidupannya sendiri tanpa seorang pemberi petunjuk dan seorang pemimpin. Sebab, hal tersebut merupakan perbuatan buruk yang tidak mungkin dilakukan oleh SWT.

 

Kebebasan Manusia

Dari argumen di atas kita meyakini bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam keadaan bebas; di mana perilaku manusia didasari oleh kehendak dan pilihannya sendiri. Jika manusia mengalami keterpaksaan dalam berperilaku, maka merupakan sebentuk kezhaliman yang menghukumi manusia sebagai pelaku keburukan, dan merupakan perbuatan sia-sia untuk memberikan ganjaran kepada manusia yang melakukan kebaikan. Sementara semua itu mustahil dilakukan oleh Allah SWT.

Secara ringkas dapat kita katakan bahwa keimanan terhadap rasionalitas baik buruk dan kemandirian akal pikiran manusia dalam menentukan berbagai hakikat merupakan tonggak utama dalam agama, syariat, iman kepada kenabian para nabi dan kitab-kitab samāwī. Akan tetapi – sebagaimana telah di singgung sebelumnya – lantaran keterbatasan pengetahuan manusia, tidak mungkinlah bahwa hanya dengan berbekal akalnya, manusia akan mampu menggapai berbagai hakikat yang dapat menghantarkannya pada kebahagiaan dan kesempurnaan. Maka dari itu, manusia memerlukan kehadiran para nabi dan kitab-kitab samāwī.

 

Akal Merupakan Argumen Hukum Fiqih

Berdasarkan apa yang telah disebutkan di atas, maka kita dapat memahami bahwa dalil akal termasuk salah satu sandaran utama agama. Yang dimaksud dengan argumen dan dalīl akal adalah bahwa akal mengetahui sesuatu dengan pasti dan yakin serta memberikan pendapatnya dalam masalah tersebut. Dapat dicontohkan, jikalau (misalnya) mengharamkan perbuatan zhalim, khianat, berbohong, membunuh, mencuri, dan melanggar hak-hak orang lain tidak kita dapatkan dalilnya dalam al-Qur’ān maupun hadits, maka kita akan mengharapkan hal-hal itu berdasarkan pada dalīl akal.

Di samping, kita juga meyakini bahwa Allah SWT, Dzāt yang Mahatahu lagi Mahabijak, telah mengharamkan hal-hal di atas dan tidak meridhai kita melakukannya. Dengan demikian hal itu menjadi argumen (ḥujjah) Allah SWT bagi diri kita.

Ayat-ayat al-Qur’ān dipenuhi oleh pernyataan-pernyataan yang menjelaskan pentingnya akal dan argumen-argumen akal. Untuk mengajak manusia berjalan di atas rel tauhid, al-Qur’ān menyeru para pemilik akal (ulil albāb) untuk merenungkan ayat-ayat Allah SWT, baik yang berada di bumi maupun di langit al-Qur’ān menyatakan:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Āli ‘Imrān: 190)

Di sisi lain, akal dianggap sebagai tujuan dalam menjelaskan ayat-ayat Allah, di mana Ia merupakan tambahan atas pengetahuan manusia.

Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya). (Al-An‘ām: 65)

Di sisi lain pula, segenap manusia diseru untuk memilah-milah antara yang baik dan yang buruk dengan menggunakan potensi yang dimiliki oleh kekuatan berpikir, dengan ungkapan:

Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (al-An‘ām: 50)

Dan yang terakhir:

Sesungguhnya binatang (makhlūq) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak mengerti apapun. (al-Anfāl: 22)

Ditambah lagi dengan banyak ayat-ayat lain yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

Dengan adanya berbagai penekanan atas peran akal semacam itu, lantas masih mungkinkah bagi kita untuk berpura-pura tidak mengetahuinya ataupun tidak meletakkan perkara itu sebagaimana semestinya?

 

Kembali pada Permasalahan Keadilan Ilahi

Dalam pembahasan lalu telah di singgung bahwa kita meyakini akan keadilan Ilahi; Allah SWT tiada akan pernah menzhalimi hamba-hambaNya. Sebab, kezhaliman itu merupakan perbuatan yang buruk, dan Allah Mahasuci dari segala bentuk keburukan. Allah SWT berfirman:

Dan Tuhanmu tiada menganiaya seorang juapun. (Al-Kahfi: 49)

Apabila terjadi penyiksaan atas sebagian manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak, maka hal itu dikarenakan:

Maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (At-Taubah: 70)

Ungkapan semacam ini diserukan pula kepada segenap penghuni alam, bukan hanya kepada manusia saja:

Dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hambaNya. (Āli ‘Imrān: 108)

Yang jelas, ayat-ayat di atas sangat menekankan hukum yang berasal dari akal dan menyeru untuk menuju kepadanya.

 

Penafian taklīf Bimā lā yuthāq:

Kita meyakini berdasarkan apa yang telah kita bahas bahwa Allah SWT tiada akan pernah membebani manusia dengan sesuatu yang mereka tiada mampu untuk memikulnya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqarah: 286)

 

Hikmah di Balik Semua Peristiwa Menyedihkan:

Dengan dasar apa yang telah disebutkan diatas, kita meyakini bahwa semua kejadian menyedihkan yang terjadi di dunia (seperti gempa bumi, bencana alam, dan gangguan penyakit) terkadang memang merupakan ‘adzab, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Lūth:

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lūth Itu yang di atas ke bawah (Kami balikan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. (Hūd: 82)

Sebagaimana juga yang telah menimpa kaum Saba’ yang semena-mena:

Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit. (As-Saba’: 16)

Namun, terkadang hal itu juga berfungsi sebagai penggugah hati manusia agar kembali kepada jalan yang benar:

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (ar-Rūm: 41)

Dengan demikian, kejadian semacam ini termasuk dalam kategori bentuk kasih sayang Allah SWT.

Adapun bentuk bencana lain yang terkadang menimpa manusia, itu merupakan akibat dari apa yang telah disembunyikan manusia dalam dirinya dikarenakan kebodohannya:

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra‘d: 11)

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan Apa saja bencana yang menimpamu, maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. (an-Nisā’: 79)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *