BAB ENAM
PARA FILSUF menyatakan bahwa alam itu bukanlah tidak bertujuan; alam juga tidak pernah gagal menyempurnakan setiap sesuatu sesuai jenisnya. Pengalaman membuktikan hal ini. Tapi, siapa yang memberikan alam kebijaksanaan dan kemampuan untuk berhenti sesuai takaran, tidak kurang dan tidak lebih – sesuatu yang tidak bisa dilakukan pikiran rasional, meskipun dalam jangka panjang? Jika Anda sepakat bahwa alam memiliki kebijaksanaan dan kekuatan untuk melakukan hal-hal demikian, berarti Anda telah mengakui sesuatu yang tadinya Anda sangkal, karena kebijaksanaan dan kekuatan itu adalah ciri Sang Pencipta, jika Anda menyangkal alam itu memiliki kebijaksanaan dan kekuatan, kebenaran akan terpancar jelas, yaitu tindakan ini berasal dari Sang Pencipta.
Sebagian orang zaman dahulu menyangkal bahwa benda-benda memiliki tujuan. Bagi mereka, segala sesuatu tercipta secara kebetulan. Contohnya adalah Diagoras, Epikurus dan beberapa kalangan naturalis. Mereka berargumen bahwa mengapa ada manusia terlahir cacat, hanya memiliki satu tangan, atau memiliki tangan pendek, atau kelebihan satu jari. Mereka menyatakan, “Inilah bukti manusia itu tidak diciptakan dengan sengaja, melainkan hanya tercipta secara kebetulan.” Aristoteles dan filsuf-filsuf lain menjawab bahwa sesuatu yang tercipta secara kebetulan itu terjadi hanya sekali, yaitu sebuah kecelakaan yang menyimpangkan alam dari jalur normalnya. Jadi, kebetulan itu bukanlah sesuatu yang terjadi menurut pola normal alam yang berkelanjutan. Kita mendapati semua jenis makhluk mengikuti satu pola – anak manusia umumnya lahir dengan satu tangan, dua kaki, lima jari, dan seterusnya. Biasanya penyakit dalam rahim atau dalam jaringan tempat janin terbentuklah yang menyebabkan seseorang terlahir berbeda dari pola ini, sebagaimana jeleknya kualitas kayu atau perkakas membuat seorang tukang tidak bisa menghasilkan pekerjaan yang baik. Untuk alasan yang sama, hal serupa bisa terjadi pula pada anak-anak binatang yang biasanya lahir sehat, terlahir cacat atau kelebihan kaki. Cacat serupa bisa pula terjadi pada bidang manufaktur, tetapi kita tentu tidak akan menyimpulkan semua barang itu dihasilkan secara kebetulan atau merupakan hasil kerja pertukangan yang buruk. Cacat individu dalam alam tidak membuat kita berkesimpulan bahwa semua benda alam terjadi karena kebetulan. Jadi tidak benar serta bodoh klaim yang didasarkan pada kasus-kasus individual bahwa benda-benda tercipta secara kebetulan.
Jika Anda berkeberatan, “Mengapa ada kejadian seperti itu?” Kami menjawab bahwa segala sesuatu tidak ditentukan oleh alam. Bertolak belakang dengan klaim sebagian orang, benda-benda itu ada karena terencana Sang Pencipta. Sang Pencipta umumnya menjadikan alam berjalan pada jalurnya, dan terkadang memang menyimpangkannya karena suatu kebetulan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa alam itu dirancang dan direncanakan, dan ini membutuhkan kehendak dan kekuatan Sang Pencipta. Beberapa orang telah menggunakan kejadian alam sesekali, seperti wabah dan pelapukan, serangga dan hujan es, sebagai bukti untuk membantah Sang Pencipta dan rencana-Nya. Kami menjawab, “Jika Sang Pencipta tidak mengendalikan alam, mengapa tidak ada bencana yang lebih buruk menimpa kita, seperti runtuhnya langit, tenggelamnya bumi, tidak terbitnya matahari, keringnya mata air dan sungai, kepengapan udara yang membusukkan benda-benda, serta samudra yang membanjiri tanah dan menenggelamkannya? Mengapa kejadian-kejadian yang mereka singgung, seperti wabah dan serangan serangga, tidak berkelanjutan dan tersebar ke seluruh dunia, melainkan hanya terjadi sesekali dan itupun tidak terlalu lama?” tidakkah anda menyadari betapa dunia ini dilindungi dari bencana besar yang bisa meluluhlantakkan dunia. Pada saat yang sama, bencana-bencana kecil terjadi kepada orang-orang taat supaya mereka tetap di jalan yang benar; bencana akan berlalu jika mereka menerimanya dengan tabah. Jadi datangnya bencana memberikan suatu pelajaran kepada manusia dan hilangnya bencana itu adalah tanda kasih sayang Tuhan.
Orang-orang yang mengingkari Tuhan seperti kaum Manikean, mungkin membenci kemalangan dan bencana yang menimpa manusia. Kedua kelompok ini berhujah bahwa jika alam semesta memiliki Sang Pencipta yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun, hal-hal mengerikan ini seharusnya tidak ada. Orang-orang ini berpendapat bahwa kehidupan manusia di dunia ini harus bebas dari segala duka dan nestapa. Jika memang betul demikian, manusia akan terjerumus dalam kesombongan yang membahayakan agama maupun dunia mereka. Lihatlah, betapa banyak penguasa hidup bergelimang kemewahan. Mereka suka pamer, dan diantara mereka lupa bahwa mereka hanyalah manusia yang tunduk kepada seorang Tuan, atau lupa bahwa mereka bisa saja ditimpa kesusahan dan bencana. Mereka lupa bahwa mereka harus menunjukkan kasih sayang kepada kaum lemah, menolong kaum miskin, mengasihi orang menderita, dan menunjukkan kebaikan kepada orang kesusahan; tapi jika mereka sudah merasakan kesusahan, mereka akan tersadarkan dan mulai memahami sesuatu yang mereka lalaikan, sehingga mereka bisa mulai melaksanakan kewajiban mereka. Orang yang tidak menyukai pengalaman menyakitkan bagaikan anak-anak yang mengeluh tentang obat pahit, yang benci karena tidak boleh makan makanan yang berbahaya dan yang juga membenci disiplin serta kerja. Anak-anak senangnya dibiarkan bermain dan bermalas-malasan, serta diperbolehkan mengonsumsi segala jenis makanan dan minuman. Ia tidak tahu bahwa kemalasan itu menimbulkan pendidikan, perilaku dan kebiasaan buruk; ia tidak tahu bahwa makanan yang berbahaya itu bisa menyebabkan sakit; ia juga tidak tahu bahwa disiplin itu mengandung kebaikan, dan obat itu mengandung manfaat, meskipun kedua hal itu tidak disukainya. Jika mereka berkata, “Mengapa manusia tidak dijadikan sempurna sehingga tidak akan terguncang oleh kejadian mengerikan semacam itu?” Kami menjawab bahwa jika demikian, manusia pun tidak boleh dipuji ketika melakukan amal baik serta tidak berhak pula mendapatkan ganjaran. Jika mereka menjawab balik, “Apakah penting mereka itu dipuji atau diberi ganjaran selama mereka mendapatkan kenikmatan dan kenyamanan penuh?” kami berkata, “Coba minta seorang bertubuh dan berpikiran sehat untuk duduk tenang, kemudian dicukupi segala keperluannya tanpa dia harus berupaya apa pun. Lihatlah, apakah dia akan menerima tawaran itu?” Jawabannya tidak, karena Anda akan mendapati dia lebih senang dan bahagia dengan hasil sedikit yang diperoleh dari jerih payahnya sendiri ketimbang dengan hasil berlimpah yang diperoleh tanpa usaha. Begitulah nikmat di akhirat. Nikmat itu hanya datang kepada orang-orang yang berupaya untuknya dan layak mendapatkannya. Jika seperti ini, nikmat jadi berlipat ganda: ganjaran besar telah disediakan bagi mereka atas segala usaha yang mereka lakukan di dunia, dan jalan telah dilempangkan bagi mereka untuk meraih ganjaran ini lewat upaya. Bagi orang seperti ini, kenikmatan dan kebahagiaan menerima ganjaran akan betul-betul tercapai.
Jika mereka berkata, “Tidakkah sering kita jumpai orang yang puas dengan yang mereka dapatkan, meskipun sebenarnya mereka tidak layak mendapatkannya? Bagaimana Anda bisa menyangkal bahwa ada orang yang senang jika tanpa usaha keras bisa mendapatkan kebahagiaan di akhirat? Kami akan menjawabnya, “Jika pintu ini Anda buka, manusia akan terlibat dalam keliaran dan kebrutalan ekstrem, serta melakukan hal-hal yang tidak baik dan terlarang. Siapa yang tidak akan berbuat kejahatan atau siapa yang ingin bersusah-payah melakukan amal baik jika mereka yakin akan mendapatkan keselamatan di akhirat? Dan keluarga atau harta siapa yang akan selamat jika manusia merasa terbebas dari tanggung jawab dan hukuman? Memasuki pintu ini akan berakibat buruk pada manusia di dunia, bahkan sebelum mereka menjumpai akhirat. Lagi pula, jika yang baik dan yang jahat diperlakukan sama di dunia dan di akhirat, ini sama saja dengan penyangkalan keadilan dan kebijaksanaan. Ini akan mengundang keluhan betapa buruknya penciptaan benda-benda itu.”
Lawan kami bisa saja berkelit. Mereka berpendapat seperti ini: bencana terjadi kepada manusia, baik maupun jahat, atau bencana terjadi kepada orang baik, sedangkan orang jahat tidak terkena. Lalu, mereka berkata, “Bagaimana bisa ada yang Maha Bijaksana membiarkan ini terjadi? Bagaimana menjelaskan ini? Kami menjawab bahwa, meskipun bencana sama-sama menimpa orang baik dan jahat, Tuhan Mahakuat menjadikan bencana itu bermanfaat bagi keduanya: bencana itu mengingatkan orang baik betapa pemurahnya. Tuhan pada masa sebelum bencana, sehingga mereka bersyukur kepada-Nya dan menjalani cobaan dengan tabah; di sisi lain, bencana itu membuat orang jahat kapok berkubang dalam dosa. Ketika mereka bertahan dari bencana itu, keduanya mendapat manfaat: orang baik akan mendapatkan kebahagiaan dalam menjalani kehidupannya, sedangkan orang jahat menyadari kasih sayang dan kemurahan Tuhan terhadapnya, karena Dia telah menyelamatkan mereka yang penuh dosa itu, sehingga hal ini membuat orang jahat itu menunjukkan belas kasih dan memaafkan orang-orang yang telah berbuat kesalahan kepada mereka.
Anda kemudian berkata lagi, “Abaikan dulu kemalangan yang menimpa manusia. Apa yang akan Anda katakan tentang bencana yang menewaskan manusia, seperti api, banjir atau gempa bumi? Bagaimana Anda menjelaskannya?” kami menjawab. “Tuhan juga membuat bencana seperti ini bermanfaat bagi orang baik dan jahat: orang baik senang bisa meninggalkan dunia yang penuh dengan berbagai kewajiban dan kerusakan ini, sedangkan orang jahat tertebus dari sebagian dosa mereka dan dicegah melakukan dosa lagi.”
Singkatnya, Sang Pencipta membuang segala sesuatu dengan maksud baik, sama seperti seorang tukang handal yang menggunakan sebuah pohon yang tercabut oleh angin atau pohon kelapa yang tumbang untuk berbagai tujuan. Sang Pembuang Mahabijaksana ini secara bermanfaat menggunakan segala bencana dan kemalangan yang menimpa manusia. Jika Anda berkata, “Mengapa hal seperti itu perlu dialami manusia?” kami menjawab, “Supaya manusia tidak merasa selalu aman, sehingga orang jahatpun tidak akan berkubang dalam tindakan dosa, dan orang baikpun menjadi lebih mudah beramal saleh.” Dua sikap ini dominan pada orang yang hidup enak dan nyaman, dan bencana-bencana membuat mereka merasa rendah diri dan mendorong mereka melakukan hal yang benar. Jika tidak ada bencana semacam itu, mereka akan terus bergelimang kejahatan dan dosa. Sama seperti keadaan pada awal masa, di mana kemudian mereka terbasmi oleh banjir dan bumi pun terbebas dari keberadaan mereka.