BAB V
Hari ‘Arafah adalah paling afdhalnya hari-hari Allah, yaitu hari kesembilan dari bulan Dzul-Ḥijjah. Pada hari itu Allah banyak membebaskan hamba-hambaNya dari siksa neraka, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imām Muslim:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba-Nya dari siksa neraka dari hari ‘Arafah.” (HR. Muslim).
Keutamaan berpuasa pada hari ‘Arafah adalah akan diampuninya dosa-dosa pada tahun yang lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ (ر) قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ قَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَّةَ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Ditanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang puasa hari ‘Arafah? Maka beliau bersabda: “Bahwa puasa ‘Arafah meleburkan dosa tahun yang lalu dan dosa pada tahun yang akan datang”.” (HR. Muslim).
Berkata ‘ulama’ tentang maksud Rasūlullāh s.a.w. dalam haditsnya bahwa puasa ‘Arafah meleburkan dosa-dosa yang akan datang, yakni menjaga orang itu untuk tidak melakukan dosa-dosa kecil, dan jika melakukannya maka dengan berpuasa ‘Arafah akan meleburkan dosa tersebut. Dosa yang dimaksud di sini selain dosa besar. Sebab dosa besar membutuhkan taubat nasuha untuk meleburnya.
Puasa ‘Arafah disunnahkan bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji tidak disunnahkan, bahkan hukumnya makruh. Karena ibadah haji menuntut orang yang sedang melaksanakannya untuk mengamalkan sunnah haji, seperti membiarkan dirinya di bawah terik panas matahari dan memperbanyak dzikir kepada Allah. Jika dia berpuasa maka akan melemahkan badannya, sehingga dia tidak dapat melaksanakan sunnah-sunnah haji tersebut. Oleh karena itu makruh bagi orang yang sedang berhaji untuk berpuasa pada hari itu.
Selain hari ‘Arafah disunnahkan pula untuk berpuasa delapan hari sebelumnya, baik bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji atau tidak.
Bersabda Rasūlullāh s.a.w. dalam hadits yang diriwayatkan Imām Muslim:
عَنْ أَبِيْ أَيُّوْبٍ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Dari Abū Ayyūb r.a. bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Barang siapa berpuasa Ramadhān lalu ditambah dengan puasa enam hari pada bulan Syawwāl, maka hal itu seperti puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim).
Lebih afdhal jika berpuasa enam hari itu dilakukan dengan berturut-turut dan dimulai dari hari kedua bulan Syawwāl, dan jika demikian tidak apa-apa. Dan puasa enam hari disunnahkan, baik bagi orang yang sudah berpuasa Ramadhān atau tidak.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) سُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَّةَ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Dari Abū Qatādah r.a. Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. telah ditanya tentang puasa hari ‘Āsyūrā’. Lalu beliau menjawab: Bahwa puasa pada hari itu meleburkan dosa (dosa yang kecil) pada tahun yang lampau.” (HR. Muslim).
Hari ‘Āsyūrā’ adalah hari yang kesepuluh dari bulan Muḥarram. Hikmah Syari‘ menerangkan bahwa puasa hari ‘Arafah meleburkan dosa dua tahun dan hari ‘Āsyūrā’ meleburkan dosa satu tahun karena hari ‘Arafah merupakan salah satu hari yang istimewa bagi ummat Islam, oleh karenanya dinamakan juga “hari Nabi Muḥammad.”
Sedangkan puasa ‘Āsyūrā’ dilakukan oleh Nabi Mūsā a.s. dan Nabi yang lainnya. Oleh karenanya hari ‘Āsyūrā’ dinamakan juga hari Nabi Mūsā. Sebagaimana kita ketahui Rasūlullāh s.a.w. adalah paling afdhalnya para Nabi, karena itulah hari Nabi Muḥammad yaitu hari ‘Arafah meleburkan dosa dua tahun dan puasa hari ‘Asyura’ wajib atas ummat yang terdahulu.
Adapun puasa Tāsū‘ā’ adalah hari yang kesembilan dari bulan Muḥarram. Nabi Muḥammad s.a.w. belum pernah menunaikannya akan tetapi dalam haditsnya, beliau bersabda akan melakukannya jika beliau masih hidup, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى الْقَابِلِ لَأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ. (رواه مسلم).
Yang artinya:
“Dari Ibn ‘Abbās r.a. berkata: Telah bersabda Rasūlullāh s.a.w.: “Jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan puasa hari Tāsā‘ā’.” (HR. Muslim).
Hikmah dilaksanakannya puasa hari Tāsū‘ā’ adalah agar ibadah orang Islam tidak menyerupai ibadah orang Yahudi. Karena orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Āsyūrā’, sedangkan Rasūlullāh s.a.w. sangat tidak menyukai orang Islam melakukan sesuatu seperti orang Yahudi. Oleh karenanya kita diperintahkan untuk puasa Tāsū‘ā’ juga.
Puasa sunnah hari Senin dan Kamis merupakan puasa yang sering dilaksanakan oleh Rasūlullāh s.a.w., sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) عَنْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) قَالَ: تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ وَ الْخَمِيْسِ فَأُحِبَّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِيْ وَ أَنَا صَائِمٌ. (رواه الترمذي)
Yang artinya:
“Dari Abū Hurairah r.a. bahwasanya telah bersabda Rasūlullāh s.a.w.: “Amal-amal disodorkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka disodorkan amalku dalam keadaan aku berpuasa.” (HR. Tirmidzī).
Akan tetapi puasa hari Senin lebih afdhal karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ: ذلِكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ وَ يَوْمَ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ. (رواه مسلم)
Yang artinya:
“Dari Abū Qatādah r.a. berkata: Bahwasanya telah ditanyakan kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: Bahwa hari itu adalah hari kelahiranku, dan hari itu aku diutus di dalamnya.” (HR. Muslim).
Hari-hari Bīdh adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Dan dinamakan bīdh, karena bulan pada waktu itu sedang bulat-bulatnya. Adapun hadits yang menjelaskan hal itu adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ بْنِ مَلْحَانَ (ر) قَالَ: كَانَ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ أَيَّامِ الْبِيْضِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَ أَرْبَعَ عَشْرَةَ وَ خَمْسَ عَشْرَةَ. (رواه أبو داود).
Yang artinya:
“Dari Abū Qatādah bin Malḥān r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kita untuk berpuasa hari-hari bīdh yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR. Abū Dāūd).
Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah meninggalkan puasa hari-hari bīdh. Seperti yang disabdakan dalam hadits:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (ر) قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيْضِ فِيْ حَضَرٍ وَ لَا سَفَرٍ. (رواه النسائي)
Yang artinya:
“Dari Ibn ‘Abbās r.a. berkata Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah berbuka pada hari-hari Bīdh, baik tidak dalam perjalanan maupun dalam perjalanan.” (HR. an-Nisā’ī).
Juga kita disunnahkan berpuasa pada tanggal 28, 29, dan 30 dari setiap bulan yang dinamakan ayyām-us-sūd (hitam). Disunnahkan demikian karena bulan pada hari-hari itu tidak tampak, atau tampak tapi mengecil, sehingga malam sangat gelap-gulita.
Puasa Dāūd adalah berpuasa satu hari kemudian berbuka satu hari dan begitu seterusnya silih berganti. Puasa ini termasuk paling afdhalnya puasa-puasa sunnah, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ (ر) قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): أَفْضَلُ الصِّيَامِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَ يُفْطِرُ يَوْمًا. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari ‘Abdullāh bin ‘Amru bin al-‘Āsh r.a. berkata: Bersabda Rasūlullāh s.a.w.: Paling afdhalnya puasa adalah puasa Nabi Dāūd, beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Puasa dahr adalah berpuasa setiap hari sepanjang tahun. Sedangkan hukumnya dapat diperinci sebagai berikut: Jika seseorang yang berpuasa dahr akan menyebabkannya melalaikan kewajiban-kewajibannya, atau dikarenakan berpuasa dahr dia akan jatuh sakit maka puasa dahr orang ini hukumnya makruh. Dan bagi orang yang berpuasa dahr akan tetapi tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka hukum puasanya sunnah, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمَ. رَوَاه البيهقي)
Yang artinya:
“Barang siapa berpuasa dengan puasa Dhar, maka akan disempitkan baginya Api Neraka Jahannam.” (HR. Baihaqī).