5-6 Ummu Ri’lah al-Qusyairiyyah – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 005 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Pembaiat dan Utusan | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

6. UMMU RI‘LAH AL-QUSYAIRIYYAH

Ada sebuah hadits dari Ibnu ‘Abbās yang diriwayatkan oleh al-Mustaghfirī dan Abū Mūsā melalui jalan (sanad) yang berbeda antara satu sama lain, namun bertemu pada sanad terakhirnya, ‘Abdullāh bin ‘Abbās. Hadits tersebut mengisahkan seorang wanita yang sangat diplomatis, dia biasa dipanggil “Ummu Ri‘lah al-Qusyairiyyah”. Ia datang menghadap Nabi Muḥammad s.a.w. lalu berkata: “as-Salāmu ‘alaika wahai Rasūlullāh. Kami – para wanita – selalu tertutup di balik tirai rumah, tempat sarung-sarung suami (menemani tidur suami), mendidik anak-anak, sementara kami tidak memiliki tempat bersama para tentara. Maka ajarilah kami sesuatu yang dengannya kami bisa mendekatkan diri kepada Allah.” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Berzikirlah kalian sepanjang siang dan malam, tahanlah pandangan dan kecilkan suara.” Dia bertanya: “Wahai Rasūlullāh, saya seorang penghias, selalu menghiasi para istri untuk suami mereka. Apakah itu adalah perbuatan yang dosa sehingga saya harus menghentikannya?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Wahai Ummu Ri‘lah, buatlah mereka bersolek dan hiasilah para perempuan juga jika belum mendapat jodoh.

Lama Ummu Ri‘lah menghilang selama hidup Rasūlullāh s.a.w. dan baru terlihat kembali di Madīnah setelah Nabi s.a.w. wafat, pada masa munculnya orang-orang murtad. Dia merasakan kesedihan yang teramat dalam atas wafatnya Nabi Muḥammad s.a.w.. Ummu Ri‘lah lalu membawa Ḥasan dan Ḥusain mengelilingi lorong-lorong kota Madīnah sambil menangis dan melantunkan sebuah syair: “Wahai rumah Fāthimah yang halamannya selalu damai. Sekarang, rumah tersebut membangkitkan kesedihanku setelah sekian lama – saya hidup di rumah tersebut. “Sejak itu, tak satu pun rumah di setiap sudut kota Madīnah terlepas dari tangis dan duka.” Kembali mengkaji tentang apa yang diungkapkan Ummu Ri‘lah kepada Rasūlullāh s.a.w seputar peran wanita – di masa itu – yang berkutat antara sumur, dapur, dan kasur adalah fenomena yang bisa dikatakan cukup spektakuler di zamannya. Ummu Ri‘lah seakan kurang puas dengan peran wanita tersebut. Dia menyayangkan tidak diikutsertakannya wanita dalam perang yang pahalanya begitu besar. Kalau memang demikian adanya, apa yang bisa diperbuat oleh kaum Hawā’ sehingga mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum Ādam yang berperang di jalan Allah? Ternyata, Islam pun menempatkan wanita sesuai dengan kodratnya. Islam menyamakan kedudukan wanita muslimah yang senantiasa berzikir sepanjang hari, menahan pandangannya (dari hal-hal yang diharamkan), dan merendahkan suaranya, dengan mereka (kaum lelaki) yang berperang di jalan Allah.

Ummu Ri‘lah ternyata bukan hanya seorang wanita yang pemberani, lebih dari itu dia mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap keluarga Nabi s.a.w. Tipe wanita seperti inilah yang hendaknya diteladani oleh kaumnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *