5-3 Kepemimpinan Pasca Rasul – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 005 Kepemimpinan Pasca Rasul | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

Pewarisan Ilmu Nabi SAW kepada Para Imam

Kita meyakini bahwa berdasarkan perintah Nabi Saw yang terdapat dalam beberapa riwayat Mutawātir tentang al-Qur’ān dan Ahl-ul-Bait a.s., kita tidak dapat melepaskan diri dari kedua hal (ini al-Qur’ān dan Ahl-ul-Bait a.s.), sehingga kita peroleh petunjuk. Juga, karena kita meyakini bahwa para imam itu ma‘shūm, maka semua perkataan, perbuatan, dan sikap diam (taqrīr) mereka merupakan hujjah bagi kita semua. Oleh karena itu, salah satu sumber fiqih kita setelah al-Qur’ān dan sunnah Rasūl Saw adalah ucapan, perilaku, dan taqrīr para Imām.

Hendaknya, kita memperlihatkan point berikut ini, yang menyatakan bahwa berdasarkan beberapa riwayat yang akurat, para imam berkata:

“Apa yang mereka katakan adalah berasal dari para Ayah (leluhur) mereka dari Rasūl Saw.”

Ya, sebenarnya riwayat mereka berasal dari Nabi Saw. Dan kita mengetahui bahwa riwayat yang berasal dari orang yang dapat dipercaya (tsiqah) dan dipercaya oleh Rasūl Saw diterima oleh semua ulama Islam.

Imām Muḥammad bin ‘Alī Al-Bāqir a.s. berkata kepada Jābir (bin ‘Abdillāh al-Anshārī):

“Wahai Jābir, jikalau kami menyampaikan hadits berdasarkan pendapat dan hawa nafsu kami, maka kita akan termasuk orang-orang yang hancur. Akan tetapi kami menyampaikan hadits kepada kalian dari apa yang telah kami simpan dari Rasūlullāh Saw.”

Dalam hadis lain yang berasal dari Imām Ja‘far bin Muḥammad ash-Shādiq a.s. disebutkan bahwa seseorang bertanya kepada beliau dan beliau pun menjawab pertanyaan tersebut. Namun, orang tersebut, melalui diskusi dan perdebatan, berusaha untuk mengubah pandangan Imām a.s. Kemudian, Imām a.s. berkata kepadanya:

“Tinggalkanlah pembahasan ini, karena aku telah menjawab pertanyaan berdasarkan hadits yang berasal dari Rasūl Saw (maksudnya, tidak ada alasan untuk dibahas kembali).”

Poin penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa kita memiliki sumber-sumber hadits yang mu‘tabar berikut ini: kitab al-Kāfī, Tahdzīb, Istibshār dan Man Lā Yaḥdhuru Faqīh. Menurut kita, ke-mu‘tabar-an sumber-sumber tersebut tidaklah berarti bahwa kita dapat begitu saja menerima riwayat yang tercantum dalam sumber-sumber tersebut tanpa meneliti terlebih dahulu para periwayat yang ada pada seluruh mata rantai sanad hadits tersebut. Riwayat yang dapat kita terima adalah riwayat yang seluruh para periwayatnya termasuk dalam kategori percaya (tsiqah) dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, kita tidak dapat menerima riwayat-riwayat dalam sumber-sumber tersebut yang tidak memenuhi syarat dan tidak memenuhi standar hadits yang shaḥīḥ.

Selain itu, mungkin terdapat riwayat di mana dari sudut pandang silsilah sanad-nya (mata rantai periwayatnya) tidaklah bermasalah, tetapi terdapat sesuatu lain yang menyebabkan para ulama tidak menggunakan riwayat-riwayat tersebut, bahkan berpaling darinya. Riwayat ini dianggap tidak mu’tabar menurut pandangan kita dan riwayat seperti ini dinamakan sebagai riwayat mu‘radz ‘anha.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa orang-orang yang ingin mengetahui aqidah Syī‘ah dengan hanya bersandar pada satu riwayat atau beberapa riwayat yang terdapat pada sumber-sumber tersebut, tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu berkenaan dengan silsilah sanad-nya, sebenarnya telah terjatuh ke dalam jurang kesalahan.

Dengan kata lain, dalam beberapa madzhab Islam, terdapat beberapa sumber yang dinamakan dengan Shuḥah, di mana kesahihan riwayat-riwayat yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut telah dijamin oleh penulisnya dan yang lain pun menganggapnya sebagai Shaḥīḥ.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan sumber-sumber hadits mu‘tabar Syī‘ah. Kita mengakui bahwa kitab-kitab tersebut merupakan hasil karya para ulama besar dan terpercaya, tetapi berhubungan dengan kesalahan riwayat-riwayat yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut, tentu bergantung pada penelitian para pakar hadits dan riwayat-riwayat tersebut.

Sebenarnya, jika kita memperlihatkan semua poin di atas, maka akan terjawablah semua pertanyaan yang berhubungan dengan madzhab Syī‘ah. Begitu pula, kalau dia lalai terhadap poin-poin di atas, itu akan menjadi penyebab timbulnya banyak kesalahan dalam memahami aqidah Syī‘ah.

Singkat kata, setelah al-Qur’ān dan hadis Nabi Saw, hadits para imam pun merupakan hujjah bagi kita, dengan syarat, hadis tersebut benar-benar berasal dari para Ma‘shūm a.s.