Selama hidupnya, Mu‘ādzah senantiasa merealisasikan butir-butir dalam perjanjian dan pembaiatan meskipun ia adalah seorang budak.
Ketika Mu‘ādzah masuk Islam dan membaiat Nabi Muḥammad s.a.w., dia masih menjadi budak ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl yang ketika itu mempunyai seorang tawanan laki-laki. ‘Abdullāh selalu memukul Mu‘ādzah agar tawanan itu bisa melacurnya sampai ia hamil lalu mengambil anak hasil pelacuran tersebut sebagai barang dagangan. Dan perdagangan tersebut, ‘Abdullāh bin Ubay bisa mengeruk keuntungan yang disinggung dalam al-Qur’ān,
“.. karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. …” (an-Nūr: 33)
Sementara itu, Mu‘ādzah, sebagai seorang muslimah yang harus menjaga kesuciannya tentunya tidak mau menjerumuskan dirinya ke dalam dunia hitam tersebut. Allah s.w.t. berfirman:
“ … Dan janganlah kamu memaksakan budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.. ..” (an-Nūr: 33)
Akhirnya, pertolongan Allah pun datang Mu‘ādzah dimerdekakan lalu menikah dengan Sahal bin Qirthah.
Dialah Mu‘ādzah, dengan keimanan yang merasuk dalam dirinya, ia mampu menjaga dirinya dan perbuatan nista meskipun tidak sedikit siksaan yang dideritanya. Statusnya sebagai budak tidak membuatnya pasrah begitu saja, bahkan sekuat tenaga tetap menjaga kemuliaan dan kesucian dirinya sebagaimana yang diajarkan Islam. Oleh karena itu, sejarah akan terus mencatatnya sebagai sosok wanita yang suci dan mulia. Karena lingkungan yang hina ternyata tidak bisa menyeretnya untuk melakukan perbuatan yang hina.
Adalah sangat penting bila kita mau berkaca dari kepribadian Mu‘ādzah pada saat di mana syaithan-syaithan dan jenis manusia terus menyulutkan propagandanya, mengajak para wanita untuk melanggar rambu-rambu agama yang telah ditentukan, mengajak pada fitnah; dengan pakaian yang mengundang nafsu dan syahwat. Menjaga kehormatan artinya menjaganya dari segala sesuatu yang mengundang rangsangan, baik dari dirinya maupun dari orang lain. jadi, bukan hanya meninggalkan zina saja, tapi meninggalkan apa saja yang masih berbau zina. Karena, hanya orang sucilah yang mampu mengemban Kalimatullāh, sebaimana al-Qur’ān menuturkan Sayyidah Maryam yang mengemban Kalimatullāh lantaran kesucian dirinya.