5-1 Kepemimpinan Pasca Rasul – ‘Aqa’iduna – Syaikh Makarim Syirazi

Inikah Keyakinan Kita?
Oleh: Nasir Makarim Syirazi
(Judul Asli: ‘Aqū’idunā)

Penerjemah: Toha al-Musawa
Penerbit: Penerbit al-Mu‘ammal

Diketik oleh: Zaidah Melani

Rangkaian Pos: 005 Kepemimpinan Pasca Rasul | 'Aqa'iduna - Syaikh Makarim Syirazi

BAB V

KEPEMIMPINAN PASCA RASŪL

(IMĀMAH)

 

Keberlangsungan Konsep Kepemimpinan

Kita meyakini, hikmah Ilahi menuntut untuk diutusnya para nabi yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk bagi umat manusia. Dan hikmah Ilahi ini pula yang menuntut agar pada setiap zaman terdapat seorang Imām, setelah pengutusan seorang nabi.

Keberadaan Imām tersebut berfungsi sebagai penjaga syariat dan agama dari berbagai bentuk penyimpangan dan perubahan, sekaligus sebagai pemenuh semua kebutuhan masyarakat pada setiap zaman dan menyeru mereka agar menuju kepada Allah SWT, dengan cara mengamalkan semua ajaran agama. Apabila hal itu tidak dilaksanakan, niscaya tujuan penciptaan manusia yaitu untuk menuju kesempurnaan dan kebahagiaan sejati tidak akan pernah terwujud. Tentu hal ini akan menyebabkan kesesatan umat manusia dari jalur petunjuk (hidāyah) dan hilangnya syariat-syariat para nabi dari fungsi aslinya, sehingga manusia akan terjerumus dalam kebingungan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa pasca pengutusan Nabi Saw mestilah terdapat seorang Imām pada setiap zaman:

Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)

Ayat di atas tidak dikhususkan pada zaman tertentu saja. Seruan untuk mengikuti orang-orang yang benar merupakan bukti akan keberadaan seorang Imām suci (ma’shūm) pada setiap zaman. Ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh banyak ahli tafsir dari kalangan Ahl-us-Sunnah maupun Syī‘ah.

 

Hakikat Kepemimpinan

Kita meyakini bahwa kepemimpinan (imāmah) bukan hanya sekedar kedudukan lahirnya yang berkait dengan kekuasaan dan pemerintahan saja, akan tetapi ia merupakan kedudukan maknawi dan berkapasitas spiritual yang luhur. Fungsi utama seorang Imām adalah untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia dalam perkara-perkara agama maupun yang berkait dengan perkara duniawinya, apabila dalam bidang administrasi dan pemerintahan. Imām juga berfungsi sebagai penjaga syariat dari pelecehan dan penyimpangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, agar supaya tujuan pengutusan Nabi Saw dapat terwujud dengan baik.

Kedudukan Luhur inilah yang juga pernah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada kekasih-Nya, Ibrāhīm Al-Khalīl a.s. Beliau mendapatkannya setelah melalui jenjang kenabian, kerasulan, dan lulus dari semua bentuk cobaan.

Lantas, Ibrāhīm a.s. memohon kepada Allah SWT agar Anugerah tersebut juga diberikan kepada sebagian anak cucu beliau. Maka, permohonan tersebut ditolak untuk sebagian anak cucu beliau, dikarenakan kedudukan itu tiada akan pernah diraih oleh para pelaku kezhaliman:

Dan (ingatlah), ketika Ibrāhīm diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrāhīm menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imām bagi seluruh manusia.” Ibrāhīm berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunan saya.” Allah berfirman: “Janji-Ku tidak mengenai orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 124)

Jelaslah bahwa janji Allah SWT tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan lahiriyah belaka. Apabila kepemimpinan tidak diartikan sebagaimana telah kita sebutkan, niscaya ayat yang memiliki makna Luhur itu tidak akan memiliki arti yang jelas.

Kita meyakini, para nabi Ulul Azmi memiliki kedudukan sebagai imam, sekaligus sebagai pemimpin maknawi, materi, lahiriah, dan batiniah atas segenap umat manusia. Terutama, Nabi Muḥammad Saw yang dianugerahi kepemimpinan Ilahi semenjak awal pengutusan beliau sebagai Nabi. Peran yang diemban beliau bukan hanya sebagai pembawa ajaran-ajaran Ilahi kepada umat manusia, namun juga sebagai pemimpin mereka.

Kita meyakini, garis kepemimpinan pasca Nabi Muḥammad Saw akan terus berlangsung dan dilanjutkan oleh para manusia suci dari keturunan beliau.

Berdasarkan apa yang telah kita sampaikan mengenai imāmah, menjadi jelaslah bahwa untuk mencapai kedudukan Luhur itu diperlukan berbagai syarat yang sangat berat; dari sisi ketakwaan (taqwā sampai mencapai derajat keterjagaan dari dosa); dari sisi keilmuan yang mencakup segala pengetahuan, ajaran-ajaran agama, pengenalan atas manusia, dan segala kebutuhan yang harus dipenuhi pada setiap waktu dan tempat.

Cobalah Anda renungkan tentang hal ini!

 

Kemaksuman para Imām

Kita meyakini, seorang Imām memiliki kesamaan dengan nabi; dia harus memiliki sifat keterjagaan dari segala bentuk kesalahan dan dosa. Hal itu selain dikarenakan penafsiran atas ayat yang telah disebutkan di atas juga lantaran pribadi yang tidak memiliki keterjagaan semacam itu tidak akan memperoleh kepercayaan penuh, sehingga perkara-perkara yang berkaitan dengan asas-asas agama (ushūl-ud-dīn) maupun cabang-cabang (furū’-ud-dīn) tidak akan dapat diperoleh darinya. Atas dasar itu, kita meyakini bahwa semua hal yang berkaitan dengan ungkapan, perilaku, maupun ketetapan seorang Imām merupakan sebuah argumentasi syariat (ḥujjah syar‘iyyah).

 

Tugas Imām dalam Menjaga Syariat

Kita meyakini bahwa seorang imam tidak akan pernah membawakan syariat baru. Seorang imam hanya bertugas untuk membawakan syariat Islam serta menjaganya. Dia juga harus berusaha untuk mengajarkan dan menyebarkannya kepada umat, sekaligus mengarahkan mereka agar berpegang teguh pada al-Qur’ān dan as-Sunnah.

 

Imām dan Pengetahuan Keagamaan

Kita meyakini, bahwa seorang Imām harus memiliki keilmuan dan ingatan sempurna atas semua asas, cabang, hukum, perundang-undangan agama Islam, maupun penafsiran atas al-Qur’ān. Keilmuan Ilahi ini diwarisi dari Rasūlullāh Saw, sehingga seorang Imām mampu beroleh kepercayaan penuh umat serta diyakini dalam pemahaman hakikat ajaran Islam.

 

Penetapan Imām

Kita yakin, imam (Khalīfat-ur-Rasūl) harus ditentukan secara jelas oleh Rasūl Saw melalui ketentuan (nash) beliau sendiri, sebagaimana penetapan seorang Imām terhadap Imām setelahnya. Dengan penjelasan lain, imam haruslah dipilih oleh Allah SWT melalui Nabi Saw. Sebagaimana, pengangkatan Nabi Saw sebagaimana ayat yang berkaitan dengan pengangkatan Ibrāhīm sebagai Imām:

Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imām bagi seluruh manusia.

Batasan ketaqwaan yang disebutkan diatas adalah sampainya seseorang pada tingkatan suci dari kesalahan dan dosa (‘ishmah). Adapun penjelasan tentang tingkat posisi ilmiah yang harus dimiliki oleh seorang imam, maka ilmunya harus sampai pada derajat melingkupi segala hukum dan ajaran-ajaran Ilahi, tanpa sedikitpun kesalahan. Dalam hal ini, tiada seorangpun yang dapat menguraikan (menjelaskan)nya selain Allah SWT dan Rasūl-Nya. Maka, orang yang menentukan pribadi yang memenuhi kriteria dan memiliki sifat keterjagaan dari kesalahan dan dosa tersebut haruslah Rasūlullāh Saw

Atas dasar itu, kita meyakini bahwa kepemimpinan para Imām Suci tidak akan sempurna jika hanya didasari oleh pemilihan masyarakat.

 

Para Imām Ditetapkan oleh Nabi Saw

Kita percaya bahwa Nabi Saw telah menentukan orang yang menjadi Imām setelah beliau. Dalam sebuah kesempatan, Rasūl Saw telah mengutarakan persoalan ini secara umum, yang disebutkan dalam sebuah hadits yang terkenal sebagai Hadits Tsaqalain. Dalam kitab Shaḥīḥ Muslim disebutkan bahwa Rasūl Saw, pada suatu hari, telah berkotbah di daerah Khum, sebuah wilayah yang terletak antara Makkah dan Madīnah beliau bersabda:

“Aku sebentar lagi akan meninggalkan kalian. Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua barang berharga di antara kalian. Pertama adalah kitab Allah, yang padanya terdapat petunjuk dan cahaya dan Ahl-ul-Bait-Ku. Aku mengingatkan kalian tentang Ahl-ul-Baitku.”

Makna seperti ini pun dapat kita temui dalam Kitāb Shaḥīḥ Tirmidzī. Dengan jelas di situ disebutkan:

“Apabila kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat.”

Hadits seperti ini pula terdapat dalam kitab Sunan Dāramī, Khashā’ish Nasā’ī, Musnad Aḥmad, dan banyak sumber-sumber Islam yang masyhur lainnya.

Benar, tiada alasan untuk ragu, karena hadits ini dikategorikan sebagai Hadits Mutawātir dan tak seorang muslim pun yang dapat mengingkarinya. Dari riwayat tersebut dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa Rasūl Saw tidak hanya sekali saja menyampaikan hadits tersebut, bahkan berkali-kali dan dalam kesempatan yang berbeda-beda.

Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua Ahl-ul-Bait Nabi Saw dapat memiliki kedudukan tinggi dan bergandengan dengan al-Qur’ān seperti ini. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan Ahl-ul-Bait Nabi Saw di sini adalah khusus untuk para Imām saja (hanya pada sebagian riwayat lemah dan meragukan saja ungkapan “sunnahku” menggantikan “Ahl-ul-Baitku”).

Kita juga akan tersadar pada hadis Masyhūr lainnya yang terdapat dalam sumber-sumber terkenal, seperti Shaḥīḥ Bukharī, Shaḥīḥ Muslim, Shaḥīḥ Tirmidzī, Shaḥīḥ Abī Dāūd, Musnad Ibni Ḥanbal dan sumber-sumber lainnya, di mana Rasūlullāh Saw bersabda:

“Agama akan senantiasa tegak hingga tiba hari kiamat atau sampai selesainya masa kepemimpinan 12 Imām atas kamu sekalian, di mana mereka semuanya adalah (berasal) dari Quraisy.”

Kita meyakini, hanya penafsiran yang terdapat dalam aqidah Syī‘ah saja, sekaitan dengan 12 Imām, yang dapat diterima akal. Apakah ada penafsiran lain dari hadits ini? Cobalah anda renungkan!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *