هو
PASAL EMPAT
TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT
PENUTUP
(Bagian 3)
Cara anda untuk membimbing diri anda agar senantiasa mentauhidkan Allah adalah seolah-olah anda melihat bahwa setiap gerak dan diamnya (tidak bergerak) serta setiap perkataan dan diamnya (tidak berkata-kata), semuanya muncul dari Allah s.w.t. Pandangan mengenai gerak, perkataan, dan masing-masing diamnya ini, tidak hanya memancar dari penyaksian terhadap anda sendiri, melainkan juga terhadap orang lain. Anda harus menyadari bahwa gerakan dan diamnya seseorang serta berkata-katanya dan diamnya seseorang semuanya adalah dari Allah s.w.t. Bangunlah kesadaran seperti ini dalam diri anda secara sungguh-sungguh, kapan pun dan di mana pun anda berada. Yakinkan diri anda mengenai hal ini dengan żawq (perasaan) dan kasyf (penyingkapan). Keadaan-keadaan seperti inilah yang terlahir ketika anda ingin berada dalam Tauhid al-A‘fāl, bahwasanya tidak ada yang berbuat kecuali hanya Allah s.w.t.
Jika sempurna bagi anda yang demikian itu, serta rahasia tauhid telah masuk ke dalam pendengaran, penglihatan, dan seluruh organ tubuh anda, maka anda sebenarnya telah berpindah, melalui isyarat guru anda, kepada Tauhid aṣ-Ṣifāt dan Tauhid al-Asmā’. Dalam kondisi ini, anda pandang bahwa tidak ada satu pun yang hidup, mendengar, melihat, berkata-kata, berkuasa, dan mengetahui, melainkan hanya Allah s.w.t. Maka, bersungguh-sungguhlah anda untuk hal demikian itu, agar pandangan seperti ini benar-benar merasuk ke dalam seluruh organ dan persendian tubuh anda. Yakinkan diri anda mengenai kebenaran masalah ini dengan pembenaran (taḥqīq) żawqī, kasyfī, dan syuhūdī. Sebab, setelah anda betul-betul mencapai semua syarat tersebut, maka anda akan menanjak kepada Tauhid aż-Żāt. Tentu saja, perpindahan ini didasarkan atas isyarat dari guru yang membimbing anda. Dalam kondisi ini, anda harus memandang bahwa tidak sesuatu pun yang maujud kecuali hanya Zat Allah s.w.t. Tenggelamkanlah diri anda ke dalam lautan keyakinan seperti ini, dan fanā’-kanlah diri anda ke dalam keadaan seperti ini. Fanā’-kan pula akan segala keadaan ini ke dalam diri anda. Kemudian, fanā’-kan pula fanā’ itu, yakni, jangan anda melihat bahwa proses fanā’ seperti itu hanya terjadi dari Allah kepada Allah, tetapi, diri anda sendirilah yang akan mengalami proses fanā’ tersebut.
Apabila anda telah mencapai dan menyempurnakan musyāhadah dalam fanā’ ini, maka Allah akan membalasnya dengan menempatkan posisi dan keadaan anda pada baqā’ Allah. Posisi inilah sebetulnya yang dicari dan dituntut oleh para pelaku spiritual (sālik). Dalam posisi baqā’ ini anda akan dipakaikan oleh Hadrat Yang Suci, Hadrat Pemberi Kesenangan, akan mahkota kemuliaan. Maka ketika itu juga, menjadilah anda temasuk orang-orang yang diberi petunjuk-Nya dan terbebas dari kelompok orang-orang yang hina, yang diperbudak oleh hawa nafsu. Anda menuju kepada kemuliaan, yang diperhamba oleh Allah s.w.t.
Jalan yang ditempuh lewat proses musyāhadah ini adalah jalan yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Jalan ini melebihi segala jalan yang lain. Jalan musyāhadah ini juga lebih baik atau lebih afḍal dibandingkan dengan ibadah-ibadah sunat yang dilaksanakan selama tujuh puluh tahun. Hal ini sebagaimana telah disabdakan Rasulullah s.a.w.:
التَّفَكَّرُ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِيْنَ سَنَةً
“Bertafakur (merenung) sejenak – yang hasil batinnya adalah musyāhadah dan żawq – lebih baik daripada ibadah sunat yang dilakukan selam tujuh puluh tahun – yang tidak memiliki hasil seperti itu.”
Apabila anda memperoleh pengetahuan tentang musyāhadah ini dan senantiasa hadir bersemayam di hati anda, sementara amal anda secara lahiriah adalah sedikit, maka janganlah anda memperdulikan lagi tentang amal lahiriahmu yang sedikit itu. Sebab, semua amal lahiriah yang telah anda kerjakan pada dasarnya adalah persembahan anda kepada Allah, sedangkan pengetahuan (makrifat) yang telah anda capai itu adalah anugerah-Nya kepada anda. Antara amal lahiriah dan makrifat, atau dengan kata lain, antara persembahan dan anugerah, masing-masing adalah dua hal yang sangat berbeda. Ibn ‘Aṭā’ Allāh r.a. di dalam Ḥikam-nya mengatakan:
إِذَا افْتَحَ لَكَ وِجْهَةٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ نُبَالِ مَعَهَا أَنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فُتِحَ لَكَ إِلاَّ وَ هُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَ الْأَعْمَالُ أَنْتَ مَهْدِيْهَا إِلَيْهِ وَ أَيْنَ مَا نُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مَوْرِدُهُ عَلَيْكَ.
“Apabila Allah membukakanmu suatu segi dari makrifat – meski hanya secercah – maka tidak menjadi persoalan jika amal perbuatanmu masih sedikit. Sebab sesungguhnya Allah tidak membukakannya bagimu melainkan Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu. Tidakkah engkau sadari bahwa makrifat itu adalah anugerah-Nya atasmu, sementara amal-amal perbuatan itu adalah persembahanmu kepada-Nya. Maka manakah yang lebih bernilai antara sesuatu yang engkau persembahkan kepada-Nya dengan sesuatu yang dianugerahkan-Nya langsung atasmu?”
Jadi, sekali lagi, di sini harus dibedakan secara tegas antara amal perbuatan lahiriah yang dikerjakan sebagai upaya memberi persembahan kepada Allah dengan makrifat yang dianugerahkan-Nya. Yang terakhir ini jelas lebih tinggi, sebab untuk mengenal-Nya, sama sekali tidaklah diperkenankan melalui usaha dan ikhtiar seorang hamba. Satu-satunya cara untuk mengenal-Nya adalah melalui anugerah-Nya sendiri kepada hamba yang bersangkutan. Nabi Muḥammad s.a.w. bersabda:
عَرَفْتُ رَبِّيْ بِرَبِّيْ
“Aku mengenal Tuhanku melalui Tuhanku.”
Yang dimaksud Nabi dalam hal ini adalah bahwa ia dapat mengenal Allah s.w.t., semata-mata atas dasar anugerah-Nya yang diberikan secara langsung kepadanya. Demikian pula, anugerah ini dapat diberikan kepada orang-orang lain yang mampu (para sālik dan orang yang majżūb) atau yang memutuskan dalam hatinya untuk ber-musyāhadah dengan-Nya.
Demikianlah uraian-uraian tentang cara mentauhidkan Allah s.w.t. sebagai salah satu cara yang bisa dilakukan untuk memperoleh khazanah makrifat-Nya.