Bagi wanita haidh dan nifas haram hukumnya berpuasa dan jika darahnya keluar saat berpuasa, maka batallah puasanya namun wajib mengqadhā’-nya sebagaimana hadits Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim:
عَنْ عَائِشَةَ (ر) قَالَتْ: كَانَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ (الْحَيْضُ) فَنُؤْمِرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَ لَا نُؤْمِرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ. رواه البخاري و مسلم)
Yang artinya:
“Di zaman Rasūlullāh, kami mengalami haidh dan kami diperintahkan untuk mengqadhā’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadhā’ shalat.” (HR. Bukhārī dan Muslim).
Dan jika darahnya berhenti di siang Ramadhān maka sunnah baginya untuk imsak sampai maghrib. Hikmah syara‘ melarang wanita haidh dan nifas untuk berpuasa, karena mengeluarkan darah haidh dan nifas dapat melemahkan badan, maka berkumpullah dua hal yang melemahkan badan, maka dilaranglah berpuasa atas wanita haidh dan nifas.
Dan hikmah diwajibkannya mengqadhā’ puasa dan tidak wajib mengqadhā’ shalat karena ibadah puasa jumlahnya sedikit, lain halnya dengan shalat, pasti akan menyulitkan. Karena misalnya jika seorang wanita kebiasaan haidhnya 7 hari, maka shalat yang wajib diqadha’ adalah 5 waktu kali tujuh hari, sama dengan 35 waktu. Atau jumlah raka‘at shalat setiap hari 17 raka‘at dikali 7 hari, sama dengan 119 raka‘at dan pasti hal itu akan menyulitkan.
Wanita yang sedang hamil jika takut keguguran apabila berpuasa atau dia takut mengganggu kesehatan janin yang sedang dikandungnya, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa. Begitu pula bagi wanita yang sedang menyusui baik anaknya sendiri atau anak orang lain, secara suka-rela atau dibayar, jika takut dengan berpuasa air susunya menjadi sedikit, boleh tidak berpuasa.
Dan apakah wajib membayar fidyah ketika mengqadhā’ atau tidak? Jawabannya adalah jika dia tidak berpuasa, karena takut akan dirinya saja, atau kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya, maka wajib mengqadhā’nya (mengganti) saja tanpa fidyah. Dan jika dia takut akan kesehatan anaknya saja, maka wajib mengqadhā’nya dan membayar fidyah. Dan fidyah di sini adalah satu mud beras (6,25 Ons) setiap harinya. Baik atas wanita hamil atau menyusui.
Hukum berpuasa bagi orang sakit pada siang bulan Ramādhān ada tiga macam:
Adapun maksud dengan penyakit yang tidak bisa disembuhkan adalah suatu penyakit yang dikatakan oleh dokter spesialis atau sudah menjadi pengetahuan umum apabila terkena sakit tersebut pasti tidak ada harapan sembuh.
Apabila sakitnya terus-menerus tanpa henti, maka boleh tidak berniat puasa jika sakitnya kambuh sebelum fajar, dan jika tidak kambuh sebelum fajar, maka wajib atasnya untuk berniat, walaupun dia menyangka akan kambuh setelah fajar. Hal ini berlaku bagi orang yang tidak takut sakitnya tambah parah bila dia berpuasa. Adapun orang yang takut penyakitnya akan tambah parah atau tambah lama sembuhnya, sekalipun hal itu hanya perkiraan maka dia boleh tidak berniat dan tidak berpuasa. Namun jika berniat lalu kambuh penyakitnya pada waktu siang hari, maka boleh baginya berbuka bahkan wajib berbuka jika khawatir dengan berpuasa akan membahayakan dirinya.
Orang jompo yang sudah tidak kuat lagi berpuasa, tidak dibebankan kewajiban berpuasa, akan tetapi wajib atasnya mengeluarkan satu mud beras (6,25 Ons) setiap harinya sebagai fidyah (ganti). Hal ini sejalan dengan hadits Rasūlullāh s.a.w.:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (ر) عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَ يُطعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَ لَا قَضَاءً عَلَيْهِ. (رواه الدارقطني).
Yang artinya:
“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata: Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. memberi rukhshah (keringanan) kepada orang yang jompo untuk berbuka (tidak berpuasa) akan tetapi setiap harinya memberi makan seorang miskin dan tidak wajib mengqadhā’-nya.” (HR. ad-Dāruquthnī).
Dan boleh bagi orang jompo mengeluarkan fidyahnya pada awal Ramadhān yaitu dengan mengeluarkan 30 mud sekaligus atau diakhirkan pada akhir bulan Ramadhān. Atau dikeluarkan setiap hari satu mud. Dan yang berhak mendapatkan fidyah itu adalah para fakir miskin, akan tetapi boleh memberikan 30 mud sekaligus kepada satu orang fakir atau satu orang miskin.
Jika seorang istri berpuasa, sedangkan suaminya berada di rumah (tidak sedang bepergian), maka hukumnya dapat diperinci sebagai berikut: Jika puasa sunnah, maka wajib minta idzin dulu dari suaminya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَالَ: لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ يَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari Abū Hurairah r.a. berkata: Sesungguhnya telah bersabda Rasūlullāh s.a.w. “Tidak boleh bagi seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya menyaksikannya (hadir – tidak bepergian) kecuali dengan idzinnya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Hal itu dikarenakan seorang suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya, sehingga jika istrinya berpuasa, maka dia telah menghilangkan kesempatan suami untuk bersenang-senang dengannya. Dan jika seorang istri berpuasa sunnah tanpa idzin suaminya, maka puasanya sah. Akan tetapi dia berdosa karena berpuasa tanpa seidzin suami.
Adapun jika puasanya puasa wajib, jika wajibnya muwassa‘ (tidak wajib segera mengqadhā’-nya), maka hukumnya seperti puasa sunnah harus minta idzin suami terlebih dahulu. Lain halnya jika qadhā’-nya wajib fauran (cepat mengqadhā’nya) juga muwassa‘, akan tetapi tidak tersisa hari-hari sebelum Ramadhān, kecuali jumlah hari-hari qadhā’nya, maka tidak berhak bagi suami untuk melarangnya, bahkan haram hukumnya mencegahkan untuk berpuasa.
Anak kecil ketika genap berumur tujuh tahun wajib atas orang tuanya atau walinya untuk menyuruhnya berpuasa jika mampu melakukannya, dan jika tidak mampu maka dibiasakan untuk berpuasa sampai Zhuhur saja, lalu sampai ‘Ashar saja, lalu kemudian dibiasakan untuk berpuasa sampai Zhuhur atau ‘Ashar dia berbuka kemudian melanjutkan lagi sampai Maghrib supaya dia terlatih berpuasa.
Ketika genap berumur 10 tahun wajib atas orang tua atau walinya untuk memukulnya jika tidak berpuasa. Jika orang tua atau walinya tidak memerintahkan atau tidak menghukumnya maka hukumnya haram. Hikmah syara‘ dalam hal ini supaya anak itu menjadi terbiasa ketika baligh nanti.
Apabila seorang anak itu baligh di siang Ramadhān, jika dalam keadaan perbuasa, maka dia wajib meneruskan puasanya. Atau dalam keadaan tidak berpuasa maka sunnah baginya untuk imsāk dan tidak wajib mengqadhā’nya (mengganti) akan tetapi sunnah.