Jembatan dan Neraca Perbuatan Manusia
Kita meyakini bahwa yang dimaksud dengan jembatan (shirāth) adalah jembatan yang berada diatas neraka di mana semua orang harus melewatinya. Ya, jalan menuju ke surga harus melintas diatas neraka. Sebagaimana, dalam al-Qur’ān, Allah SWT berfirman:
Dan Tidak seorangpun dari padamu, melainkan dari mendatangi neraka itu. Hal itu, bagi Tuhanmu, adalah sebuah kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian, kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (Maryam: 71-72)
Ini merupakan tempat lalu-lalang yang sangat sulit dan berbahaya; mudah dan tidaknya seorang manusia dalam melewati jembatan ini tergantung kepada amal perbuatan manusia itu sendiri. Sebagaimana, hal ini dapat kita pahami dari hadits berikut:
“Sebagian bagaikan kilat berhasil melewati jembatan tersebut, sebagian bagaikan lari seekor kuda, sebagian (berjalan) dengan tangan dan kaki, sebagian (lagi) dengan berjalan kaki, dan sebagian dengan bergelantungan melewati jembatan tersebut, seolah-olah api neraka mengambil sesuatu dari mereka lalu melepaskannya.”
Adapun yang dimaksud dengan neraca (mīzān), sebagaimana dapat kita pahami dari namanya, adalah alat untuk menimbang amal perbuatan manusia. Pada waktu itu, semua amal kita ditimbang. Maka, nilai dan berat amal kita pun akan menjadi nyata.
Dalam al-Qur’ān, Allah SWT berfirman:
Dan Kami memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Al-Anbiyā’: 47)
Dalam ayat lain pun, berkenaan dengan persoalan tersebut, Allah SWT berfirman:
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hāwiyah. (al-Qāri‘ah: 6-9)
Namun, kita meyakini bahwa jalan keselamatan dan kebahagiaan di alam akhirat tergantung pada amal perbuatan manusia itu sendiri, bukan berdasarkan khayalan dan angan-angan belaka. Setiap orang akan dibahas sesuai dengan amal perbuatannya sendiri, dan tanpa kesucian dan ketakwaan, manusia tidak akan sampai pada tujuan.
Allah SWT berfirman:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (al-Muddatstsir: 38)
Inilah penjelasan singkat tentang jembatan (shirāth) dan neraca (mīzān) di alam akhirat, kendati kita tidak mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, alam akhirat merupakan alam yang lebih tinggi daripada alam tempat kita hidup sekarang ini. Oleh karena itu, sulit sekali, bahkan tidak mungkin, untuk memahami secara detail tentang alam tersebut, khususnya bagi kita yang terpenjara di alam materi ini.
Syafa‘at pada Hari Kiamat
Kita meyakini bahwa Hari Kiamat kelak, para nabi, para imam, dan para wali, dengan seizin Allah, akan memberikan syafa‘atnya kepada sebagian para pendosa, sehingga dapat diampuni oleh Allah SWT. Namun, perlu diketahui bahwa izin seperti ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak memutuskan hubungan dengan Allah SWT dan para kekasih-Nya.
Oleh karena itu, syafa‘at bukanlah berarti tanpa syarat, bahkan hal ini berhubungan erat dengan bentuk amal perbuatan manusia itu sendiri.
Dalam al-Qur‘ān Allah berfirman:
Dan tiadalah mereka memberikan syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah. (Al-Anbiyā’: 28)
Sebagaimana dalam pembahasan yang lalu, syafa‘at merupakan jalan bagi pendidikan manusia dan menjadi sarana untuk mencegah tenggelamnya seseorang ke dalam kubangan dosa serta menghindari terputusnya semua hubungan dan jembatan yang berkait dengan para kekasih Allah.
Jelaslah bahwa pemilik syafa‘at tertinggi adalah Nabi Muḥammad Saw. Lalu setelah itu adalah para nabi, para imam, bahkan para ulama, para syuhadā’ (orang-orang yang mati syahid) dan orang mukmin yang sempurna. Al-Qur’ān dan amal shaleh bagi sebagian orang dapat memberikan syafa‘at.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imām Ja‘far ash-Shādiq a.s. disebutkan bahwa beliau berkata:
“Tiada seorangpun pada Hari Kiamat yang tak memerlukan syafa‘at Nabi Muḥammad Saw mulai dari awal penciptaan hingga hari kiamat.”
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Nabi Muḥammad Saw disebutkan bahwa beliau bersabda:
“Terdapat lima perkara yang dapat mensyafaati, yaitu al-Qur’ān, silaturahmi, amanat, Nabi Muḥammad Saw dan Ahl-ul-Bait a.s.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Imām Ja’far Shādiq disebutkan bahwa beliau:
“Pada Hari Kiamat, Allah SWT akan mengutus orang yang alim (‘ulamā’) dan Orang yang ahli ibadah (‘ābid). Ketika mereka telah datang menghadap Allah, kepada orang yang ahli ibadah (‘ābid), Allah berfirman: ‘Pergilah menuju surga!’ Sementara pada ulama, Allah SWT berfirman, ‘Tunggulah! Syafa‘atilah orang-orang sesuai dengan pengajaranmu atas mereka.”
Hadits tersebut di atas sebenarnya secara langsung (implisit) telah mengisyaratkan tentang falsafah Syafa‘at.
Alam Kubur (Barzakh)
Kita meyakini, di antara alam dunia dan alam akhirat terdapat alam ketiga, yaitu alam Barzakh. Alam Barzakh adalah alam di mana seluruh ruh manusia, setelah meninggal, singgah di tempat itu sampai Hari Kiamat kelak.
Dalam al-Qur’ān, Allah SWT berfirman:
Dan di hadapan mereka ada dinding (Alam Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan. (al-Mu’minūn: 100)
Namun, kita tidak dapat mengetahui secara mendetail tentang alam tersebut, dan tidak mungkin pula mampu memahaminya. Kita hanya dapat mengetahui bahwa arwah orang-orang yang baik dan sholeh di alam tersebut akan berada pada kedudukan yang tinggi (seperti orang-orang yang mati syahid) dan beroleh kenikmatan yang banyak.
Sebagaimana, firman Allah SWT dalam al-Qur’ān:
Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. (Āli ‘Imrān: 169)
Begitu pula, arwah orang-orang yang melakukan kezaliman dan takut serta orang-orang yang membelanya, akan disiksa di Alam Barzakh. Sekaitan dengan Fir‘aun dan keluarganya al-Qur’ān berkata:
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari jadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fir‘aun dan kaumnya ke dalam ‘adzab yang sangat keras.” (al-Mu’minūn: 46)
Akan tetapi, kelompok ketiga, yaitu orang yang memiliki dosa lebih sedikit, tidak termasuk golongan pertama, juga tidak termasuk golongan kedua. Dia tidak menanggung siksaan. Di Alam Barzakh, dia berada dalam keadaan seperti tidur dan akan dibangkitkan ketika kiamat tiba.
Allah SWT berfirman:
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “Mereka tidak terdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja).” Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran). Dan perkataan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir), “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut Ketetapan Allah SWT, sampai hari kebangkitan itu, akan tetapi engkau selalu tidak meyakininya.”(ar-Rūm: 55-56)
Dalam sebuah hadis yang berasal dari Rasūl Saw, disebutkan bahwa beliau bersabda:
“Kuburan adalah bagaikan taman di antara taman-taman surgawi, atau bagaikan sebuah saluran diantara saluran-saluran surga.”
Balasan Materi dan Non-Materi (Maknawi)
Kita meyakini bahwa balasan di akhirat ada yang bersifat materi (jasmani) dan ada pula yang bersifat non-materi (rohani), karena yang dibangkitkan juga terdiri dari badan rohani dan jasmani.
Segala sesuatu yang telah dijelaskan dalam al-Qur’ān dan riwayat tentang balasan dan siksaan, ada yang menunjukkan sisi jasmani, seperti taman-taman surgawi yang mengalir sungai dari bawah pepohonan. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’ān surat at-Taubah ayat ke-89; pembuahan dan naungannya tidak pernah berhenti, sebagaimana tercantum dalam surat ar-Ra‘d ayat ke-35; peroleh karunia berupa istri-istri yang suci, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’ān surat Āli ‘Imrān ayat ke-15; serta ayat-ayat lainnya yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Begitu pula dengan ayat yang menjelaskan api neraka yang membakar dan siksaannya sangat menyakitkan.
Akan tetapi, yang terpenting dari semua itu adalah balasan yang bersifat rohani atau maknawi, yang memancar dari sinar makrifah Ilahi, kedekatan dengan-Nya dan pencemaran keindahan dan keagungan-Nya. Semua ini adalah kenikmatan yang tidak dapat digambarkan dengan bahasa dan penjelasan apapun.
Dalam sebagian ayat al-Qur’ān, setelah menjelaskan tentang kenikmatan-kenikmatan jasmani surgawi (seperti tanaman-tanaman dan tempat tempat tinggal yang selalu baru), juga diterangkan bahwa keridhoan Allah SWT lebih baik dan lebih agung dari semua ini. Sebagaimana, dijelaskan dalam al-Qur’ān:
Dan keridhaan Allah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Al-Taubah: 72)
Benar, tidak ada kenikmatan yang diketahui manusia yang mampu menandingi tingginya kenikmatan ini. Penerima anugerah ini telah diterima oleh Tuhan dan kekasih Dia Yang Agung serta beroleh keridhaan-Nya. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Imām ‘Alī bin Ḥusain a.s. dijelaskan:
“Allah SWT berfirman kepada mereka, ‘Keridhaan-Ku adalah dari kamu sekalian dan kasihku padamu lebih baik dan agung daripada apa (nikmat) yang engkau ada padanya’ Mereka semua mendengar ucapan ini dan membenarkannya.”
Sebenarnya, bagi manusia, kenikmatan apakah yang lebih besar daripada panggilan berikut ini:
Hai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam (kumpulan) hamba-hambaKu, dan masuklah kedalam Surga-Ku.(Al-Fajr: 27-30)