Hukum merokok di saat berpuasa membatalkan puasa, karena yang masuk ke dalam tubuh bukan asap saja akan tetapi ada sesuatu yang lain ikut masuk. Dan hal itu dapat dilihat jika seseorang merokok dengan menggunakan filter, maka akan kita dapatkan flek yang melekat pada filter tersebut. Dan hal itu dianggap benda yang membatalkan puasa jika masuk ke dalam badan, sesuai dengan ittifāq (kesepakatan) semua ‘Ulama’. Lain halnya apabila yang masuk ke dalam tubuh asap yang bukan melalui rokok, seperti asap kompor, atau asap kemenyan dan lain-lain, maka hukumnya tidak membatalkan puasanya.
Mengorek kuping saat berpuasa, jika sampai ke dalamnya kuping, yaitu tempat yang bisa di masuki jari kelingking maka batallah puasanya, baik dengan jari atau dengan korekan kuping.
Apabila kuping terasa sakit dan tidak akan terasa nyaman jika tidak memakai obat yang dimasukkan ke dalamnya, yang mana dia merasa yakin hal tersebut akan dapat mengurangi rasa sakit atau akan menyembuhkannya, karena telah terbukti atau dengan saran dokter, maka dia boleh melakukannya dan puasanya sah karena dilakukannya dalam keadaan darurat.
Memakai celak saat berpuasa hukumnya boleh dan tidak membatalkan puasanya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sayyidatunā ‘Ā’isyah r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ (ر) قَالَتْ: اِكْتَحَلَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) وَ هُوَ صَائِمٌ. (رواه ابن ماجه).
Yang artinya:
“Dari ‘Ā’isyah r.a. berkata: Bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah memakai celak sedangkan beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Mājah).
Bahkan jika seseorang terkena sakit mata maka dia boleh memakai obat tetes mata, dan tidak membatalkan puasanya. Karena mata bukan termasuk lubang yang terbuka. Lain halnya jika memakai obat yang dimasukkan ke dalam hidung maka membatalkan puasa karena hidung adalah temasuk lubang yang terbuka.
Apabila seseorang meninggal sebelum membayar hutang puasa Ramadhān, hukumnya dapat diperinci sebagai berikut:
“Jika orang itu tidak berpuasa pada bulan Ramadhān dengan tanpa ‘udzur, maka wajib atas keluarganya untuk membayat fidyah dari harta warisan sebanyak 1 mud (6,25 Ons dari beras) seriap harinya, atau berpuasa sebagai ganti puasanya. Baik menginggalnya setelah tamakkun (ada waktu dan kemampuan untuk mengqadhā’-nya akan tetapi tidak dilakukannya), atau sebelum tamakkun.
Sedangkan jika tidak berpuasanya karena ‘udzur, sakit atau haidh pada waktu itu maka hukumnya adalah jika dia meninggal sebelum tamakkun, contohnya dia sakit pada bulan Ramadhān dan dia meninggal pada tanggal 2 Syawwāl, maka dia berarti dia tidak ada waktu dan kemampuan untuk mengqadhā’nya (menggantinya), maka hukumnya tidak wajib atau walinya membayar fidyah atau berpuasa sebagai gantinya dan dia tidak berdosa. Yang dimaksud wali di sini adalah kerabatnya, baik ahli waris atau bukan.
Dan jika meninggal setelah tamakkun, contohnya dia punya hutang karena sakit selama seminggu pada bulan Ramadhān, lalu dia meninggal tanggal 20 Syawwāl. Maka dia meninggal setelah tamakkun, karena mulai tanggal 2 sampai dengan tanggal 20 Syawwāl dia sebetulnya mampu untuk mengqadhā’-nya akan tetapi tidak dilakukannya. Adapun hukumnya wajib atas walinya untuk membayar fidyah atau berpuasa sebagai gantinya, jika hutangnya selama seminggu maka wajib berpuasa satu minggu dan boleh di bagi-bagi kepada tujuh walinya dengan berpuasa atau mereka menyewa tujuh orang untuk mengganti puasanya, baik dilakukan satu hari sekaligus atau secara terpisah.
Jika orang lain (bukan dari kerabatnya) berpuasa untuk membayar hutangnya tetapi dengan idzin kerabatnya atau atas wasiat orang yang meninggal itu, maka sahlah puasa orang yang mengqadhā’ puasa si mayyit. Dan jika tidak dengan idzin kerabat atau atas wasiat dari si mayyit, maka tidak cukup untuk mengqadhā’ puasa si mayyit, atau tidak sah.”
Mana yang lebih afdhal, membayar fidyah atau berpuasa sebagai ganti puasanya?
Jawabnya adalah yang lebih afdhal mengeluarkan fidyah, karena itu adalah (lebih afdhal) menurut madzhab qadīm dan jadīd, sedangkan berpuasa di dalam madzhab jadīd tidak diperbolehkan.
Fidyah itu dikeluarkan dari harta waris, jika dia tidak meninggalkan harta, maka tidak wajib atas ahli warisnya untuk membayar fidyah. Akan tetapi sunnah bagi ahli warisnya membayar fidyahnya dari harta mereka sebagai bakti mereka untuk si mayyit.
Jika tidak berpuasa pada hari-hari Ramadhān maka wajib mengqadhā’nya. Dan jika tidak berpuasanya karena tidak ada ‘udzur, maka harus segera mengqadhā’-nya jika tidak mempunyai halangan syara‘, langsung pada tanggal 2 Syawwāl.
Dan jika ada ‘udzur, maka tidak wajib menqadha’-nya secara fauran (cepat-cepat) akan tetapi ‘alā tarākhīy (secara lambat-laun, yang penting ada niatan untuk mengqadhā’nya). Mengqadhā’-nya kapan saja pokoknya jangan sampai datang Ramadhān lagi. Dan jika diakhirkan sampai datang Ramadhān karena ada ‘udzur maka dia tidak berdosa. Dan jika mengakhirkannya tanpa ‘udzur, maka dia berdosa. Dan apabila mengakhirkan hutang puasa Ramadhān sampai datang bulan Ramadhān yang lainnya maka dia wajib mengeluarkan setiap harinya satu mud beras, dan jika melewati dua Ramadhān dua mud atau tiga Ramadhān berarti tiga mud dan begitu seterusnya.
Puasa wishāl adalah berpuasa 2 hari berturut-turut tanpa berbuka pada malam kedua. Hukum puasa seperti ini adalah haram, sesuai dengan sabda Rasūlullāh s.a.w.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ (ص) عَنِ الْوِصَالِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: وَ أَيُّكُمْ مِثْلِيْ إِنِّيْ أَبِيْتُ يُطْعِمُنِيْ رَبِّيْ وَ يُسْقِيْنِيْ. (متفق عليه).
Yang artinya:
“Dari Abū Hurairah r.a. berkata: Rasūlullāh s.a.w. melarang akan puasa wishal, berkata seseorang dari kaum Muslimin, engkau berpuasa wishal (menyambung puasa) wahai Rasūlullāh? Lalu Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Siapa di antara kalian yang sepertiku? Karena aku menginap dan Allah memberi aku makan dan minum.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Bagi musāfir diperbolehkan memilih untuk tidak berpuasa pada siang Ramadhān jika memenuhi 3 syarat di bawah ini:
Akan tetapi mana yang lebih afdhal berpuasa dalam perjalanan atau berbuka?
Jawabnya diperinci sebagai berikut: Jika dalam perjalanan tidak mendapatkan kesulitan atau kelelahan dan tidak menyebabkan sakit, maka meneruskan puasanya lebih afdhal, supaya lepas dari tanggungan dan juga karena itu yang selalu dilakukan Rasūlullāh s.a.w., karena Allah s.w.t. berfirman:
وَ أَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ. (البقرة: 184)
Yang artinya:
“Dan hendaknya kamu berpuasa, itu lebih baik bagi kamu.” (al-Baqarah: 184).
Jika akan mendapatkan kesulitan serta kelelahan atau dikhawatirkan jatuh sakit, maka yang lebih afdhal adalah tidak berpuasa, seperti hadits yang diriwayatkan di dalam Shaḥīḥ Imām Bukhārī dan Imām Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. melihat seorang yang sedang berpuasa di perjalanan dalam keadaan lemah, lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُوْمُوْا فِي السَّفَرِ. (رواه ابن ماجه)
Yang artinya:
“Bukanlah dari perbuatan baik berpuasa dalam perjalanan.” (HR. Ibnu Mājah).
Apabila merasa sangat lelah dengan berpuasa maka yang afdhal adalah berbuka bahkan jika membahayakan kesehatan, diharuskan untuk berbuka.