Dia adalah salah seorang dari rombongan wanita muslimah yang pertama kali berbaiat (mengucapkan janji setia) di hadapan Rasūlullāh s.a.w..
Fāthimah masuk Islam secara diam-diam tanpa sepengetahuan saudaranya (‘Umar ibn-ul-Khathhtāb) yang – saat itu – masih dalam kemusyrikan. Tidak sedikit cobaan dan penindasan yang dia terima demi pengabdiannya terhadap dakwah Islam.
Adalah Khabbāb ibn-ul-Art yang selalu membuntuti Fāthimah dan suaminya (Sa‘īd bin Zaid). Pada suatu hari, Khabbāb mendengar mereka berdua sedang membaca al-Qur’ān. Dari situlah detik-detik awal ‘Umar akan masuk Islam.
Alkisah, siang itu ‘Umar sedang menghunus pedangnya untuk membunuh Rasūlullāh s.a.w.. Di tengah perjalanannya, ‘Umar bertemu dengan seorang laki-laki dari Bani Zahrah yang menanyakan tujuannya. Setelah tahu tujuan ‘Umar (yang ingin membunuh Rasūlullāh s.a.w.), laki-laki tersebut mengingatkan ‘Umar akan kemurkaan Bani Hāsyim dan Bani Zahrah jika ia bersikeras dengan tekadnya. Laki-laki tersebut memalingkan tekad ‘Umar dengan kabar yang mengejutkan yang patut dia renungi. Laki-laki tersebut berkata: “Sebaiknya anda pergi ke saudari anda dan suaminya yang telah meninggalkan agama mereka dan (berbalik) beriman kepada Muḥammad.”
Mendengar hal itu, ‘Umar berubah pikiran dan segera menuju rumah adiknya. Pada saat yang sama, Khabbāb ibn-ul-Art sedang menyimak dari balik rumah mereka berdua (Fāthimah dan suaminya) yang membaca al-Qur’ān. Ketika mendengar teriakan ‘Umar, Khabbāb langsung bersembunyi di belakang rumah. Begitu juga Fāthimah – saat mendengar teriakan ‘Umar – segera menyembunyikan mushḥaf di balik pahanya. Dengan tergesa-gesa, mereka menyambut kedatangan ‘Umar seraya berkata: “Ada apa gerangan, apakah anda mendengar sesuatu tentang kami?” “Benar, sesungguhnya saya telah mendengar bahwa kalian telah memeluk agama Muḥammad,” sahut ‘Umar dengan nada marah dan seketika itu juga dia mendekati suami adiknya (Sa‘īd bin Zaid) lalu menyiksanya. Menyaksikan suaminya disiksa, Fāthimah segera melerai sambil membela suaminya. Maka tak ayal lagi, beberapa pukulan ‘Umar pun melukai wajahnya. Keadaan semakin tegang ketika Fāthimah dan Sa‘īd berterus terang dengan keislaman mereka dan membiarkan ‘Umar berbuat sekehendaknya.
Namun, darah yang mengalir dari muka Fāthimah meluluhkan hati ‘Umar lalu ia berkata: “Serahkan mushḥaf yang kalian baca tadi untuk saya lihat apa yang dibawa oleh Muḥammad.” Fāthimah menjawab: “Kami khawatir akan mushḥaf ini, bila kami serahkan kepadamu.” Dengan bersumpah atas nama tuhannya, ‘Umar meyakinkan Fāthimah bahwa dia akan mengembalikan mushḥaf tersebut setelah membacanya.
Mendengar kesungguhan ‘Umar, Fāthimah berharap akan keislaman saudaranya dan berkata: “Wahai Saudaraku, sesungguhnya kamu tidak diperkenankan menyentuh mushḥaf ini selama kamu najis dalam kemusyrikanmu karena hanya orang-orang yang suci yang boleh menyentuh mushḥaf ini. Mandilah dulu dan kamu bisa mengambil mushḥaf.
Setelah mandi, ‘Umar mengambil mushḥaf tersebut lalu membacanya. “Alangkah indah dan mulianya perkataan (al-Qur’ān) ini,” demikian komentar ‘Umar setelah membaca beberapa ayat dari surah Thāhā (ayat 1-8). Mendengar komentar ‘Umar tersebut, Khabbāb yang sejak pertama menyaksikan kejadian tersebut, keluar (dari persembunyiannya) mendatangi ‘Umar seraya berkata: “Wahai ‘Umar, demi Allah saya berharap kamulah orang yang mendapat kemuliaan dari Allah lewat doa Rasūl-Nya. Karena, saya mendengar beliau kemarin berdoa: “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Abū Ḥakam bin Hisyām atau ‘Umar ibn-ul-Khaththāb.’ ”
Seketika itu juga, ‘Umar meminta kepada Khabbāb untuk diantarkan ke Rasūlullāh s.a.w. yang saat itu sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya di sebuah rumah dekat bukit Shafā. Sambil menghunus pedangnya, ‘Umar mengetok rumah Rasūlullāh s.a.w.. Lalu berdirilah salah seorang sahabat untuk mengintip dari dalam siapa yang datang. Setelah para sahabat tahu bahwa yang datang adalah ‘Umar dengan menghunus pedangnya, Ḥamzah berkata di hadapan Rasūlullāh s.a.w.: “Saya mohon supaya Baginda Rasūl mengizinkannya masuk. Kalau memang dia datang untuk meminta kebaikan, kita beri. Kalau datang untuk kejahatan, biarkan saya yang menghadapinya dengan pedang saya.” Rasūlullāh s.a.w. pun bersabda: “Izinkan dia (‘Umar) masuk.”
Sambil menampikkan jubahnya, Rasūlullāh s.a.w. menyambut kedatangan ‘Umar lalu beliau berkata: “Wahai putra al-Khaththāb, gerangan apa yang menyebabkan kamu ke sini. Demi Allah, apa yang terjadi dengan dirimu sehingga bumi ini sempat gempa karena kamu?” ‘Umar menjawab: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya saya datang untuk beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya serta beriman kepada apa yang datang dari Allah.”
Seketika itu juga, Rasūlullāh s.a.w. langsung bertakbir dan para sahabat pun turut bersukacita dengan peristiwa yang bersejarah tersebut. Tidak lama kemudian, majelis itu pun berakhir dan para sahabat bubar sambil berbangga akan keislaman ‘Umar dan Ḥamzah. Karena kedua orang tersebut paling diandalkan untuk membela dakwah Rasūlullāh s.a.w..
Demikianlah peran Fāthimah dalam “mengantarkan” saudaranya ke “pintu” Islam sampai menjadi seorang khalifah. Dalam periwayatan hadits, Fāthimah juga meriwayatkan beberapa hadits dari Rasūlullāh s.a.w. sebagaimana yang dituturkan Ibn-ul-Jauzī.
Dari sini semakin jelas bahwa di balik laki-laki yang agung terdapat wanita yang agung pula.