Hati Senang

4-10 Cara Mentauhidkan Allah s.w.t. | Penutup – Tauhid-uz-Zat – Permata Yang Indah (Bag 4)

الدر النفيس
للشيخ محمد نفيس ابن إدريس البنجاري


PERMATA YANG INDAH
TITIAN SUFI MENUJU TAUḤĪDULLĀH
Oleh: Syekh Muhammad Nafīs Ibnu Idrīs Al-Banjārī

هو

PASAL EMPAT

TAUḤĪD AŻ-ŻᾹT

 

PENUTUP

(Bagian 4)

 

Adapun yang kedua, yakni salawat Nabi s.a.w. cara melakukannya adalah pertama-tama tentu suci dari ḥadaṡ (dalam kondisi wudhu), kemudian mengambil posisi duduk menghadap ke kiblat. Lalu dengan segenap harapan, memohon pertolongan Allah s.w.t. dan barakah Nabi Muḥammad s.a.w. agar Cahaya Muḥammad dihadirkan di hadapan anda. Apabila anda mengucapkan salawat kepada Nabi pada saat itu, maka Obyek yang diminta, yaitu Allah s.w.t., akan hadir di sisi anda, persis ketika anda mengucapkan kalimat: “Allāhumma Ṣalli (Ya Allah, sejahterakanlah!). Dan begitu anda melafalkan: “ta” dalam kalimat “Sallayta” maka anda akan diingatkan secara spiritual bahwa yang mengucapkan salawat atas Nabi s.a.w. itu tidak lain hanyalah rahasia Nūr-nya yang mengalir pada segala sesuatu yang diperuntukkan bagi Nabi s.a.w. Sebab, sebagaimana kami katakan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang tercipta di alam ini adalah berasal dari Nūr Muḥammad. Bisa kita lihat kembali Hadits Jābir r.a. yang telah kami sebutkan di atas.

Maka bagi yang mengucapkan salawat atas Nabi, pada hakikatnya memperoleh rahasia darinya. Abadikanlah oleh anda mengenai hal yang demikian itu dengan penerimaan yang sempurna, sehingga habiskanlah semua waktu anda dalam upaya mencintai Nabi s.a.w. Apabila anda telah melaksanakannya, niscaya Allah akan menyingkapkan kepada anda pelbagai keindahan berupa hakikat Muḥammadiyyah. Kemudian di dalam kandungan keindahan Nabi ini, anda akan naik kepada musyāhadah untuk menyaksikan keindahan Wujud Mutlak Allah s.w.t. karena Nabi Muḥammad s.a.w. berasal dari Nur Zat-Nya. Salah satu indikasi faktual keduniawian untuk menunjukkan bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. diciptakan dari Nur Zat-Nya adalah bahwa bayang-bayang tubuh Nabi tidak sampai jatuh mengenai bumi, sebagaimana bayang-bayang manusia lain pada umumnya.

Apabila anda telah membiasakan diri untuk tetap bersalawat kepada Nabi, maka anda termasuk di antara orang-orang yang mewarisi sang Nabi serta menjadi imam atau panutan yang memberi petunjuk kepada segenap makhluk. Begitulah pernyataan yang keluar dari sebuah risalah berjudul Igāṡah al-Lihfān wa Mu’ānisah al-Wilhān, yang ditulis oleh Syaikh Masyāyikhinā Quṭb az-Zamān Mawlānā Syaikh ‘Abd al-Karīm Muḥammad Ibn ‘Abd al-Karīm as-Sammān q.s.

Menurut Syaikhunā al-‘Ᾱrif bi Allāh Mawlānā Syaikh aṣ-Ṣiddīq Ibn ‘Umar Khān r.h. di dalam Syarḥ Qaṣīdah ‘Ayniyyah:

“Ketahuilah bahwa syekh kami, ‘Abd al-Karīm as-Sammān, adalah termasuk di antara ulama yang mengamalkan agama dengan kuat (qawwīm) dan senantiasa berada di jalan (wārid) Kalām yang qadīm (al-Qur’ān), yang memerintahkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasīlah yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (al-Mā’idah [5]: 35).

Pertanyaannya adalah apakah wasīlah yang paling mulia daripada Nabi s.a.w. dan apa pula wasīlah (perantara) hamba untuk mengenal Allah yang lebih utama daripada Nabi s.a.w.? Jawabannya adalah Nabi kita Muḥammad s.a.w. itulah merupakan wasīlah dan wāsiṭah yang paling mulia, lantaran ia diberi keutamaan (faḍīlah).

Maka ketahuilah bahwa seseorang yang masuk dari Pintu (Bāb) Nabi untuk sampai ke hadirat Allah s.w.t., yakni seseorang yang me-musyāhadah-kan Nūr Muḥammad s.a.w., maka, tentu saja dengan sebab musyāhadah tersebut, ia akan sampai kepada musyāhadah terhadap Zat Allah s.w.t. Di samping itu, dia lebih sempurna ketimbang Sufi-sufi lain yang menempuh jalan lain, sekalipun juga sampai kepada musyāhadah-Nya. Dia menjadi lebih sempurna daripada orang yang memperoleh musyāhadah tersebut melalui jalan jażbah Ilāhiyyah (yang secara spontan diraih oleh Allah). Orang yang menempuh jalan terakhir ini tidaklah betul-betul mencari atau mengadakan laku spiritual yang berat atau secara khusus, melainkan hanya mengikuti apa yang diperintahkan Allah dengan menegakkan sifat-sifat kehambaan yang biasa.

Adapun para nabi (anbiyā’) dan para wali (awliyā’) yang mengenal Zat Allah dengan sebab memandang dan menyaksikan (musyāhadah) Nur Muḥammad s.a.w., mereka itulah para nabi dan para wali yang disebut dan diposisikan di bawah qadam Nabi kita Muḥammad s.a.w. Lantaran itu pula Syaykhunā yang disebut di atas memberikan ijazah kepada saya yang fakir ini lantaran me-musyāhadah-kan Nur Muḥammad s.a.w. tersebut. Syaikh kami – Syaikh aṣ-Ṣiddīq Ibn ‘Umar Khān r.h. – itu berpesan kepada saya:

Musyāhadah-kanlah Nūr Muḥammad s.a.w., karena ia mengalir ke dalam setiap rahim dan batang tubuhmu serta pada segala kā’ināt (segala sesuatu yang ada) laksana mengalirnya air dalam tumbuh-tumbuhan. In syā’ Allāh, Allah akan menyingkapkanmu keindahan Zat-Nya Yang Wājib al-Wujūd Yang Suci. Hal ini menjadi syarat bagi para hamba untuk dapat mengenal-Nya, sebab Allah tidak mungkin dapat dikenal melainkan dengan Nur-Nya yang mengalir pada kita semua para hamba-Nya dengan perantara Nur Muḥammad s.a.w. Sementara itu, tubuh kita yang kasar dan ẓulmah (hina) ini sama sekali tidak dapat mengenal-Nya.”

Wa Allāh A‘lam.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.