4-1 Shafiyyah Binti ‘Abd-ul-Muththalib (Saudari Hamzah) – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 004 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Saudari | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Wanita muslimah Teladan
Sebagai Saudari

 

Saudari Teladan

Sosok saudari ideal adalah yang bisa menyatukan
“barisan” yang kocar-kacir dan mampu menjadi perekat yang
menyatukan setiap perpecahan. Dialah yang selalu
memotivasi para pejuang, mengobarkan semangat mereka,
bahkan dalam kondisi tertentu dia ikut terjun ke medan laga.
Seorang wanita, dengan ketajaman akalnya dan kharismatik
dirinya, bisa menjadi sumber inspirasi dalam mengatur
strategi dan memberi solusi. Dia laksana lentera yang
menerangi orang di sekitarnya. Dia korbankan segala yang
dimilikinya demi tegaknya kebenaran dan mengharap
ridha Ilahi.

 

Berikut beberapa wanita teladan sebagai seorang saudari di sekitar Rasūlullāh s.a.w..

1. SHAFIYYAH BINTI ‘ABD-UL-MUTHTHALIB (SAUDARI ḤAMZAH)

Dia adalah bibi Rasūlullāh s.a.w., ibu az-Zubair ibn-ul-‘Awwām, dan saudari Ḥamzah “Asadullāh” paman Rasūlullāh s.a.w..

Shafiyyah temasuk dalam golongan pertama yang masuk Islam dan salah seorang pengikut rombongan kaum Muhājirīn ke Yatsrib (Madīnah).

Sosok Pribadi yang Sabar

Sedikit sekali ditemui di kalangan wanita ‘Arab yang bisa menyamai kemuliaan Shafiyyah, baik dari sisi keturunan, mulai dari leluhurnya sampai anak cucunya, maupun dari sisi akhlaknya. Dia adalah sosok wanita yang kuat imannya, penyabar, dan (sekaligus) ikhlas dalam berkorban di jalan Allah s.w.t.. Dan, Shafiyyah termasuk wanita teladan, khususnya dalam kesabaran dan keridhaannya akan takdir Allah s.w.t..

Dalam Perang Uhud misalnya, ketika pasukan panah melanggar perintah Rasūlullāh s.a.w. dengan meninggalkan tempat mereka demi mengambil harta rampasan, maka datanglah musuh menyerbu mereka dari arah belakang. Pada saat itu, berangkatlah Hindun binti ‘Utbah – istri Abū Sufyān, ibu Khalīfah Mu‘āwiyah – bersama tentara musyrik untuk membalas dendam kepada Ḥamzah yang telah membunuh ayah dan kedua pamannya pada saat Perang Badar.

Untuk tujuan itu, Hindun mengutus budaknya, Wahsyī agar mengintai Ḥamzah dan membunuhnya. Akhirnya, apa yang yang diinginkan Hindun tercapai. Tombak yang diarahkan oleh Wahsyī mengenai sasaran; Ḥamzah pun terjatuh dan luka. Pada saat itu juga Wahsyī langsung menemui Hindun yang sedang menari bersama para wanita Quraisy di hadapan tentara Quraisy

Mendengar kabar gembira tersebut, Hindun langsung berangkat menuju mayat Ḥamzah dan sekonyong-konyong dia membelah dada Ḥamzah untuk dikeluarkan jantungnya dan dikunyahnya sebagai rasa balas dendamnya. Pada saat yang sama, Shafiyyah – saudari Ḥamzah – langsung mencari jasad kakaknya di sela-sela serakan para korban yang lain.

Karena khawatir Shafiyyah tidak akan sanggup melihat kondisi mayat kakaknya, Rasūlullāh s.a.w. menyuruh Zubair (putra Shafiyyah) untuk menahan ibunya agar tidak mencari jasad Ḥamzah. Berangkatlah Zubair menemui ibunya dan berkata: “Wahai Ibu, sesungguhnya Rasūlullāh menyuruh Ibu untuk tidak berangkat (mencari jenazah Ḥamzah).” Saat itu juga Shafiyyah menjawab dengan pelan dan pasti: “Mengapa saya harus balik? Sesungguhnya, saya telah mendengar apa yang terjadi pada saudara saya dan saya yakin, demi Allahlah dia meninggal. Apa pun yang terjadi padanya, saya ikhlas dan sabar. In syā’ Allāh, Dia akan membalas semuanya.” Zubair kembali kepada Rasūlullāh s.a.w. mengabarkan apa yang dikatakan ibunya. Mendengar penuturan Zubair tentang ketabahan dan kesabaran ibunya, Rasūlullāh s.a.w. membiarkan Shafiyyah mencari jasad kakaknya, Ḥamzah.

Di hadapan jenazah kakaknya, Shafiyyah melepas kepergian kakaknya sambil berusaha menahan air matanya seraya berkata: “Salam sejahtera bagimu wahai Abū ‘Imārah (Ḥamzah), semoga Allah mengampunimu. Kita adalah bangsa yang mempunyai kebiasaan perang dan mati syahid. Tidak ada daya dan upaya kecuali hanya Allah dan sesungguhnya kita adalah milik-Nya serta kepada-Nyalah kita kembali. Hanya Allahlah penolongku dan Dia adalah sebaik-baik Penolong. Semoga Allah memberi pengampunan buat kita dan memberi balasan kepadamu sebagaimana balasan hamba-hambaNya yang ikhlas.”

Demikianlah, Perang Uhud mencatat kebesaran hati dan kesabaran Shafiyyah yang patut diteladani oleh siapa pun.

Keberanian Seorang Wanita

Ketika sedang berkecamuk Perang Khandaq yang terjadi di luar kota Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. menugaskan tukang syairnya, Ḥusam (Ḥassān ?????) bin Tsābit untuk menjaga para wanita dan anak-anak di dalam kota Madīnah. Sementara, di dalam kota Madīnah sendiri keadaan mulai genting, ketika kaum Yahudi Bani Quraizhah melanggar janji mereka (dengan Rasūlullāh s.a.w.) dengan memerangi kaum muslimin yang menetap di dalam kota Madīnah.

Di tengah-tengah berkecamuknya perang, baik di dalam maupun di luar kota Madīnah, Shafiyyah melihat ada seorang Yahudi yang mengintai rumah Rasūlullāh s.a.w.. Shafiyyah segera melaporkan hal itu kepada Ḥusam. Namun, apa yang terjadi dengan Ḥusam? Ternyata dia takut melawan Yahudi tersebut seraya berkata: “Wahai putri ‘Abd-ul-Muththalib, semoga Allah mengampunimu. Sesungguhnya saya sudah mengetahui hal itu sejak tadi, tapi saya tidak mempunyai keberanian untuk melawannya.”

Melihat keluarga Rasūlullāh s.a.w. dalam keadaan bahaya, Shafiyyah tidak ambil diam. Dengan membawa tiang tenda, dia keluar dari benteng (rumah) dan menyerang seorang Yahudi yang mengintai tadi dengan memukul kepalanya sampai terkapar di tanah. Setelah memukulnya berkali-kali sampai mati Shafiyyah kembali ke benteng sambil melempar tiang tenda tersebut dan berkata kepada Ḥusam: “Wahai Ḥusam, saya telah berhasil membunuh si Yahudi tadi. Sekarang keluarlah untuk menggeledah harta yang dibawanya karena saya wanita sehingga saya tidak bisa menggeledahnya.” Ḥusam menjawab: “Wahai putri ‘Abd-ul-Muththalib, sepertinya tidak ada yang bisa diambil dari si Yahudi tersebut.”

Demikianlah peran Shafiyyah dalam dakwah Rasūlullāh s.a.w. Dia tidak hanya seorang penyabar, tapi lebih dari itu, dia seorang pemberani dan penolong, di samping ide-idenya yang cemerlang.

Peristiwa terbunuhnya seorang Yahudi membuktikan keberanian seorang wanita yang menang beberapa langkah atas keberanian seorang laki-laki. Pada saat seharusnya seorang laki-laki pantang mundur, ternyata seorang wanita datang menggantikan posisinya dengan segala keberaniannya.

Bila kita membuka beberapa kitab sirah – semisal Sīrah Ibnu Hisyām atau Sīrah Ibnu Isḥāq – hadits atau kitab biografi para sahabat (thabaqāt) kita akan menemukan kisah Shafiyyah dengan keberaniannya yang telah membunuh mata-mata Yahudi.

Sampai sekarang, mata-mata Yahudi masih mengintai kita (kaum muslimin). Mereka telah mendirikan negara mereka di atas tumpukan tulang-belulang saudara kita (di Palestina). Apakah sejarah akan terulang kembali dengan munculnya “Shafiyyah” atau beberapa “Shafiyyah” yang berhasil mematahkan serangan kaum Yahudi. Nama Shafiyyah tidak hanya menjadi lambang wanita penyabar, tetapi dia juga sosok wanita pemberani yang patut diteladani oleh kaumnya. Sosok Shafiyyah selalu mengingatkan kita untuk selalu waspada akan marabahaya yang mengancam kita setiap saat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *