BAB IV
Apabila air masuk ke dalam tubuh pada waktu mandi, apakah membatalkan puasa atau tidak?
Hukumnya dapat diperinci sebagai berikut: Apabila mandinya itu mandi wajib atau sunnah, maka masuknya air tanpa sengaja itu tidak membatalkan puasa. Akan tetapi jika mandi itu adalah mandi untuk membersihkan badan atau karena udara panas, maka hukum puasa kita batal dengan masuknya air ke dalam tubuh. Akan tetapi jika mandinya di kolam renang dengan berenang, maka hukumnya batal puasanya, baik mandi wajib, sunnah, atau mandi biasa. Karena sudah menjadi kebiasaan apabila mandi berenang akan masuk air ke dalam tubuh.
Berkumur dan istinsyāq (memasukkan air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya), dalam wudhu’ hukumnya sunnah. Walaupun dalam keadaan puasa. Cuma bedannya jika tidak berpuasa disunnahkan berlehihan dalam berkumur dan istinsyāq sehingga air sampai ke tenggorokan dalam berkumur dan pangkal hidung dalam hidung dalam istinsyāq, akan tetapi hal itu tidak disunnahkan bagi orang yang berpuasa, sehingga jika masuk air ke dalam perutnya karena dia terlalu berlebihan dalam berkumur atau istinsyāq maka batallah puasanya. Jika tidak berlebihan lalu masuk air tanpa disengaja tidak membatalkan puasanya.
Hukum menyikat gigi atau memakai siwak setelah masuknya waktu shalat Zhuhur adalah Makruh, karena hal itu akan menghilangkan bau mulut yang dituntut oleh syara‘ untuk tidak dihilangkan, sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. (رواه البخاري).
Yang artinya:
“Sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau misik.” (HR. Bukhārī).
Dan jika menyikat gigi dengan pasta gigi/odol, lalu tertelan odol tersebut maka batallah puasanya.
Hikmah dimakruhkannya menyikat gigi setelah masuknya waktu shalat Zhuhur atau waktu istiwā’ adalah karena bau mulut biasanya akan tampak saat itu.
Menelan air ludah tidak membatalkan puasa, tetapi dengan tiga syarat:
Menelan dahak saat berpuasa tidak membatalkan puasa, kecuali jika sudah sampai dahak itu ke batas zhahir (ujung) tenggorokan, yaitu tempat makhraj huruf (هـــ) dan (خ), lalu ditelan maka batallah puasanya. Dan tidak membatalkan jika menelan dahak yang ada di pangkal tenggorokan, yaitu tempat makhraj (ح) karena masih di batas batin (termasuk rongga dalam).
Mencium atau memeluk tanpa penghalang yang berupa kain atau lainnya pada saat berpuasa, dan tergerak syahwatnya (ghairahnya), hukumnya haram, karena akan menyebabkan dorongan untuk bersetubuh atau menyebabkan keluarnya sperma. Semua itu akan membatalkan puasa dan menyebabkan dosa. Oleh karenanya Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
مَنْ حَامَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشَكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ. (مغني الْمحتاج)
Yang artinya:
“Barang siapa mendekati sesuatu yang dilarang maka ditakutkan akan jatuh ke dalamnya.” (Mughnī-l-Muḥtāj).
Adapun bagi orang yang tidak tergerak syahwatnya seperti orang tua, tidak apa-apa melakukannya akan tetapi lebih baik meningalkan perbuatan itu. Dan jika hal itu dilakukan saat berpuasa dan menyebabkan keluarnya sperma maka batallah puasanya.
Bersetubuh pada saat berpuasa bulan Ramadhān adalah termasuk dosa besar dan wajib atasnya untuk mengganti di hari yang lain, juga dikenai sanksi berupa membayar kaffārah yaitu:
Dan diwajibkannya kaffārah tersebut, hanya kepada suami saja tidak atas istri, akan tetapi si istri wajib mengqadhā’ puasanya. Sedangkan jika hal itu dilakukan atas kemauan istri juga, maka kedua-duanya sama-sama berdosa dan jika si istri dipaksa atau sudah mengingatkan suaminya, maka si istri tidak berdosa.
Akan tetapi hal ini tidak wajib kecuali jika terkumpul padanya syarat-syarat sebagai berikut:
Apabila terulang persetubuhan itu dalam satu hari maka tetap dia hanya mengeluarkan satu Kaffārah, akan tetapi jika dia bersetubuh dua kali dalam 2 hari maka wajib dua kaffārah dan begitu seterusnya. Adapun jika dalam satu hari dua atau tiga kali, tetap wajib satu kaffārah saja.
Adapun hukum injeksi saat kita berpuasa, sebagian Ulama Muta’akhkhirīn mengatakan bahwa hal itu membatalkan puasa, dan sebagian lainnya mengatakan tidak membatalkan puasa, maka yang lebih baik, jika tidak ingin diinjeksi sebaiknya diakhirkan pada malam hari saja, kecuali bila keadaan mendesak.
Menunda haidh dengan meminum obat pada bulan Ramadhān, sehingga dapat melaksanakan puasa sebulan penuh, dapat melaksanakan shalat tarāwīḥ setiap malam, hukumnya tidak apa-apa, asalkan obat tersebut tidak mempunyai efek yang membahayakan dirinya.
Akan tetapi lebih baik dia menjalaninya seperti apa adanya secara alamiah dan menerima hal itu sebagai ketetapan Allah atas semua wanita Bani Ādam untuk mengeluarkan darah haidh setiap bulannya.
Adapun pahala dari shalat tarawih dan keistimewaan berpuasa pada bulan Ramadhān akan diperolehnya dengan kemurahan Allah s.w.t., jika dia menerima dan sabar atas kudratnya sebagai seorang wanita. Apalagi biasanya pil-pil yang mengandung bahan kimia akan mempunyai efek yang tidak baik kepada diri orang yang mengkonsumsinya.
Hukum mencicipi makanan atau minuman, jika tidak perlu hukumnya makruh. Dan jika perlu untuk itu, karena dia memasak misalnya, atau membeli sesuatu makanan, maka tidak apa-apa baginya untuk mencicipi makanan itu karena dia perlu untuk mencobanya. Dan jika ada anak kecil maka lebih baik dia yang mencicipinya. Dan jika dia menelan makanan itu tanpa sengaja, karena harus mencicipinya, mata tidak batal puasanya. Dan jika tidak perlu mencicipinya atau sengaja menelannya maka batallah puasanya.