4-2-3 Tahapan Godaan – Berbagai Gerak Hati & Kehendaknya | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 004 Tahapan Godaan - Minhaj-ul-Abidin

Seandainya ditanyakan: “Apakah orang yang tafwīdh (menyerahkan urusan kepada Allah) itu akan aman dari kerusakan, sementara dunia adalah negeri tempat cobaan?”

Ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah akan ber-tafwīdh, melainkan secara umum, tentu ia akan mendapatkan kemaslahatan. Namun bisa juga terjadi, mendapatkan yang tidak baik, tetapi sangat langka. Lantaran Allah hendak mengujinya, masihkah tetap konsisten dengan penyerahannya ataukah sebaliknya. Jika ternyata, melorot dari kedudukan tafwīdh. Maka tidak ada lagi kebaikan, tetapi justru kehinaan, karena posisinya yang jauh meninggalkan tafwīdh. Demikianlah kata Syaikh Abū ‘Amr, raḥimahullāh.

Ada yang mengatakan bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah, tentu Allah akan memberikan kemaslahatan dari urusannya itu baginya. Sementara kehinaan itu bakal terjadi karena mengabaikan tafwīdh. Penempatan tafwīdh yang tidak tepat, hanyalah akan menimbulkan kerusakan. Pengambilan sikap tafwīdh itu, hanya pada persoalan yang masih meragukan, apakah mengandung kerusakan atau kemaslahatan. Yang demikian ini, merupakan salah satu pendapat yang lebih utama dari dua pendapat, menurut guruku. Sebab, kalau Allah tidak menghendaki apa yang baik buat hamba-Nya, tentu tidak ada pendorong yang kuat untuk melakukan tafwīdh.

Jika ditanyakan: “Apakah wajib bagi Allah, berbuat sesuatu yang paling utama bagi orang yang menyerahkan urusan kepada-Nya.”

Ketahuilah, bahwa mustahil bagi Allah, berkewajiban berbuat sesuatu buat hamba-Nya. Tidak ada kewajiban bagi Allah terhadap hamba-Nya. Memang kadang-kadang Allah melakukan apa yang lebih baik bagi hamba-Nya, tetapi bukan yang lebih utama sebagai hikmah perbuatan Allah.

Tidakkah anda tahu, bahwa ketika Rasūlullāh dan para sahabat melakukan suatu perjalanan, Allah menakdirkan Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya tertidur sepanjang malam hingga matahari terbit. Sehingga, mereka tidak mengerjakan shalat malam dan shalat Fajar (Subuh) tepat pada waktunya. Padahal seperti kita ketahui, shalat lebih utama daripada tidur.

Bisa jadi Allah menakdirkan seseorang kaya raya dan hidup penuh kenikmatan di dunia, meskipun fakir adalah lebih utama. Terkadang Allah menakdirkan seseorang sibuk mengurusi istri dan anak-anaknya, sekalipun mengosongkan diri untuk fokus beribadah kepada Allah itu, lebih utama. Sungguh, Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Yang demikian ini, seperti halnya seorang dokter ahli yang memilih memberikan kepada pasiennya air gandum, meskipun air gula adalah lebih enak. Sebab, dokter tahu bahwa si sakit bisa sembuh dengan minum air gandum.

Maksudnya, ketika dalam kondisi seperti itu, maka keselamatan si pasien lebih penting agar tidak binasa. Sebab, tidak ada gunanya keutamaan dan kemuliaan yang disertai penderitaan dan kebinasaan.

Jika ditanyakan: “Apakah orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah itu mempunyai pilihan?”

Ketahuilah, bahwa yang shaḥīḥ menurut ulama kita, adalah bahwa orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah itu mempunyai pilihan dan hal itu tidak membuatnya tercela. Artinya, bahwa apabila dalam sesuatu yang lebih utama dan lebih afdhal itu mengandung kemaslahatan bagi dirinya, dan itu yang diinginkan dari Allah agar menjadikannya sebagai sebab kebaikan dan kesembuhannya. Sama halnya dengan orang sakit yang berkata kepada dokter: “Berilah aku obat air gula, bukan air gandum, kalau memang kesehatan tubuhku bisa diperoleh dari kedua-duanya, agar aku mendapatkan terutama sekaligus kesehatan.”

Demikian pula, bila seorang hamba memohon kepada Allah agar menjadikan kebaikan dirinya dalam perkara yang lebih utama, supaya ia memperoleh keutamaan dan kebaikan sekaligus. Tetapi dengan syarat, kalau Allah memilihkan untuknya kebaikan pada selain yang lebih utama, ia harus rela dengan hal itu.

Apabila ada yang bertanya: “Mengapa seorang hamba mesti memilih yang lebih utama, bukan yang lebih baik?”

Ketahuilah, bahwa perbedaan antara keduanya adalah, karena seseorang mengetahui mana yang lebih utama dibanding yang kurang utama, tetapi tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang rusak. Yang demikian itu, agar ia dapat menentukan keinginannya dengan bijak.

Kemudian, makna pilihan hamba kepada apa yang lebih utama itu, berarti ia mengharapkan dari Allah, semoga Allah berkenan menjadikan kebaikan bagi dirinya dalam perkara yang lebih utama dan memilihkan untuknya apa yang lebih utama itu, serta menakdirkan hal tersebut baginya. Jadi bukan berarti seseorang bertindak menurut pendapatnya sendiri mengenai apa yang dianggap lebih utama.

Apa yang kuterangkan ini, merupakan versi terdalam dari ilmu tashawwuf dan rahasia-rahasianya, seandainya tidak terdorong oleh kebutuhan yang sangat mendesak, tentu tidak perlu aku menerangkannya. Karena, ilmu ini merupakan bagian dari pergolakan lautan ilmu mukāsyafah. Aku hanya menerangkan faedah yang memuaskan dalam kitab ini dan maksudku hanyalah menjelaskan, supaya para ulama besar dan orang-orang yang baru mulai mendalami ilmu ini dapat mengambil manfaat, in syā’ Allāh.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *