4-1-5 Tahapan Godaan – Rezeki & Tuntutan Nafsu | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 004 Tahapan Godaan - Minhaj-ul-Abidin

Jika anda bertanya: “Apakah orang yang tawakkal itu, masih perlu membawa bekal dalam bepergian?”

Ketahuilah, bahwa orang itu bisa saja membawa bekal, tetapi hatinya tidak tergantung kepada bekal yang dibawanya itu. Sebab bagaimana bekal itu bersandar kepada Allah dan pasrah kepada-Nya. Ia bisa mengucap: “Rezeki itu telah dibagi dan sudah selesai urusannya (tidak lagi dapat diubah). Kalau Allah berkehendak, bisa saja menegakkan diriku dengan rezeki ini, atau dengan rezeki yang lain.”

Mungkin saja, orang yang tawakkal itu membawa perbekalan dalam bepergian, diniatkan untuk membantu sesama Muslim. Dalam hal ini yang penting bukan membawa atau tidak membawa bekal, melainkan soal hati, kepada siapa hatinya digantungkan.

Janganlah anda menggantungkan diri kepada selain janji Allah, kesempurnaan pemenuhannya dan jaminan-Nya. Banyak orang yang membawa bekal dalam bepergian, tetapi hatinya tetap bersandar kepada Allah, bukan kepada bekal yang dibawanya. Demikian juga sebaliknya, banyak orang yang tidak membawa bekal dalam perjalanan, tetapi hatinya selalu tertuju dan tergantung pada bekal, bukan kepada Allah. Jadi, semua tergantung kepada hati. Pahamilah pokok-pokok masalah tersebut, in syā’ Allāh, anda akan tercukupi.

Seandainya ditanyakan: “Mengapa Nabi Muḥammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya, serta orang-orang saleh terdahulu membawa perbekalan dalam perjalanan?

Ketahuilah, bahwa membawa perbekalan adalah perkara yang mubah, tidak haram. Yang haram adalah bersandar atau menggantungkan diri kepada perbekalan itu, tanpa berserah diri dan tawakkal kepada Allah. Pahamilah keterangan ini:

Kemudian, apa yang menjadi persangkaan anda, ketika Allah berfirman kepada Rasūlullāh s.a.w.:

وَ تَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ

Artinya:

Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) yang tidak mati.” (Al-Furqān: 58).

Apakah Nabi Muḥammad s.a.w. mendurhakai Allah dalam hal ini? Apakah beliau menggantungkan hatinya kepada makanan dan minuman, atau kepada dirham atau dinar?

Tidak, Nabi pasti tidak bertindak durhaka. Tetapi hati beliau pasti tertuju kepada Allah dan selalu bertawakkal kepada-Nya, sesuai apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Karena, beliau adalah seorang Nabi yang hatinya tidak berpaling kepada dunia, seluruhnya dan tidak pula mengulurkan tangannya untuk mau menerima kunci semua kekayaan harta bumi.

Kalau Nabi Muḥammad s.a.w. dan orang-orang saleh terdahulu membawa bekal dalam perjalanan, itu adalah lantaran ada niat yang baik, bukan karena senang hatinya terhadap bekal, lalu meninggalkan menghadap Allah. Jadi, yang dianggap adalah niat, menurut apa yang kuterangkan kepada anda. Pahamilah dan bangunlah dari tidur, sadarlah dari kelalaian, niscaya anda dikaruniai laku lampah yang benar oleh Allah.

Jika anda pertanyakan: “Manakah yang lebih utama. Membawa bekal atau tidak?” Ketahuilah, bahwa hal itu adalah tergantung keadaannya. Jika ia seorang yang menjadi panutan orang banyak dan berniat memberikan contoh kepada para pengikutnya, bahwa membawa perbekalan diperbolehkan, atau dengan niat untuk menolong sesama muslim, menolong orang susah, dan semisalnya, maka membawa bekal adalah lebih utama.

Namun, jika ia bepergian seorang diri dan kuat hatinya dalam memegang teguh komitmen kepercayaannya kepada Allah, serta beranggapan bahwa bekal dapat mengganggu dalam beribadah kepada Allah, maka meninggalkan bekal tentu lebih utama. Pahamilah keterangan yang ringkas dan padat ini, semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *