4-1-1 Tahapan Godaan – Rezeki & Tuntutan Nafsu | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 004 Tahapan Godaan - Minhaj-ul-Abidin

BAB IV

TAHAPAN GODAAN

 

Selanjutnya, wahai orang yang menempuh jalan ibadah – semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda – hendaklah anda menahan segala macam godaan (‘awāridh) yang datang silih berganti, yang dapat mengganggu dan melalaikan anda untuk beribadah kepada Allah, serta agar anda tidak disibukkan menghadapi godaan saja, sehingga melupakan dan meninggalkan tujuan anda (berkhidmat dan beribadah kepada Allah).

Sebagaimana telah kami sebutkan di depan bahwa godaan (‘awāridh) itu ada empat macam, yaitu:

 

1. Rezeki dan Tuntutan Nafsu.

Mengenai rezeki dan tuntutan nafsu untuk mendapatkannya, hanya dapat diatasi dengan tawakkal. Oleh sebab itu, anda harus bertawakkal kepada Allah s.w.t. dalam urusan rezeki kebutuhan. Yang demikian itu, karena dua hal, yaitu:

Pertama: Agar anda dapat tenteram dalam beribadah dan mengerjakan kebaikan. Sebab, orang yang tidak bertawakkal, tentu sibuk dengan urusan pencarian harta duniawi, memenuhi kebutuhan dan kemakmuran hidup, baik lahir maupun batin, sementara ia melupakan ibadah kepada Allah.

Secara lahir, ia sibuk memburu rezeki dan bekerja seperti umumnya orang-orang yang cinta dunia. Sedangkan hatinya, sibuk mengingat-ingat rezeki dan keinginan-keinginannya akan rezeki, serta waswas dan ketakutan-ketakutan dalam persoalan rezeki. Seperti orang-orang yang rajin berjuang dan beribadah, tetapi hati mereka terpancang kepada dunia. Padahal, ibadah itu memerlukan ketenangan batin dan fisik, agar dapat beribadah dengan sebaik-baiknya. Sementara ketenangan hati itu tidak akan terjadi, kecuali pada orang-orang yang tawakkal.

Bahkan menurut pendapatku, orang yang hatinya lemah, hampir-hampir hatinya tidak akan bisa tenang, kecuali dengan adanya persediaan harta duniawi. Jadi, orang semacam ini boleh dikatakan tidak pernah bisa sempurna dalam mengerjakan urusan penting yang berkaitan dengan dunia dan akhirat.

Aku sering mendengar dari guruku, Syaikh Abū Muḥammad r.a., berkata: “Urusan apa pun di dunia ini, akan berjalan baik bagi dua orang, yaitu orang yang benar-benar tawakkal kepada Allah dan orang yang ngawur.

Menurut pendapatku, bahwa perkataan tersebut sangat luas maknanya. Sebab, orang yang ngawur itu apabila memaksudkan sesuatu perkara, mendasarkan keberanian hati, tanpa melihat dan memikirkan sesuatu yang dapat melemahkannya. Jadi, perkara apa saja bisa berjalan bagi orang yang ngawur ini.

Sementara orang yang tawakkal, apabila bermaksud mengerjakan sesuatu perkara, mendasarkan pada kekuatan, kewaspadaan dan kesempurnaan keyakinan terhadap janji Allah, serta percaya sepenuhnya terhadap jaminan Allah. Jadi, orang yang tawakkal itu tidak menghiraukan orang yang menakut-nakuti atau syaithan yang menggodanya, sehingga ia beruntung, apa yang menjadi maksud dan tujuannya dapat tercapai.

Adapun orang yang lemah, selamanya berada di antara tawakkal, bimbang, bingung dan terombang-ambing, seperti himar dalam kandangnya, atau laksana ayam dalam sangkar, yang selalu mengawasi apa yang dibiasakan oleh majikannya, hampir tidak lepas dari mengawasi. Orang semacam ini, tidak mau meraih hal-hal yang tinggi dan mulia, serta telah putus semangatnya. Boleh dikata tidak mempunyai cita-cita mendapatkan perkara yang mulia. Kalau pun memiliki maksud, hampir tidak pernah dapat berhasil dan tidak pula mencapai secara sempurna.

Tidakkah anda melihat orang-orang yang bercita-cita tinggi dari golongan ahli dunia, mereka tidak bisa mencapai derajat besar dan kedudukan tinggi, kecuali sesudah hati mereka terputus dari diri, harta benda dan keluarga mereka.

Adapun para raja, mereka berperang di medan perang, menghadapi para musuh, adakalanya gugur, atau menang dan menjadi raja. Dengan begitu mereka dapat menduduki tampuh kekuasaan dan menguasai wilayah.

Dikatakan, bahwa Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān ketika memeriksa dua barisan kaum muslimin pada perang Shiffīn, berkata: “Barang siapa menginginkan kedudukan tinggi, harus berani menghadapi resiko perjuangan yang besar. (?????? Harus rujuk ke teks aslinya – SH.)

Seorang saudagar, harus berani menempuh perjalanan yang mengandung resiko, baik di daratan maupun di lautan, serta berani mengorbankan diri dan harta benda dengan melewati sarang-sarang perampok. Pergi ke timur dan ke barat memastikan dan memantapkan sikap, mati atau beruntung. Jika beruntung, ia akan mendapatkan harta berlimpah, keuntungan besar dan menguasai pangkalan-pangkalan perniagaan yang penting.

Sedangkan pedagang pasar yang kecil nyalinya, dan rendah keinginannya, boleh dikata hatinya tidak lepas dari ikatannya, yaitu diri dan hartanya. Jadi ia, hanya sibuk mondar-mandir dari rumah ke pasar, dan sebaliknya. Tetapi, ia tidak dapat mencapai seperti yang dicapai raja atau saudagar besar tersebut. sebab, ia hanya menginginkan keuntungan sekadarnya. Yang demikian itu karena hatinya sudah terikat dengan sesuatu yang biasa dihasilkan.

Yang kuterangkan ini adalah berkaitan dengan perkara dunia dan orang yang menyukai dunia. Adapun orang-orang yang ingin meraih kebahagiaan akhirat, maka yang menjadi modalnya adalah apa yang telah kusebutkan terdahulu, yaitu tawakkal dan memutuskan keterikatan hati dari apa yang membelenggunya.

Orang-orang yang ingin menggapai kebahagiaan abadi ini kalau sudah mapan benar-benar pada tawakkal dan nyata-nyata bisa menghasilkannya, maka konsentrasi mereka terfokus untuk beribadah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, berani mengasingkan diri dari pergaulan manusia kebanyakan dan berkelana di bumi Allah, menempuh gurun dan tinggal di gunung-gunung. Akhirnya, mereka menjadi orang yang menghamba kepada Allah dengan mantap, menjadi pemeluk agama yang kokoh dan menjadi manusia yang benar-benar merdeka dan bebas. Seakan-akan mereka menjadi raja dunia, leluasa ke mana saja mereka mau untuk menyelesaikan segala urusan ibadah dan keilmuan, tanpa peduli dengan halangan dan godaan. Semua tempat bagi mereka adalah satu, semua waktu bagi mereka hanyalah satu, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasūlullāh s.a.w. dalam sabdanya:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَكْرَمَ النَّاسِ فَلْيَتَّقِ اللهَ. وَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ اللهِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِهِ.

Artinya:

Barang siapa ingin menjadi orang yang paling kuat, hendaklah ia bertawakkal kepada Allah. Barang siapa menginginkan dirinya menjadi orang paling mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Dan barang siapa menginginkan menjadi manusia paling kaya, hendaklah lebih mempercayai apa yang di sisi Allah daripada apa yang ada di tangannya.

Syaikh Sulaimān al-Khawwāsh berkata: “Seandainya seseorang bertawakkal kepada Allah dengan niat yang benar, niscaya ia dibutuhkan oleh para pemimpin pemerintah (umarā’) dan orang-orang yang selainnya. Sementara ia tidak mungkin butuh kepada para penguasa atau lainnya itu. Karena ia telah mendapatkan jaminan dari Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Ibrāhīm bin Khawwāsh juga berkata: “Aku pernah bertemu dengan seorang pemuda di tanah Tieh yang keadaannya, bagaikan lantakan perak (silver bullion). Kemudian aku bertanya kepadanya: “Hai anak muda, anda hendak ke mana?” Ia menjawab: “Aku hendak ke Makkah.” Aku bertanya lagi: “Anda tidak membawa bekal dan kendaraan?” Pemuda itu menjawab: “Wahai tuan, alangkah lemah keyakinan anda. Dzat Yang Kuasa yang menguasai langit dan bumi, kuasa juga menyampaikan aku ke Makkah tanpa bekal dan kendaraan.” Ketika aku memasuki Makkah, aku lihat ia sedang berthawaf sambil mengucapkan:

Wahai diri, berkelanalah sepanjang hidup anda dengan penuh kecintaan terhadap Allah, janganlah kecintaan anda kepada yang lain melebihi kecintaan kepada Allah. Karena Dialah Tuhan Yang Maha Agung, kepada-Nya segala sesuatu bergantung. Kematian sungguh merupakan peristiwa yang menyedihkan dan menyakitkan.”

Ketika pemuda itu melihatku ia berkata: “Hai tuan, sesudah bertemu denganku hingga kini, apakah keyakinan anda kepada Allah masih tetap lemah?”

Abū Muthī‘ bertanya kepada Ḥātim al-Asham: “Saya dengar anda mengarungi gurun pasir dengan berbekal tawakkal, tanpa membawa bekal?” Ḥātim menjawab: “Bekalku ada empat.” Abū Muthī‘ kembali bertanya: “Apakah itu?” Ḥātim menjawab: “Aku yakin, bahwa dunia dan akhirat adalah kerajaan Allah; aku yakin rezeki dan sebab-sebab didapatkannya hanyalah di tangan kekuasaan Allah; aku juga yakin bahwa qadhā’ dan qadar Allah pasti berlaku di seluruh bumi Allah.”

أَرَى الزُّهَّادَ فِيْ رَوْحٍ وَ راَحَةْ

قُلُوْبُهُمْ عَنِ الدُّنْيَا مَزَاحَةْ

إِذَا أَبْصَرْتَهُمْ أَبْصَرْتَ قَوْمًا

مُلُوْكَ الأَرْضِ سِيْمَاتُهُمْ سَمَاحَةْ

Aku melihat orang-orang zuhud dalam kegembiraan dan ketenangan

Hati mereka tak terpengaruh hiruk-pikuk pesta permainan dunia.

Jika engkau perhatikan mereka kau akan lihat mereka

Laksana raja-raja dunia penyebar kedamaian dan kemurahan.

2 Komentar

  1. Arimaya Putra berkata:

    Ingin mengkaji yg bab 2 , tentang taubat, bisakah gan…??

Tinggalkan Balasan ke Muslim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *